Friday, May 21, 2021

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Perangkum Semua Kebudayaan

Aulia A Muhammad
suaramerdeka.com
 
INDONESIA hari ini, juga Indonesia akan datang, tidak dibangun dalam satu hari, juga tidak oleh satu orang. Meski, untuk peletak dasar kebudayaan, ada satu orang yang namanya tak mungkin dihapuskan. Dialah Sutan Takdir Alisjahbana, yang namanya biasa disingkat STA.
 
Takdirlah yang dengan serius memikirkan kebudayaan Indonesia. Tak hanya melalui Polemik Kebudayaan -yang sampai kini masih acap dibicarakan- dan Majalah Pujangga Baru yang semua dia garap dengan sangat serius, tapi juga upayanya menjadikan bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa modern.
 
Bagi Takdir, bahasa bukanlah semata alat untuk berpikir. Bahasa adalah pikiran itu sendiri.
 
Dan modernisasi adalah kunci dari pemikiran Takdir, yang sering diidentikkan orang dengan pembaratan. Padahal, Takdir memaksudkan itu sebagai adopsi rasionalitas. Dan itulah yang terus ia pertahankan mulai Polemik Kebudayaan, sampai di akhir masa hidupnya.
 
“Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif penguasaan ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi-dan kebudayaan ekspresif -kebudayaan tradisional yang dikuasai nilai agama dan seni. Yang pertama berdasarkan kerasionalan berpikir, yang kedua berdasarkan intuisi, dan imajinasi,” terangnya di tahun 1986.
 
“Perbedaan kedua hal itu amat besar. Seperti perbedaan antara kebudayaan Indonesia dan pra-Indonesia. Zaman Islam dan zaman Jahiliyah,” tambahnya di tulisan yang lain.
 
Sebelumnya di tahun 1985, saat dia berumur 77 tahun, dengan marah Takdir menyerang pihak yang masih merindukan kebudayaan lama atau daerah, sewaktu seminar di Bali. “Kebudayaan lama adalah kebudayaan pramodern yang sama sekali ta pernah menghasilkan teknologi.” Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas agama, ilmu dan teknologi. “Kebudayaan pramodern, irrelevant dengan totalitas itu,” kecamnya.
 
Guru yang Ganas
 
“Sewaktu lahir, Takdir tak menangis, tapi langsung berdebat.” Begitulah kelakar teman-teman masa mudanya, menggambarkan betapa acapnya tokoh satu ini mendebatkan banyak soal.
 
Lahir di Natal Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 11 Februari 1908, Takdir mengaku berdarah campuran.
 
“Ayah saya berdarah Jawa, namanya Raden Alisjahbana, gelar Sutan Arbi. Gelar Raden itu diakui Kesultanan Yogyakarta, dan ayahlah yang pernah diminta memata-matai kegiatan Sentot Alibasjah di Bengkulu. Dari jurusan darah ini, saya memang orang campuran,” akunya sambil bergelak pada Tempo.
 
Ayah Takdir seorang guru, dan Takdir mewarisi bakat itu. Setelah menamatkan sekolah di HIS Bengkulu (1921) dan melanjutkan ke Kweekschool, Bukittinggi, Lahat, Muaraenim (1925) dia mulai mengajar. Tapi bakat yang diturunkan ayahnya ternyata tak cuma menjadi guru, juga suka bermain bola, berdebat, dan ini yang paling parah, pemberang. Tak heran, dia acap mengamuk mengamati kebodohan murid-muridnya.
 
“Sering betul saya menampar murid-murid. Suatu hari, saya malah menampar seluruh kelas,” kenangnya.
 
Peristiwa itu berlanjut. Seorang murid melaporkan peristiwa itu, dan nama Takdir tercantum dalam sebuah liputan di koran Pertja Selatan, dengan berita panas, “Guru yang Ganas”.
 
Mungkin karena itu Takdir terbang ke Jakarta, melamar menjadi redaktur di majalah Panji Poestaka, tapi ia malah diterima di bagian penerbitan buku. Di Jakarta ini dia masih melanjutkan sekolahnya di Hogere Hoofdacte Curcus (1933), dan melahirkan roman pertamanya, Dian yang tak Kunjung Padam, dan dilanjutkan dengan Layar Terkembang.
 
Kariernya melesat karena redaktur Panji Poestaka Adinegoro pindah ke Medan. Takdir menggantikannya, dan melesatkan projek “Gerakan Sastra Baru” pada tahun 1933. Gerakan ini membuat dia akrab dengan sastrawan kondang masa itu, Armijn Pane dan Amir Hamzah.
 
Takdir kemudian berkenalan dengan A Dahleer, seorang Belanda pemilik percetakan Kolf. Lewat percetakan itulah Poejangga Baru pertama kali terbit, yang kemudian Takdir terbitkan sendiri.
 
“Meskipun pembaca Majalah itu tidak banyak, tapi pengaruhnya besar sekali. Banyak ahli yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr Sumanang, dan Poerwadarminta. Ada sekitar 20 orang intelektual Indonesia yang menjadi inti gerakan itu,” kenangnya.
 
Tenggelam dalam Bahasa
 
Ketika Jepang masuk Indonesia, Takdir masih sempat menamatkan sekolahnya di Rechtshogeschool dan Leeterkundige Fakulteit Jakarta (1942). Dan ketika Jepang mendirikan Komisi Bahasa Indonesia, Takdir pegang peranan penting.
 
“Saya diangkat jadi Sekretaris Ahli. Sekretaris sesungguhnya adalah Mr Soewandi,” jelasnya. Namun, sejarah mencatat, Takdirlah yang kemudian menjadi napas Lembaga itu, terutama saat Lembaga itu berubah menjadi Kantor Bahasa, dia mengetuainya. Dan Takdir memulai kerja, menyeragamkan istilah-istilah yang dipakai di sekolah-sekolah.
 
“Kami berhasil menghimpun lebih dari 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia,” ucapnya bangga.
 
Di masa Jepang ini, dia pun melahirkan novel Anak Perawan di Sarang Penyamun.
 
Di era kemerdekaan, Takdir kemudian mendirikan Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) dan Universitas Nasional, dan menjadi rektornya. Dia menjadi penganjur yang tak kenal lelah untuk usaha modernisasi, menganjurkan penerjemaan karya-karya asing secara sistematis dan berkualitas. Ia pun mendirikan lembaga penerjemahan di Universitas Nasional.
 
“Semua kebudayaan dunia adalah kebudayaan saya,” jelasnya, saat ditanya kenapa dia begitu getol menerjemahkan berbagai karya sastra dunia. Namun, ia mengaku kecewa dengan kualitas penguasaan bahasa Indonesia.
 
“Saya kecewa. Ini menunjukkan bahwa bahasa yang pernah menggetarkan dunia linguistik ini, dengan kesanggupan memersatukan 13 ribu pulau, masih saja jadi bahasa yang terbelakang, belum modern, belum menjadi pintu ilmu dan teknologi,” keluh suami tiga istri, dan bapak sembilan anak ini, selain lima novel dan beberapa karya ilmiah.
 
Obsesi Takdir adalah menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Ia memberian gambaran bahwa Malaysia, Brunai, Singapura dan sebagian Philipina adalah pemakai bahasa Melayu. Karena itu, dengan kerja sama dan pengertian yang baik, Takdir percaya, keempat negara itu akan mampu mewujudkan bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di Asia Tenggara.
 
Sayang, obsesi si perangkum semua kebudayaan itu tak pernah terwujud, sampai ia menutup mata 15 Juli 1995, di usia 87 tahun. Bahkan, sampai kini, enam tahun setelah kepergiannya itu, tak ada pewaris obsesinya yang masih mau mengumandangkan cita-cita itu.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2010/06/sta-perangkum-semua-kebudayaan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar