Putu Wijaya
putuwijaya.wordpress.com
Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang
harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya
adalah: apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan
dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya
pada sastra.
Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk
untuk menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana
mengajarkan pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah
buru-buru hendak mengejar. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar
sastra. Apa, siapa dan bagaimana sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah
itu sebuah lembaga atau orang?
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah
segala tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah
tidak termasuk sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada
sebuah karya yang sama sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang
sangat penting, sehingga menuntun imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain,
yang mengantarkan ke pada makna-makna yang mendasar, sehingga menciptakan haru?
Apa itu juga keindahan? Kalau begitu keindahan itu bisa tidak indah?
Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di
dalam tradisi kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah
sastra lisan Bali yang dikenal dengan nama Men Kelodang (Bu Kelodang),
misalnya, (atau ambillah sastra lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca
akan terasa patah dan tak indah.
Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh
cucunya yang sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai
aspek. Di situ ada pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon
penerus generasi itu di masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah
kepustakaan yang berwujud bunyi yang sangat besar artinya pada tradisi Timur
yang menempatkan pembelajaran sebagai proses yang non formal yang disebut
magang atau nyantrik..
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai
bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum,
maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang
tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang
su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi
cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan
pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.
Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra
mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut
kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Segala hal kena gigit oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas
dari sastra.
Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya,
bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada
sesuatu yang telah sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu
sendiri.
Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A
(budaya) di SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya
dikanibal oleh pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan
besar. Sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai
sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan
menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan
hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.
Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh
sastra. Sastra sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya
sendiri. Sastra tak terkunci pada keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra
tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi
kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi
maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama.
Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra,
dikaitkan dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya
berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen
sosial-politik terhadap kurun masa di saat pengarangnya hidup. Dari sebuah
cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di Universitas Cornell,
Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.
Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan
keberadaan seorang guru permainan kata-kata itu tidak mampus sebagai teka-teki,
tetapi memberikan inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi
bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai
targetnya. Guru sastra adalah seoprang jubir, seorang PR, seorang menejer,
seorang agen dan seorang penafsir. Walhasil seorang “:pemain” aktip, bukan
hanya makelar apalagi
Pada prakteknya, seorang guru di masa lalu, adalah seorang “penghajar”. Ia
memiliki posisi lebih tahu, lebih cerdik, lebih pintar dan lebih berkuasa .
Untuk mengoper ilmu yang dikuasainya (padahal sering ilmu yang sudah
kedaluwarsa), ia tak segan-segan melakukan kekerasan dengan dalih desiplin.
Suasana kelas lebih merupakan pertunjukan monolog dan indoktrinasi tanpa boleh
ada yang membantah. Yang terjadi bukan proses pembelajaran tetapi penderaan.
Murid-murid disiksa untuk menelan, menghapal, apa yang dimuntahkan oleh guru.
Berpendapat lain bisa dicap kurangajar.
Hasil pembelajaran seperti itu memang tak menghalangi anak-anak yang jenius
untuk tumbuh terus dan melejit berdasarkan kodratnya. Tetapi secara umum,
posisi guru yang menghajar itu sudah menyelewengkan makna pembelajaran menjadi
pelajaran mengembik. Murid-murid hapal nama-nama, tahun dan jumlah, tetapi tak
mampu memaknakan apa hakekat dari semua pengetahuan yang diterimanya.
Murid yang terdidik bertahun-tahun bukannya menjadi luas wawasannya dan
kaya gagasannya, tetapi malah menjadi berkepala keras dan pada gilirannya,
mentoladan jejak gurunya, menjadi otoriter.
Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak
didik dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti
perkembangannya. Pelajaran bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mengantar mereka
yang diajar agar sampai kepada hakekat dari makna-makna berbagai hal di dalam
kehidupan yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh bahkan mungkin berubah.
Kadangkala seorang guru bisa lebih bodoh dari muridnya, tetapi ia tetap
seorang guru. Ia menjadi guru bukan karena lebih pintar, tetapi karena
berkemampuan untuk mengembangkan potensi anak didiknya berdasarkan kemampuan
masing-masing. Mengajar dengan demikian bukanlah mengindoktrinasi, atau
menyulap orang bodoh menjadi pintar. Guru bukan seorang dukun, bukan juga
tukang sihir dan bukan seorang tiran.
Guru adalah seorang teman yang membimbing yang membagi informasi secara
periodik dan sistimatik, sesuai dengan tingkat kemampuan anak didiknya.
Sehingga apabila ia menghadapi murid yang sangat pintar, yang lebih pintar dari
dirinya, ia tidak perlu merasa terancam akan dipecat. Sekali seorang menjadi
guru, ia tetap saja guru, karena itu sebuah fungsi yang tetap diperlukan oleh
orang yang pintar sekali pun, karena “guru” lah yang menemani muridnya untuk
mengembangkan kepintarannya.
Mengajar lebih cenderung sebagai menemani secara aktip, anak-anak didik
dalam memunggut pengetahuan dari berbagai buku. Mengajar lebih kurang adalah
menjadi seorang tukang kebun dengan berbagai bibit pohon yang memiliki watak
berbeda-beda, di dalam sepetak tanah yang sama.
Kesibukan rutinnya adalah merawat dan mengembangkan. Bagaimana membagi
perhatian, bagaimana menyiasati agar pohon-pohon itu berkembang, di tanah yang
adanya memang begitu, adalah tanggungjawab guru.
Mengajar sama sekali bukan menghajar, meskipun sekali tempo diperlukan
hajaran. Mengajar adalah mempengaruhi kalau perlu “menipu” anak didik untuk
mencintai dan melihat kegunaan dari apa yang dibelajarkan. Mengajar berarti
membuat siasat. Seorang guru harus belajar bersiasat, tanpa bersiasat,
pembelajaran akan kembali menjadi penghajaran.
Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkannya
bermanfaat. Tanpa melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari
kaitannya dengan realita, maka pelajaran tetap akan kembali sebagai “penghajaran”
yang membuat mereka yang belajar merasa didera/dihukum.
Mengajar bukan menyulap seorang anak yang bodoh menjadi pintar, bukan
mendadani murid dengan asesoris ijazah/gelar, tetapi mencoba membuktikan bahwa
bahwa anak yang bodoh itu sebenarnya sudah keliru, karena ia lupa bahwa dirinya
pintar. Tak ada yang bisa diajarkan kepada orang lain, apalagi sastra.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang
guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan
sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga
jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan
lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan
murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan,
untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Apa gunanya sastra. Mengapa sastra terkait dengan hidup setiap orang?
Itulah yang harus dijawab oleh setiap guru sastra supaya pebelajarannya tidak
menjadi penghajaran.
Ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang
bagus cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Sementara itu,
siapa yang mengajar tidak harus lebih penting dari siapa yang akan diajar.
Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang
penting, tetapi apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana
membuat yang diajar jadi berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan
agenda mutlak. Seorang guru sastra memiliki strategi masing-masing sesuai
dengan medan dan kondisi orang-orang yang diajarnya.
Pelajaran sastra tak penting diajarkan oleh siapa, tapi siapa yang diajar,
itu sangat menentukan. Di masa lalu hal ini diabaikan. Kurikulum yang ingin
mensistimatiskan pendidikan, mecoba melihat pembelajaran sebagai membangun
rumah. Desainnya yang terlebih dahulu dirancang. Kemudian dirinci
pelaksanaannya sesuai dengan waktu dan biaya. Lalu hasilnya ditargetkan. Tapi
apa yang terjadi?
Yang muncul adalah satu birokrasi yang rapih. Rumah pun jadi, nampak indah,
tepat waktu, sesuai dengan rencana dan tidak ada pembengkakan biaya. Itu sem ua
memang cocok buat menyusun laporan, sebab ada rencana, ada hasil, sehingga
jelas plus dan minus prosesnya dalam setiap tahun. Persis seperti sebuah
pembukuan uang.
Tetapi apa lacur, rumah yang dibangun itu, hasil pembelajaran sastra itu,
ketika dihuni, ketika diujicoba hasilnya, yang tinggal hanya dendam, rasa benci
dan muak, karena hanya menjadi kenang-kenangan bagi mereka yang sudah dihajar,
terhadap tindak kekerasan. Rumah itu bukan dipersiapkan untuk ditinggali tetapi
dilihat sebagai maket dal;am sebuah pameran. Pelajaran sastra hanya menjadi
pelajaran tidak perlu yang buang-buang waktu dan membuat orang benci pada
sastra.
Pembelajaran sastra telah menghasilkan semacam Rumah Sangat Sederhana yang
cocok untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan
pembangunan. Namun kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun
yang dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara
itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau
sepanjang rel kereta api di stasiun.
Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi
sarang bagi pengghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi
tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akrab. Rumah
semacam itulah yang lebih diperlukan dalam proses pembelajaran sastra.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi
siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka
yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara
karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu,
karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra
seperti pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu
pantun, gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra
harus hidup, dimulai dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka
yang diajar.
Sajak-sajak pamflet Rendra, lagu-lagu Bimbo yang liriknya ditulis oleh
Taufiq Ismail, misalnya, selama ini tak pernah sempat diajarkan di dalam
pelajaran sastra, karena adanya diujung kerucut. Bahkan guru-guru sastra pun
banyak yang tidak tahu. Pelajaran sastra harus dimulai digenjot dari masa kini,
karena sastra bukan hanya mimpi, bukan cerita masa lampau..
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik
cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus
ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti
menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik
kata-kata.
Sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar, setiap kali dibaca kembali,
seperti sebuah sajak yang baru, karena ia mengandung makna yang seperti tumbuh.
Kata-kata memang sesuatu yang mati, tetapi maknanya berkembang, mengikuti
interptretasi dari pembaca. Karya sastra tidak membungkam pembaca, tetapi
justru menawarkan diri agar pembaca dapat mengembangkan interpretasinya. Sastra
menggelorakan kehidupan pikir dan imajinasi pembaca. Permainan itulah yang akan
membuat sastra menjadi semacam permainan yang seharusnya menarik dan asyik
karena hampir tanpa batas.
Sebuah lakon bernama “Menunggu Godot” karya Samuel Beckett, adalah
sumbangan yang monumental terhadap kehidupan. Sebagaimana Thomas Alfa Edison
yang menemukan listrik, atau Einstein yang menyumbangkan teori kwantum, Beckett
menangkap satu makna besar dari kehidupan bahwa pada hakekatnya manusia, semua
manusia harus menunggu. Dengan memahami kesaksian Beckett tersebut, wawasan
tentang kehidupan bertambah dan semakin jelas bahwa sastra bukan hanya hiburan,
tetapi ilmu.
Sebuah novel berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang
menceritakan penderitaan budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan
rasa kemanusiaan orang Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari
perang Saudara di Amerika yanbg kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap
kulit hitam di negara yang kini mengakju menjadi pelopor demokrasi itu.
Kita membutuhkan guru-guru pelajaran sastra yang memahami apa sastra dan
bagaimana mengajarkan sastra kepada anak didiknya. Untuk itu, sebagaimana juga
olahraga, diperlukan pendidikan khusus.
Tapi itu mungkin hanya sebuah mimpi, kecuali kalau pelajaran sastra
diberikan posisi yang setara dengan pelajaran tata bahasa, setidak-tidaknya
proposional. Lebih lanjut, kerucut kurikulum sebaiknya dibalik agar konteks
kekiniannya keluar. Pembelajaran sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin
Abdul Kadir Munsyi, tetapi dari — misalnya – Sutardji atau …….. .
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment