Dari Cerpen “Topikal”, Reduksi Realitas Sampai Masa Depan
Cerpen Kita
Agus Noor *
kompas.com
LIMA tahun terakhir, boleh dibilang adalah “masa
keemasan” cerpen Indonesia. Sebuah periode yang tidak semata ditandai dengan
begitu melimpahnya cerpen, tetapi juga mulai diterimanya cerpen sebagai sebuah
genre sastra yang mandiri; pun mulai dihargai melalui pemberian penghargaan
terhadap cerpen-cerpen yang dianggap “terbaik” seperti dilakukan Kompas dan
Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1999 lalu.
Pada lima tahun terakhir itu pula, puluhan buku kumpulan
cerpen terbit-dan konon cukup mendapat apresiasi dari pembaca. Minimal bila
ditilik dari eksemplar yang terjual. Kumpulan cerpen Derabat, sebagaimana
diakui Kompas, sudah cetak ulang keempat pada tahun pertama terbitnya. Tentu,
ini bisa jadi kasus khusus, yang tak bisa digeneralisir begitu saja. Tetapi,
bila menilik pengakuan beberapa penerbit, buku kumpulan cerpen memang relatif
laku-lebih-lebih bila dibanding buku puisi. Dongeng untuk Seorang Wanita (Bre
Redana), Iblis tak Pernah Mati (Seno Gumira Ajidarma) Kastil Angin Menderu
(Joni Ariadinata), Memorabilia (Agus Noor) termasuk yang cukup banyak diburu
pembaca. Cerpen memang mengalami kejayaan di era industri media, tulis Seno
Gumira suatu ketika. Dan karena “kependekannya” itulah, dalam “konteks iklim
industri, cerpen secara teknis mendapatkan faktor pendukung, yang meski tidak
prinsip, toh menemukan eksistensinya”.
Namun, di lima tahun terakhir ini pula, “gugatan-gugatan”
seputar cerpen Indonesia mulai kentara dan mengeras. Boleh jadi, itu adalah
proses dialektis antara pertumbuhan karya dan kritik sastra. Suatu dialektika
yang memang dibutuhkan untuk apresiasi sekaligus pematangan pertumbuhan sastra.
Hanya, ketika “gugatan” itu kian meruyak kuat, rasanya ada sesuatu yang mesti
dikaji kembali: adakah yang salah dengan pertumbuhan cerpen kita belakangan
ini? Nirwan Dewanto menilai, betapa kebanyakan cerpen semata-mata bersandar
pada cerita, bahkan menggunakan bahasa semata-mata sebagai kendaraan cerita.
Budi Darma menganggap kebanyakan cerpen hanya bergerak dipermukaan, kurang
pendalaman, sementara sering “isi dan cara pengungkapan isinya banyak
dikondisikan media massa”. Sementara Sapardi Djoko Darmono menengarai
keterikatan antara cerita dan berita pada cerpen-cerpen yang muncul di koran.
Sedang Budiarto Danujaya, yang sempat berpengharapan pada tumbuhnya genre
“satra koran” belakangan menjadi sangat cemas dengan begitu meluahnya
cerpen-cerpen yang bersifat sangat “aktual” dan yang mengutamakan plot secara
agak berlebihan serta terjebak pada “realitas koran”. Satu gejala yang oleh
Goenawan Mohamad dikatakan sebagai reduksi “realitas” yang menyebabkan cerita
pendek menjadi “tipis tokoh”. dan itulah, yang kemudian disebutnya, cerpen
menjadi sangat “topikal”: ditulis dengan niat untuk ikut bicara dalam soal-soal
sosial yang sedang hangat, didorong “oleh kehendak mengemukakan satu atau dua
“topik”, tak berikhtiar untuk jadi kisah yang punya kehidupan sendiri”.
***
ITULAH kritik-kritik yang mengemuka, dan sekali lagi kita
bertanya, adakah yang salah dengan itu semua? Bukan benar-salah perkaranya,
tetapi adanya “bahaya” keseragaman pada cerpen-cerpen kita, sehingga kita tak
lagi memperoleh pengayaan namun penjenuhan bentuk maupun tema. Dan keseragaman
bentuk dan tema itulah yang kini menghinggapi cerpen-cerpen kita. Seakan-akan
“tema bersama” yang hidup dalam kepala para penulis cerpen kita untuk
menuturkan kegetiran dan haru-biru masyarakat yang tengah berbenah, masyarakat
yang tengah berubah dari dunia agraris kemodernis, dengan segala risiko dan
konsekuensi sosiologis dan psikologis yang mesti ditanggungnya. Seakan-akan ada
tugas dan tanggung jawab yang tertanam dan mesti ditanggungkan oleh cerpen;
seakan ada keharusan sastra menyuarakan keperihan sosial. Kecenderungan itulah
yang dalam banyak tulisan kerap saya sebut sebagai “tendensi sosiologis” yang
menjadi mainsteam penulisan cerpen-cerpen kita hari ini,yang membuat cerpen
seakan-akan “terjebak” dalam tema-tema sosiologis dengan faktualitas dan
aktualitas sebagai setting peristiwa yang membayang dalam cerita.
Dan itu, rupanya tak semata-mata berkait dengan koran.
Karena pada cerpen-cerpen yang terbit di majalah khusus sastra, bahkan yang
“berbentuk” buku, tendensi sosiologis itu tetap kental dan kentara. Sepertinya
ada “ketaksadaran” yang terus ngendon dalam pikiran dan bawah sadar pengarang
kita, yang kemudian memerangkap mereka ke dalam kerangka wacana pengisahan
tertentu: Dimana cerita jadi berkehendak untuk mendedahkan tema-tema
sosiologis. Seakan ada raison d’etre, yang menjadi kerangka tema dalam cerita,
yakni tema seputar perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung kini.
Begitu kuatnya tendensi sosiologis dalam cerpen-cerpen Indonesia hari ini,
sehingga sebuah cerita seakan-akan ditulis dengan dorongan untuk “merumuskan”
problem, persoalan dan konflik sosial yang berlangsung dalam masyarakat secara
implisit ke dalam struktur cerita. Adakah ini memang “ketaksadaran” atau lebih
merupakan conditioning yang dibentuk oleh sejarah dan sosiologi sastra kita.
Kita bisa melacaknya pada tradisi “sastra bertenden” yang
sejak awal pertumbuhan sastra kita berpretensi untuk ikut terlibat membangun
dan mempengaruhi perkembangan masyarakat. Itulah tendensi yang kemudian
mendesakkan “realisme”. Di sini, realisme tak semata-mata berarti cerita-cerita
itu realis, tetapi lebih pada wacana pengisahan yang percaya bahwa satra
sanggup menghadirkan kembali kenyataan, menghidupkannya dalam cerita, dimana
“fakta-fakta sosial” dalam cerita itu dapat dikenali kembali, sehingga pembaca
tidak teralienasi dari lingkungan sosialnya. Tak mengherankan, apabila sebuah
cerpen yang memakai gaya penceritaan surealis atau pun absurd, menyediakan juga
indikasi-indikasi sosiologis yang membuat pembaca akan tetap mengenali
“peristiwa sosial” yang tengah berlangsung diseputar mereka. Kecenderungan
realisme itulah yang berpretensi besar untuk memerikan kembali kenyataan secara
akurat mungkin-meski yang terjadi kemudian, sebagaimana dinyatakan Goenawan,
adalah “reduksi realitas”; atau dalam bahasa Budiarto “menjadi realitas tunggal
yang ‘umum’, mengulang-ulang stereotipe yang klise, membuatnya menjadi sekadar
sebuah realitas ‘teranalisis'”.
Faktor lain yang ikut mengkonstruksi “cerita bertenden”
datang dari kiritik sastra kita yang juga cenderung mengkaitkan teks-sastra
dengan faktor-faktor sosial yang (dianggap) membentuk makna yang disiratkan
karya sastra. Menempatkan sastra sebagai “produk realisme”, dimana cerita
menyangga fungsi utama sebagai cermin kenyataan, di mana masyarakat bisa
berkaca dan mengenali kerut-merut persoalannya. Sastra adalah mimesis. Tak
heran, bila Toeti Heraty, menempatkan cerpen-cerpen dalam kumpulan Derabat,
misalnya, semata-mata sebagai cermin realitas. Ketika memperbincangkan
cerpen-cerpen dalam Kado Istimewa, Subagio Sastrowardoyo juga memakai kenyataan
faktual sebagai parameter “keberhasilan” sebuah cerpen: bagaimana cerpen mampu
merekam dan menggambarkan realitas sedekat dan sepersis mungkin. Karena itu
Subagio terganggu dengan pelukisan wong cilik dalam Mata yang Enak Dipandang
Ahmad Tohari, karena dianggap “tak sesuai” dengan realitas sosial seorang
pengemis yang diceritakannya. Dan bukankah para pengkaji sastra Indonesia (“Indonesianis”)
lebih memakai karya sastra sebagai “artefak sosial”: sastra dikaji untuk
membaca kondisi sosial-politik yang berlangsung, bukan karena pertama-tama
“prestasi literer” yang dicapainya.
Semua itu, sudah barang tentu, pada akhirnya ikut
membentuk persepsi masyarakat mengenai sastra. Hingga, apa mau dikata,
kebanyakan pembaca (umum) pun akhirnya juga memperlakukan cerita sebagai sarana
untuk memahami realitas sosialnya. Tak heran, apabila cerita-cerita yang
bermuatan sosial adalah cerita-cerita yang hidup dalam ingatan pembaca (umum).
Senyampang dengan itu kebanyakan pengarang kita pun tergoda untuk memenuhi
hasrat para pembaca. Suatu hasrat untuk mendedahkan “nilai” dan “moral” yang
dikandung sebuah cerita, dimana keberfaedahan dapat ditemukan dan oleh
karenanya “menyenangkan”. Karena ketika kenyataan sudah sedemikian hibuk dan
buruk, sastra dapat merekatkan kembali “nilai” dan “moral” yang terpuruk. Di
sinilah kita bisa faham, kenapa buku-buku kumpulan cerpen (yang memang
cenderung punya muatan nilai dan moral sosial) laku dan diburu.
***
ADA baiknya, terbitnya kumpulan cerpen Dua Tengkorak
Kepala, yang merupakan sehimpun cerpen pilihan Kompas 2000, dijadikan titik
pihak untuk merenungkan pertumbuhan cerpen (di masa-masa mendatang).
Pertama, karena bersamaan dengan terbitnya buku ini,
muncul kritik bernada cemas seputar “tendensi sosiologis” dalam cerpen-cerpen
kita. Meski, barangkali, itu semua hanyalah kecemasan segelintir kritisi,
sementara pembaca (umum) tak terlalu peduli. Karena justru (!) cerpen-cerpen
yang bermuatan sosial macam itulah yang disukai pembaca (umum), dan karena
itulah buku kumpulan cerpen jadi laku. Tetapi bila kita memaknai kritik sastra
sebagai obor yang mampu menerangi masa depan pertumbuhan sastra, kritik yang
dilontarkan Goenawan atau Budiarto tentu saja menjadi pertanda yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Karena bahaya “keseragaman” akan membuat cerpen menjadi
kehilangan pesona; dan sebagai genre sastra ia kehilangan keunikan dan kekhasan
yang dimilikinya sebagai satu wacana cerita-sebagai sebuah kisah, istilah
Goenawan.
Kedua, tradisi penerbitan kumpulan cerpen pilihan yang
dilakukan oleh Kompas, bagaimana pun sudah menjadi “institusi nilai” yang ikut
membentuk dan mengarahkan kecenderungan pertumbuhan cerpen Indonesia. Bahkan,
diakui atau tidak, penobatan cerpen terbaik Kompas sudah dijadikan indikasi dan
parameter pencapaian-pencapaian estetis cerpen yang ditulis. Pada tingkat ini,
tak bisa dielakkan, banyak penulis cerpen kita-sebagaimana pernah dinyatakan
Putu Wijaya-mengarahkan daya upaya kreatifnya untuk “masuk” cerpen pilihan
Kompas. Ini yang kemudian membuat Kompas-meski tentu saja ia tak hendak
melakukannya-menjadi institusi yang ikut bertanggungjawab atas pertumbuhan
cerpen Indonesia.
Jangan-jangan, banyak cerpen ditulis dengan maksud untuk
menjadi “terbaik”, dan karenanya ia ditulis dengan itikad memenuhi
kecenderungan “selera” dan “kriteria” Kompas. Memang, berkali-kali Kompas
menyatakan tak punya kriteria penilaian baku untuk menentukan pilihan sebuah
cerpen. Tetapi, bila kita menyimak cerpen-cerpen yang terhimpun dalam delapan
kumpulan cerpen pilihan Kompas, dari Kado Istimewa sampai Dua Tengkorak Kepala,
akan terasa adanya “standar” cerita-cerita tertentu yang mendominasi pilihan.
Sebuah “standar” yang mungkin bukan merupakan pilihan sadar redaksi Kompas,
tetapi toh tetap membayangkan orientasi estetis: dimana cerita mengandung
keberpihakan terhadap moralitas yang kuat. Keberpihakan moral yang kerap berupa
kritik sosial yang menandai keterlibatan cerita dalam “topik” persoalan
tertentu yang tengah berlangsung di masyarakat.
Tentu tidak semua cerpen pilihan Kompas ditulis dengan
tendensi sosiologis semacam itu. Kita tetap juga menemukan cerita yang penuh
makna dalam dirinya, seperti Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Ajidarma,
Gauhati Budi Darma, Usaha Membuat Telinga Afrizal Malna, Sentimentalisme Calon
Mayat Sony Karsono, Dua Telinga Saya, Rasanya Cukup… Yanusa Nugroho. Tapi,
memang, nyaris 90% cerpen dalam delapan kumpulan cerpen pilihan Kompas mengandung
tendensi sosiologis yang amat kental.
Meski begitu, sebagai pembaca cerpen, saya memang tetap
berpengharapan, betapa suatu saat Kompas akan lebih banyak memunculkan
cerpen-cerpen yang menyandarkan kekuatannya pada cerita, bukan pada tema atau
berita. Cerpen-cerpen yang tidak semata-mata menyajikan kenyataan, tetapi
mengolahnya menjadi “kenyataan literer”, sehingga cerita menjadi medan
pemaknaan yang kaya. Cerita bergerak tidak dengan memaparkan sederet fakta
sosial semata, tetapi terlebih berusaha membangun serangkaian kode-kode
estetik-bahasa, semacam permainan imajinasi yang dengan sadar abai pada
keharusan untuk menerangjelaskan situasi sosial; cerita yang justru terasa
penuh dan eksis dalam hubungan antarelemen cerita itu sendiri, tidak pada
keterkaitannya dengan faktor eksternal cerita. Adakah, sebagai pembaca, saya
berharap berlebihan? Di tengah melimpahnya “cerpen sosial”, saya justru
terkenang pada cerpen Daun Seno Gumira Ajidarma, sebuah cerita yang liris dan
imajis, remeh tetapi tetap menakjubkan setiapkali saya membacanya kembali.
Boleh jadi Kompas sendiri ingin menampilkan cerpen-yang
katakanlah “liris dan imajis” seperti itu. Namun, seperti diakui Kompas, meski
seminggu masuk 50-100 cerpen ke meja redaksi, tetapi tetap saja kesulitan
mendapat naskah “yang berada di atas standar rata-rata”. Saya tak tahu, apa
yang dimaksud dengan “di atas standar rata-rata” itu. Kalau boleh menduga,
mungkin sebuah cerpen yang tak cuma menyuarakan tema-tema sosiologis, namun
juga utuh dan matang dalam pencapaian estetis. Kalau memang begitu, seperti
saya nyatakan di depan, jangan-jangan sumber “keseragaman” cerita itu memang
berasal dari dalam kepala para pengarang sendiri?!
Dan ini, seperti sinyalemen Goenawan, jangan-jangan
karena memang terjadi proses “de-artikulasi”: pudarnya “kemampuan mengungkapkan
pikiran dan perasaan dengan bahasa”. Bahasa dalam cerpen-cerpen kita, pada
akhirnya jadi mengisyaratkan adanya kerutinan (cara) berbahasa, yang membuat
sebuah cerita sering kehilangan ambiguitasnya sebagai wacana kesusastraan,
kehilangan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan dan suara (polifoni) dalam
dirinya. Bahkan lebih parah lagi, cerita kemudian jadi semata-mata daur ulang
peristiwa-peristiwa sosial, yang bahkan kehilangan kompleksitas persoalan
ketika dirangkaikan ke dalam cerita. Dan karenanya cerita tidak lagi
menyediakan kelimpahan tafsir, hingga sebuah cerita selesai sebagai cerita
begitu rampung dibaca.
Dari sinilah “kebangkrutan” cerpen bisa datang: ia
melimpah, tetapi murah. Inikah, yang membuat selama ini, dibanding puisi,
cerpen tidak merangsang kajian-kajian puitik, karena cerpen kita memang tidak
menjanjikan “tamasya bahasa”.
Apabila sebagai sebuah genre, cerpen ingin memiliki
“martabat kesusastraan”, saya kira, ia mesti mulai mempercayai betapa makna
sebuah karya sastra, tidak semata-mata diukur dari muatan-muatan sosial yang
bisa direngkuhnya, tetapi terutama dari sejauh mana sebuah cerita menyediakan
kelimpahan makna yang bisa dihayati dan maknai. Cerita menjelma metafora,
entitas bahasa yang kaya. Di mana dengan itu pembaca akan menemukan “sebuah
dunia cerita” yang meluahkan kekayaan makna. Sebuah dunia cerita yang tak akan
membuat ktia bosan ketika berusaha untuk terus-menerus menafsir dan mencoba
merebut makna yang tersedia di dalamnya.
Apabila kita mempercayai alur sejarah, rasanya harapan
semacam itu tidak terlalu berlebihan. Bukankah setelah hiruk-pikuk realisme
sosial di tahun 60-an, kita kemudian menemukan cerpen Adam Ma’rifat dan Godlob
Danarto, Kwantin tentang Sebuah Poci Goenawan Mohamad, Perahu Kertas Sapardi
Djoko Damono, lukisan perahu-perahu Rusli dan kucing-kucing Popo Iskandar, juga
drama minikata Rendra. Dan kini setelah sepanjang 80-90-an menggejala sastra
kontektual, panggung-panggung teater yang provokatif, kanvas-kanvas dan seni
instalasi yang penuh kritik sosial, boleh jadi sejarah akan berulang.
Karenanya, masa depan cerpen kita, saya menduga akan bertaruh dengan eksplorasi
bercerita dan berbahasa. Cerita-cerita yang tak semata berkehendak menaklukkan
realitas, mengangkat topik dan tema, tetapi cerita yang mempertaruhkan bahasa
sebagai kekuatan ekspresinya. Saya harap memang begitu.
***
*) Cerpenis, tinggal di Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/04/dari-kado-istimewa-sampai-dua-tengkorak-kepala/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment