Friday, May 28, 2021

Kesaksian Sebuah Rumah

Dharmadi
oase.kompas.com
 
Dia datang lagi pagi ini. Dengan rasa khawatir, timbul pertanyaan dalam hatiku, apakah ada bagian dariku yang akan diubah-ubah lagi meskipun aku sendiri sampai saat ini belum juga jadi secara sempurna. Sudah lama aku mulai dibangun, tak kurang sejak sembilan bulan yang lalu.
 
Untuk membangunku, katanya direncanakan habis sekitar satu setengah milyar, sampai saat kedatangannya sekarang ini untuk yang ke sekian kali, aku sudah menghabiskan sekitar satu milyar. Itu saja baru selesai sekitar delapan puluh persen, dan aku sendiri sudah merasa jenuh, tak juga selesai-selesai.
 
Sambil bermanja-manja bergelayut pada lengan kiri lelaki setengah baya itu, dia berjalan mengitariku. Sampai di teras belakang yang menghadap kolam renang, dihentikannya langkahnya. Memandangi teras dari berbagai jarak dan arah; dari jarak dekat kemudian mundur, maju lagi, dari bibir kolam, dari kiri, dari kanan, dari sudut pandang lurus.
 
Lelaki setengah baya itu, sambil merangkulnya, menjelaskan ini itu, menunjuk-nunjuk bagian-bagian tertentu pada terasku. “Bagaimana Diajeng?” tanya lelaki setengah baya itu.
 
“Aduh, Mas, indah sekali terasnya, aku puas sudah; suasananya nyaman dan romantis. Tak usah ada yang dirombak-rombak lagi, aku sudah kebelet sekali untuk menempati.” Suaranya lembut dalam nada kemanja-manjaan.
 
Aku merasa lega mendengar kata-katanya. Berarti aku tak akan dirombak-rombak lagi. Memang benar apa yang dikatakannya tentang terasku. Menghadap ke gunung, di bawahnya kolam ikan yang cukup luas, dan beberapa puluh meter di depannya kolam renang, sekitarnya taman bunga dan hamparan hijau rumput.
 
Selentingan yang kudengar dari percakapan antartukang yang membangunku, lelaki setengah baya itu pejabat di salah satu lembaga pemerintah yang berhubungan dengan publik. Dan perempuan itu adalah “isteri” yang ketiga, yang paling cantik, paling muda, dan paling dimanja, dibanding kedua istri lainnya.
 
Aku dibangun di atas tanah di kaki bukit, diambilkan sebagian dari tanah seluas dua setengah hektar yang dibeli oleh lelaki setengah baya itu, dari puluhan orang desa yang semula pemilik tanah yang tak lagi mampu membayar utang kepadanya.
 
Puluhan orang desa yang semula pemilik tanah itu, utang kepada lelaki setengah baya itu, untuk biaya hidup karena beberapa kali gagal panen, padinya diserang hama dan juga selalu rugi karena biaya produksi yang tak sebanding lagi dengan harga padi.
 
Meskipun aku belum jadi secara penuh, tetapi banyak orang ketika lewat di depanku, sesaat berhenti, menyempatkan diri, melihat-lihat dari tepi jalan. Berdecak dan bergumam, “Rumah apa istana?”
***
 
Akhirnya aku selesai juga, menjadi bangunan mewah dan megah. Sehari-harinya perempuan itu yang menghuniku, dengan perempuan setengah baya, sebagai pembantu rumah tangga, dan dua laki-laki remaja, sebagai tukang kebun, yang diambil dari warga desa.
 
Lelaki setengah baya itu memang sering datang dan menginap. Tetapi paling hanya dua-tiga hari dalam seminggu, dan hari-harinya pun tak tentu. Tak ada seorang pun yang dapat tahu dengan pasti garis hidupnya, juga dengan kematiannya sendiri. Juga lelaki setengah baya itu. Sembilan bulan yang lalu, laki-laki setengah baya itu meninggal dunia dalam peristiwa kecelakaan, ketika baru sekitar setahun menikmatiku.
***
 
Senja ini, lelaki itu kembali datang. Lelaki yang sudah beberapa kali kulihat datang sejak sekitar tiga minggu terakhir ini. Seperti kebiasaan kedatangannya, lelaki itu langsung masuk ke ruang tengahku, mereka berdua berbincang ke sana kemari sebentar, kemudian berdua mereka masuk ke kamar utamaku.
 
Kamar yang selama ini biasa dipakai Ning bersama lelaki setengah baya itu yang dipanggilnya Mas Dib, sebelum lelaki setengah baya itu meninggal.
Mereka mandi bersama, di kamar mandi yang ada di kamar utamaku itu, saling bercanda, bergantian saling menyabuni, sambil meraba-raba bagian-bagian tubuh tertentu yang menimbulkan geli dan gelinjang.
 
Apa yang dilakukan di kamar mandi berlanjut di atas ranjang. Tak perlu aku ceritakan secara detail apa yang mereka lakukan. Bayangkan saja sendiri, adegan-adegan apa saja yang mereka mainkan dengan keliaran imajinasimu, kalau kamu ingin ikut merasakan, betapa indahnya permainan mereka.
 
Aku terhenyak, mataku terbelalak; tiba-tiba kulihat kedua telapak tangan laki-laki itu, dengan tenaga yang luar biasa, mencengkeram leher Ning, yang badannya masih dalam posisi telentang, telanjang di atas ranjang, yang baru saja ditidurinya, dengan daster yang terbuka, terlepas semua biji kancingnya.
 
Kulihat perempuan itu nampak berusaha melakukan perlawanan. Tubuhnya menggelepar-gelepar, seperti ular ketika ditangkap kepalanya, tangannya berusaha melepaskan cekikan, kedua kakinya mancal-mancal, menjejak-njejak tak terarah.
 
Tapi tak lama, hanya dalam hitungan menit. Tenaga laki-laki yang mencekik dan menindihnya, yang wajahnya kulihat seakan telah berubah menjadi wajah setan-berbentuk segi empat seperti selempeng papan, hitam melegam tak berdarah-terlalu kuat untuk dilawan perempuan itu.
 
Kemudian yang nampak, tubuh perempuan itu terkulai, bagai sebatang pohon pisang yang telah membusuk, lemas kalau diangkat.
 
Dengan hati dingin, sedingin es, seakan membeku, mengeras membatu, laki-laki itu meluruskan kedua kaki perempuan itu, biji kancing dasternya satu per satu di masukkan kembali ke lubangnya, kedua tangannya didekapkan ke dada dengan posisi telapak kiri diletakkan di bawah telapak kanan.
 
Mata perempuan itu yang sedikit membeliak, setelah diusap-usap dengan telapak tangan kanan lelaki itu, kelopaknya mengatup rapat Di pandangan, perempuan itu nampak seperti orang tidur saja, laiknya.
 
Dengan tenangnya, laki-laki itu merapikan pakaian di depan kaca lemari pakaian, sejenak menatap perempuan itu, kemudian seperti tak terjadi apa-apa, melangkah keluar, pintu kamar ditutup perlahan.
 
Ditemuinya perempuan setengah baya, pembantu rumah tangga perempuan itu, yang sedang di dapur belakang. Laki-laki itu meninggalkan pesan, “Mbok, Ibu sedang tidur, kalau nanti wungu menanyakan aku, katakan, sedang keluar sebentar.”
 
Perempuan setengah baya, yang dipanggil Mbok, kulihat menganggukkan kepala dengan takzim, sambil berkata, “Inggih, Ndoro.”
 
Kemudian, laki-laki itu berjalan untuk meninggalkan rumah. Dihentikan langkahnya di teras depan, dipanggilnya dengan lambaian tangan dua penjaga yang ada di pintu gerbang.
 
Sambil menyodorkan beberapa lembar uang, laki-laki itu berpesan pada dua penjaga yang telah berdiri tegak di depannya, “Ibu sedang tidur, saya mau keluar sebentar; jaga baik-baik Ibu dan rumah.”
 
Kedua penjaga bersikap hormat, tegap berdiri sambil menganggukkan kepala, dengan gerakan tak begitu dalam.
 
Dengan tenang laki-laki itu berjalan ke mobilnya, kemudian dengan perlahan dijalankan, mobil meninggalkan halaman, menuju ke jalan raya, dan entah ke mana arah tujuannya, lepas dari pandangan.
***
 
Aku tak habis pikir, kenapa perempuan itu mesti dibunuh. Padahal, misteri kematian lelaki setengah baya itu sendiri karena kecelakaan, sampai sekarang belum terungkap. Kabar angin yang kudengar, kecelakaan yang menimpa lelaki setengah baya itu sengaja dilakukan oleh orang lain.
 
Menurut saksi mata yang dimintai keterangannya oleh polisi, mengatakan, mobil lelaki setengah baya itu yang sedang berjalan perlahan di jalan lengang, sengaja ditabrak oleh mobil yang berjalan di belakangnya, dan mobil penabrak langsung tancap gas.
 
Apakah kematian perempuan itu ada hubungannya dengan kematian lelaki setengah baya itu, sekaligus juga ada hubungannya dengan kedua perempuan yang menjadi isteri lelaki setengah baya itu? Atau, ada hal-hal lain, yang menjadikan perempuan itu mesti dibunuh?
***
 
Sejak kejadian itu, aku dalam keadaan kosong. Tak ada yang menghuni lagi, dan tak setiap orang boleh memasuki, kecuali seizin polisi. Sepanjang pagar halamanku bagian depan direntang police line.
 
Tak jelas lagi siapa yang menjadi pemilikku. Keadaanku tak terurus, suram.Dan aku merasa tak berharga, meskipun hargaku milyaran. Aku tak lagi dikagumi, seperti ketika awal-awal aku berdiri, “Rumah apa istana?”
 
Yang sering kudengar sekarang, “Rumah setan, rumah setan,” teriak anak-anak sambil berlari ketika lewat di depanku, apalagi kalau malam.
***
 
2006
http://sastra-indonesia.com/2009/12/kesaksian-sebuah-rumah/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar