Saturday, May 22, 2021

Perang

Goenawan Mohamad
tempointeraktif.com
 
Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: “Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”
 
“Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20 melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai “kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, “kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.
 
Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik, sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.
 
Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.
 
Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia “pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai “panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.
 
Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: “Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan “lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.
 
Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah “perang yang baik”.
 
Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
 
“Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah “11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
 
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi “kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.
 
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang “biadab” dan yang “beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.
 
Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan “kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/perang/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar