Goenawan Mohamad
tempointeraktif.com
Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan,
terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia
tak habis-habisnya sengsara: “Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang
diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”
“Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya,
Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia satu-satunya jenderal yang
jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20 melihat dengan tajam bahwa ada
hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang
disebutnya sebagai “kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang
disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari mereka yang
lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju.
Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para
ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang
perang, “kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.
Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah
perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik, sebuah perang tempat ia,
sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya
tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak
dengan jelas.
Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi
orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian
prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang
sudi berkorban sehabis-habisnya.
Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah
karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon
presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa
jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia “pahlawan perang”. Sebaliknya
Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah
masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai “panglima tertinggi”.
Ia bisa kalah karena itu.
Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri.
Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1
Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: “Amerika Serikat
kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik
mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di
Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata
Judt pula, mengelilingi diri dengan “lambang dan pajangan yang menandai
kekuatan bersenjata”.
Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam
pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah
kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan,
sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan
imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri
jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat
kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer
belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang
dilancarkan negerinya adalah “perang yang baik”.
Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan
Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu,
sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta.
Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2
juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam
monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang
mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata
Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.
“Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana
sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua:
sebelum dan sesudah “11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan
pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut,
malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris
menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.
Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu.
Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001.
Apokalips tak hanya terjadi “kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.
Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel
Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak
bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang
menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang “biadab” dan yang
“beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada
1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada
1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.
Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang
melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan
terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang
dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut
kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan “kebrutalannya, kesia-siaannya,
kebodohannya”.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment