Saturday, May 8, 2021

Mengenang Arief Budiman, Tokoh Sastra Pencetak Sejarah

Yohanes Sehandi *

Hari ini Jumat, 23 April 2021, genap satu tahun tokoh sastra Indonesia modern, Arief Budiman, meninggal dunia. Beliau meninggal dunia pada Kamis, 23 April 2020, di Salatiga, dalam usia 79 tahun. Arief Budiman lahir di Jakarta pada 3 Januari 1941.
                                        
Pada waktu Arief Budiman meninggal dunia, teman akrabnya, Ariel Heryanto, menulis kesan singkat di akun Facebook-nya: “Kesan yang paling kuat tentang Arief yang saya simpan adalah sosoknya sebagai aktivis dan intelektual publik. Berbeda dengan kebanyakan aktivis, Arief berjiwa aktivis sedalam-dalamnya dan nyaris seumur hidup.” Tulisan Ariel Heryanto itu kemudian ramai-ramai dibagikan sejumlah netizen dan sejumlah media online di Tanah Air.
 
Ariel Heryanto adalah teman akrab Arief Budiman. Keduanya pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kemudian, keduanya sama-sama keluar dari UKSW dan menjadi dosen di Universitas Melbourne, Australia. Kemudian pula, keduanya menyandang gelar profesor dari Universitas Melbourne. Arief kembali ke Tanah Air setelah pensiun dan tinggal di rumahnya di Salatiga, sedangkan Ariel masih di Australia sampai saat ini.
 
Aktivis dan Intelektua Publik
 
Ada banyak kesan dan prestasi yang ditinggalkan Arief Budiman di berbagai bidang, antara lain bidang pemikiran sosial, politik, aktivis politik, ekonomi, sastra, dan budaya. Dan yang paling dikenal luas adalah sepak terjangnya sebagai aktivis politik dan pejuang demokrasi. Arief Budiman yang bernama asli Soe Hok Djin dikenal sebagai demonstran tangguh tahun 1960-an bersama adiknya Soe Hok Gie, menumbangkan Orde Lama. Pada Pemilu pertama Orde Baru tahun 1972, Arief Budiman bersama Imam Waluyo, dan kawan-kawan, menentang kontenstan dalam Pemilu 1972 itu dengan mengampanyekan Golput (Golongan Putih), yakni menusuk bagian putih kertas pemilihan sehingga dinyatakan tidak sah. 
 
Sejak mendengar berita meninggalnya Arief Budiman pada Kamis (23/4/2020) berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik dan media siber (online) mengangkat beragam prestasi dan ketokohan Arief Budiman sebagai aktivis sejati dan intelektual publik yang disegani berbagai kalangan, baik oleh kawan maupun lawannya. Kesan umum, Arief Budiman adalah seorang tokoh publik dan aktivis pejuang demokrasi yang berani mengambil resiko.
 
Bidang Kritik dan Pemikiran Sastra
 
Esai ini ditulis sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat saya terhadap Arief Budiman pada hari ulang tahun wafatnya hari ini. Bagi saya, Arief Budiman adalah tokoh besar yang berjasa besar dalam bidang kritik dan pemikiran sastra Indonesia modern. Bidang kritik dan pemikiran sastra ini merupakan salah satu sisi kepeloporan Arief yang tercatat dalam sejarah sastra.
 
Keterlibatan Arief Budiman di bidang kritik dan pemikiran sastra ini menimbulkan kontroversi luas dan perdebatan serius di kalangan masyarakat sastra Indonesia, bahkan melibatkan masyarakat awam, hingga bertahun-tahun kemudian. Pemikirannya merangsang pemikiran baru, dengan segala pendukung dan penentangnya. Semuanya menunjukkan bahwa Arief Budiman berpengaruh besar. Dia memang pantas dan layak masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk., Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014).
 
Pada tahun 1963, dalam usis masih sangat muda 22 tahun, dan masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Arief Budiman sudah terlibat dalam politik kebudayaan tingkat tinggi dan berisiko. Arief merupakan salah satu tokoh penanda tangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) bersama sejumlah tokoh besar Indonesia lain di bidang pemikiran sastra dan budaya, antara lain Wiratmo Soekito (penyusun konsep Manifes Kebudayaan), H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, Taufiq Ismail, dan masih banyak yang lain lagi.
 
Manifes Kebudayaan berisi pernyataan sikap para seniman dan cendekiawan Indonesia terhadap tekanan politik dan ideologi revolusioner dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dimotori Pramoedya Ananta Toer. Lekra merupakan sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Terjadi persaingan kasar dan tak sehat antara kubu Manikebu dengan kubu Lekra yang berujung pada pembubaran Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Dalam posisi melawan PKI itulah Arief Budiman bersama eksponen pemuda Indonesia lainnya berdemonstrasi menumbangkan rezim Orde Lama di bawah Soekarno pada 1966, dan menjadi awal rezim Orde Baru di bawah Soeharto.
 
Salah Satu Pendiri Majalah Sastra Horison
 
Pada tahun 1966, dalam usia 25 tahun, Arief Budiman menjadi salah satu penggagas dan pendiri majalah sastra Horison, bersama sejumlah tokoh lain, yakni Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, dan Taufiq Ismail. Majalah Horison terbit edisi pertama pada Juli 1966, yang kemudian menjadi majalah sangat berpengaruh di Indonesia dan menjadi barometer mutu karya sastra Indonesia.
 
Adapun sejumlah tokoh sastra sastra yang pernah menjadi redaktur majalah Horison kemudian, antara lain H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Arwah Setiawan, Hamsad Rangkuti, Taufiq Ismail, dan Jamal D. Rahman. Majalah Horison berhenti terbit pada Juli 2016, dalam usia 50 tahun, diganti dengan majalah Horison online. Sekarang terbit lagi edisi cetaknya, tetapi tidak rutin setiap bulan seperti 1966 – 2016.
 
Pada tahun 1968, waktu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) didirikan Gubernur DKI Ali Sadikin, Arief Budiman menjadi salah satu anggota pendiri DKJ bersama sejumlah tokoh besar di bidang sastra, seperti Ajib Rosidi. Lewat DKJ para seniman mendapat tempat berkreasi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Arief Budiman bersama DKJ memberi jaminan kebebasan berekspresi bagi para seniman dan sastrawan Indonesia di TIM, sesuatu yang sangat berharga pada masa ketika Indonesia baru keluar dari tekanan pemerintahan otoriter Orde Lama.
 
Pada tahun 1968, terjadilah kehebohan besar dunia kritik sastra Indonesia. Kehebohan berlanjut dalam sebuah forum diskusi, bernama “Diskusi Kritik Sastra” yang berlangsung pada 31 Oktober 1968 di Jakarta. Dalam forum itu Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menggugat dominasi kritik sastra analitis (kritik strukturalisme) yang digunakan para akademisi sastra Indonesia yang dimotori para dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI). Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menandinginya dengan jenis kritik sastra baru dengan nama Metode Ganzheit (Gestalt). Dari pihak akademisi FS-UI sebagai lawan diskusi adalah J.U. Nasution, S. Effendi, Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Boen S. Oermarjati, dan Lukman Ali, yang kemudian menamakan jenis kritik sastra mereka sebagai Kritik Sastra Aliran Rawamangun.
 
Aliran Rawamangun berpandangan, karya sastra terdiri atas unsur-usur pembentuknya, disebut unsur intrinsik. Alat bedah yang dipakai adalah teori strukturalisme dan berbagai teori sastra lain yang berasal dari Barat. Sebaliknya, Metode Kritik Ganzheit (Gestalt) berpandangan sebaliknya, bahwa karya sastra adalah satu-kesatuan, sebuah totalitas, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebuah totalitas bukanlah penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya.
 
Perdebatan seru kedua aliran kritik sastra itu berlangsung selama beberapa tahun kemudian sampai awal 1970. Seluruh perdebatan itu kemudian dibukukan Lukman Ali (Ed) dengan judul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978).
 
Arief Budiman sendiri sebelumnya telah menerapkan Metode Kritik Ganzheit ini dalam menganalisis puisi-puisi Chairil Anwar sebagai skripsi sarjananya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
 
Tokoh Kunci Sastra Kontekstual
 
Pada tahun 1984 terjadi kehebohan besar lagi dalam dunia pemikiran sastra Indonesia. Arief Budiman melakukan perlawanan terhadap paham sastra universal yang sangat dominan di Indonesia pada 1980-an. Perlawanan itu dilakukan pada Sarasehan Kesenian di Solo pada 28-29 Oktober 1984. Adapun para pembicara dalam sarasehan yang panas itu itu adalah Arief Budiman, Ariel Heryanto, Y.B. Mangunwijaya, dan Yudhistira Ardi Masardi.
 
Arief Budiman yang kemudian didukung penuh Ariel Heryanto menggugat paham sastra universal yang tengah dominan di Indonesia. Paham sastra universal berpandangan bahwa hakikat sastra bersifat universal, yang seragam untuk segala masyarakat, pada segala zaman. Arief Budiman melawannya dengan mengajukan paham tandingan bernama “sastra kontekstual” (istilah yang disodorkan Ariel Heryanto). Paham sastra kontekstual berpandangan terbalik dengan paham sastra universal. Sastra kontekstual tidak mempercayai hakikat sastra yang bersifat universal. Bagi paham sastra kontekstual, hakikat sastra bersumber dari konteks sosio-historis, yaitu rangkaian peristiwa konkret dan tingkah laku manusia, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain.
 
Dalam makalahnya yang berjudul “Sastra Kita yang Kebarat-baratan” (1985), Arief Budiman merumuskan pengertian sastra kontekstual sebagai: “Sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusasteraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berubah sepanjang sejarah, berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain, dan dari kelompok manusia satu ke kelompok manusia lain. Hanya dengan mengakui kenisbian nilai inilah, maka sastra dapat berkembang di buminya yang nyata, bukan di dunia awang-awang.” Seluruh perdebatan seru itu kemudian dibukukan dengan cermat oleh Ariel Heryanto dengan judul Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: Rajawali, 1985).
 
Perdebatan sastra kontekstual berlangsung sekitar dua tahun (1984-1985). Pada waktu perdebatan itu berlangsung, Arief Budiman dan Ariel Heryanto dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Saya beruntung, pada masa itu saya menjadi dosen tidak tetap di UKSW (1985-1989) sehingga mengikuti dengan intens perdebatan seru itu, baik lewat media massa cetak maupun lewat seminar, diskusi, juga lewat ngobrol santai di bawah pohon dan di emperan kampus UKSW bersama Arief Budiman atau Ariel Heryanto. Saya akhirnya ikut terlibat. Salah satu tulisan saya di harian Suara Karya (17/5/1985) berjudul “Sastra Kontekstual versi Ariel Heryanto” dimuat dalam Lampiran buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985, halaman 498).
 
Ciri khas ketokohan dan kepeloporan Arief Budiman, dia selalu mengambil posisi berseberangan (kontra) terhadap sesuatu yang dinilainya sudah dominan dan mapan. Baginya, sesuatu yang sudah dominan dan mapan, harus segera dikoreksi dan dilawan agar tidak menjadi diktator dan otoriter. Itulah sebabnya, pemikiran dan gerakannya selalu menimbulkan pro-kontra, perdebatan atau polemik sampai bertahun-tahun kemudian, melibatkan banyak pihak.
 
Pada waktu sastra Indonesia didominasi kelompok Lekra yang beraliran sosialis, Arief Budiman melawannya dengan ikut menandatangani Manifes Kebudayaan pada 1963. Pada waktu kritik sastra Indonesia didominasi kritik sastra analitis dengan teori strukturalisme mendominasi, Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menandinginya dengan mengajukan jenis Kritik Metode Ganzheti (Gestalt) pada 1968. Pada waktu pemikiran sastra Indonesia didominasi paham sastra universal, Arief Budiman bersama Ariel Heryanto menantangnya dengan sastra kontesktual pada tahun 1984. Sepak terjangnya selalu berseberangan dengan yang sudah mapan dan dominan. Itulah kekhasan Arief Budiman, tokoh sastra Indonesia pencetak sejarah untuk bangsa ini.
 
Ende, Flores, Jumat, 23 April 2021

*) Pengamat dan Kritikus Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende. http://sastra-indonesia.com/2021/05/mengenang-arief-budiman-tokoh-sastra-pencetak-sejarah/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar