Thursday, May 6, 2021

Tempat Domisili Seorang Sastrawan

Beni Setia
suarakarya-online.com
 
Salah satu gema polemik yang tertinggal dari gairah berkesusastraan pada dekade 80-an kemarin adalah gagasan sastra kontekstual. Secara konsepsi gagasan sastra kontekstual ini menekankan pentingnya kesadaran seorang sastrawan, yang ber-domisili di satu tempat yang kongkrit, dan karenanya menyadari situasi sosial-politik dari tempatnya berdomisili, dan lalu meresponnya. Responnya itu bisa bermakna menandai ketidakadilan sosial, struktural atau nonstruktural, menandai pelaku-pelakunya, dan melakukan penandaan deskriptif dan/atau pemihakan dengan meluncurkan teks kritik atau teks emansipatorik.
 
Bagi saya sendiri, masalah yang kemudian muncul adalah konsepsi tentang domisili dari kesadaran si sastrawan itu sendiri. Bagi saya, seorang sastrawan tak hanya tinggal, misalnya, di Cimelas, dan karenanya mengamati dan menyimpulkan tatanan struktural sosial-politik masyarakat Cimelas yang memelas di dalam karyanya. Sehingga ia hanya bisa menjadi sastrawan Cimelas – dan karena Cimelas itu bagian dari Indonesia maka ia menjadi sastrawan Indonesia yang kontekstual menghadirkan potret Cimelas. Tapi ia bisa memilih Cimarahmay atau Ciramohpoy yang unik, dan melakukan penelitian partisipasif sehingga ia memahami situasi struktural dari Cimarahmay atau Ciramohpoy secara empatik, lantas menuliskan teks sastra.
 
Dengan kata lain, yang utama itu bukan domisili dan konteks tapi lokasi dan penelitian partisipasif empatik. Dan semua sastrawan, terutama yang menulis dalam genre sastra prosa, yang menekankan pentingnya faktor setting yang kongkrit bagi pengembangan karakter dan konflik [cerita], terbiasa melakukan penelitian partisipasif empatik tentang detil wilayah dan budaya dari setting yang dipilihnya. Mereka meneliti agar paham akan detil wilayah, budaya dan kebiasaan sosial, mereka melakukan pencocokan wilayah, ciri budaya dan kecederungan sosial setempat, dan karenanya mereka meneguhkan ciri wilayah, corak budaya setempat, dan ilustrasi umum kecenderungan sosial. Mereka melakukan penelitian tertutup, tak terang-terangan melakukan penelitian yang ketat dengan pola dan metoda ilmu sosial. Disebabkan mereka hanya ingin bercerita dan bukan meneliti atau menghadirkan gambaran penelitian yang valid lewat aliran cerita.
 
Gagasan sastra kontekstual itu sendiri sebenarnya bias, karena berpijak di dua daerah yang berbeda. Sastra yang selalu ada di wilayah fiksi tidak bisa ditarik untuk berserius melakukan pemahaman tematik cerita secara faktual dengan penelitian yang ketat khas ilmu social. Sekaligus pemihakan dan simpati humanistik yang dijadikan motor penelitian dan motif penulisan karya sastra, akan melahirkan gambaran yang berbeda ketika diluncurkan untuk melakukan penelitian dan laporan pene-litan yang bisa diverifikasi secara ilmiah, dengan ketika dipakai untuk menghidupkan cerita secara empatik. Logika dan bahasa, metoda dan displin [kerja] di antara keduanya amat berberda, dan harus tetap berbeda agar semakin jelas mana perbe-daan di antara keduanya. dan, akibatnya, [tentu saja] efek akibat membacanya pun akan berbeda. Yang satu deskriptik dan diharapkan emansipatorik menggugah, se-dangkan yang lainnya imajinatif dan diharapkan melahirkan simpati yang empatik.
 
Selain itu, pada kenyataannya, tempat domisili seorang sastrawan itu tak cuma tempat bernama Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin, atau Gunung Puntang. Sekaligus mobilitas seorang sastrawan itu tidak hanya gerak insidentil dan reguler antara Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ran-ca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Tidak hanya yang ber-sipat real dan kongkreit bisa didatangi setiap orang. Ia juga hidup dalam bacaan, sehingga sewaktu-waktu ia bisa pergi ke Cijulang di dalam alam pikir dan teks Rachmat M. Sas. Karana. Atau Cindulang seorang Aam Amalia. Atau Italia dalam teks Acep Zamzam Noor. Amerika wildwest dalam teks Karl May. Ingris masa lalu dalam teks Charles Dicken atau Conan Doyle. Dan panorama Cina klasik dalam teks Kho Ping Hoo. Panorama Jawa klasik dari teks ketoprak, teks SH Mintardja atau Bastian. Dan seterusnya. Dan sebagainya.
 
Itu tempat untuk berdomisili yang sama kongkrit dan inspiratifnya dengan se-gala tempat yang bernama Cimelas, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Belum lagi teks-teks yang ketat dari hasil penelitian sosial, etnografi, antropologi, dan/atau hanya catatan perjalanan dan kisah biografi dan oto-biografi yang terserak di rak-rak buku non-fiksi perpustakaan umum. Itu satu tempat, baik yang real atau yang hanya berupa impresi, baik yang ada di masa sekarang kini atau yang hanya di masa lalu dan telah musnah hanya tinggal kenangan, yang selalu dikunjungi oleh seorang pengarang. Ke mana dan di mana ia melakukan penelitian fiksional atau faktual tak ketat untuk menentukan lokasi, setting, memperkaya karakter dengan ciri budaya dan kecenderungan sosial, dan seterusnya, yang bersipat sangat monokultural. Terkadang ia hanya merujuk ke satu lokasi, dan mencampurkan type karakter dari lokasi lain, dan mempertemukannya dengan ekspresi ciri budaya yang lain, dan karenanya membangun setting yang sangat multi-kultural. Mana bisa, mana suka di alam kebebasab serba mungkin.
 
Fenomena itu menyebabkan saya sadar bahwa seorang sastrawan bisa pergi ke mana saja dan bisa bermukim di mana saja – meski secara fisik tinggal di Parong-pong. Sekaligus ia sesungguhnya bisa menulis tentang apa saja, secara bagaimana saja, dengan memanpaatkan penelitian partisipasif dan pemahaman empatik tentang konteks tempat berdomisili secara fisik dan mental – selain kemungkinan yang ber-sipat teramat fantasi dan imajinasi. Karena itu seorang sastrawan yang melulu menulis tentang Landeuh Jugala karena lahir di Landeuh Jugala, bagaimana bagusnya pun ia sebenarnya hanya katak dalam tempurung. Meski kelasnya lebih baik dari si remaja yang melulu menulis sajak cinta karena baru jatuh cinta. Seorang sastrawan adalah yang melakukan penjelajahan. Pramudia Ananta Toer, misalnya, dengan Surabaya di masa kolonial. Saini KM, misalnya, dengan para Puragabaya sebagai pa-sukan pilihan di masa Pajajaran akhir. Budi Darma yang memotret manusia kota kesepian Amerika Serikat dalam Orang-orang Bloomington dan Olenka. Atau Ayu Utami, yang memotret kondisi di kilang minyak, Dumai, Blitar, dan New York dalam Saman dan Larung. Kho Ping Hoo yang gentayangan di Cina padahal ia belum ke Cina sebelum menulis epos Bu Pun Su. Dan seterusnya.
 
Konsekuensi dari semua itu, pada akhirnya, tak mungkin adalah istilah sastra-wan Bandung, sastrawan Jogja, atau sastrawan Surabaya. Karena konsekuensi dari penyebutan itu adalah harus adanya seorang sastrawan Cebek no. 74, RT 01 RW 02, Desa Karamat Mulya, Kecamatan Soreang, dan Kabupaten Bandung sebagai kon-sekuensi ekstrim dari terma sastrawan Bandung – yang hanya mau ditarik ke atas, ke sastrawan Jawa Barat, Indonesia, dan reginal Asean. Yang ada adalah sastrawan Ohoy atau Ehem, yang menulis di dalam bahasa Sunda atau bahasa Indonesia, dengan cerita yang bersetting monokultural Sunda atau multikurtural seorang Sunda di wilayah perbatasan (budaya) Jawa Mataraman dan Jawa Surabayaan. Di titik ini sastrawan Indonesia adalah sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, karena identifikasi konteksual berdasar wilayah berdomisilinya akan menyebabkan kegoyahan. Baik dikarena ia menulis secara multikultural. Atau karena si bersangkutan cenderung bergerak dari wilayah kongkrit ke wilayah kongkrit lainnya, serta dari wilayah mental berdasar bacaan ke wilayah mental berdasarkan bacaan berikutnya.
 
Karena itu tak ada penyair Bandung bernama Soni Farid Maulana atau Juniarso Ridwan, karena yang ada hanya penyair Soni Farid Maulana – yang kelahir-an Tasikmalaya dan besar secara kreatif di Bandung – dan penyair Juniarso Ridwan – yang menempuh pendidikan formal tehnik di ITB dan jadi birokrat Pemda kodya Bandung. Atau penyair Tasimalaya yang bernama Acep Zamzam Noor, karena yang ada itu penyair Acep Zamzam Noor – kelahiran Tasik, menempuh pendidikan formal artistik di ITB, besar secara kreatif di Bandung dan Jogja, dan kemudian ia mukim di pesantren di Tasikmalaya. Yang ada hanya seorang Saini KM yang serba bisa dan khatam sebagai pemikir. Yang ada hanya seorang Ajip Rosidi, inohong Sunda yang lama di Jepang dan kemudian mukim di Magelang – tetap Sun-da meski tinggal dekat ikon pusat budaya-religi Jawa kuno Borobudur. Dan karena sumbangan mereka selalu bersipat individual meski dampaknya mungkin bisa bersipat lokal, nasional atau regional.
 
Karenanya untuk apa asylum tempat bernama lokasi domisili si sastrawan selain alamat surat, jujugan silaturahmi, dan zona serah-terima honor? Jadi agak mengerikan juga ketika sebuah intitusi seni di Jakarta mengundang sastrawan Indonesia (baca: yang menulis memakai media bahasa Indonesia) untuk berkumpul di Jakarta dengan pemilahan domisili. Ini masuk wilayah Bandung, kecenderungannya puisi, dan saat ini terdiri dari si AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk sastrawan Bandung dalam buku Nun. Ini masuk wilayah domisili Jawa Timur, kecenderungannya puisi, dan terdiri dari AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk kelompok sastrawan Jawa Timur dalam buku Hamzah. Atau buku Wau mewa-kili wilayah domisili Bali dengan para sastrawan bernama AIUO. Dan seterusnya. Kenapa mereka tak disebut saja sebagai sastrawan Bla, Bli, Blo, dan hadir sebagai sastrawan Bla, Bli Blo, dan dimasukkan ke dalam antologi sastra Kum.
 
Karena bagi sastrawan hanya ada bahasa, untuk mengungkapkan apa-apa yang didalami secara subyektif di dalam sunyi – meski dikonsultasikannya dengan teman, dengan bacaan, dan dengan imajinasi-fantasi. Dan karenanya kita harus mengakuinya dengan identitas bahasa yang dipakai buat mengungkapkan gagasan. Dan mengakui kebesarannya berdasarkan keunikannya ketika mengungkapkannya di dalam dan dengan bahasa di satu sisi dan fenomena ciri subyektif dari apa yang diungkapkannya – yang didalaminya secara diam-diam dalam sunyi – di sisi lainnya. Itu hakekat seorang sastrawan. Seseorang yang secara KTP tinggal di Babakan Kukulutus, tapi senantiasa bergerak dari satu tempat imajiner bacaan ke tempat imajiner baca-an yang lainnya. Memang. Tetapi, yang jadi permasalahan kemudian: Apa namanya perasaan rindu seorang sastrawan kelahiran Babakan Kukulutas ke Babakan Kukulutus, yang kemudian tinggal di Pasir Combrek dan diberi penghargaan seniman Pasir Combrek?
 
Impuls rindu yang humanistik. Panggilah kontekstual ingin mengungkapkan ih-wal yang diketahui pasti tetapi belum sempat diungkapkan. Atau hanya kecemasan dari seseorang yang diayunkan waktu dan mendadak menemukan pantulan gema dari dinding batas akhir usia. Atau itu sudah memasuki wilayah filsaafat dan sufi, yang berbeda dari tradisi dan disiplin penelitian ilmu sosial dan empati sastra. Saya tak tahu. Dan mungkin harus membaca lagi agar bisa menulis tentangnya secara lebih jernih. Insya Allah.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/tempat-domisili-seorang-sastrawan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar