Friday, March 5, 2021

Jejak 1965: Identitas Keindonesiaan Sastrawan Eksil

Munawir Aziz *
Kompas, 16 Feb 2014
 
Kisah politik Indonesia dalam narasi September-Oktober, 48 tahun yang lalu, masih berdampak pada gelanggang sastra masa kini. Tidak hanya pada ranah ideologi, antara pendukung Lekra dan Manikebu, tetapi juga pada sastrawan eksil yang terkena dampak tragedi politik 1965. Kisah-kisah tentang sastrawan yang menempuh studi di luar negeri, mayoritas di negeri-negeri Balkan, menjadi narasi penting tentang pertumbuhan sastra Indonesia. Mereka yang menjadi eksil masih menyimpan harapan untuk pulang ke negeri asal. Imaji dan narasi keindonesiaan sastrawan eksil berkontribusi penting untuk merawat identitas kebangsaan dalam sastra Indonesia masa kini.
 
Indonesia tak sekadar hadir sebagai batas-batas kenegaraan, ia menjelma sebagai identitas dalam imajinasi penyair ataupun sketsa pelukis. Bayangan tentang keindonesiaan inilah yang menarik untuk ditelusuri, dalam konteks menemukan, menjadi, dan memaknai Indonesia. Lalu, bagaimana imajinasi keindonesiaan dalam historiografi penyair Tanah Air? Menziarahi sajak-sajak dari penyair yang mengembara di luar negeri pascatragedi 1965, seolah menemukan keindonesiaan dalam perspektif dan ”rasa” yang lain.
 
Pada zaman Orde Lama, ketika Soekarno berkuasa, banyak dari pemuda, intelektual, dan seniman dari Tanah Air yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ataupun menyerap modernisme yang terjadi di Eropa. Tujuannya jelas, mempelajari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sampai kebudayaan negeri lain, untuk diaplikasikan di negeri ini. Proyek besar ini untuk mengejar pembangunan fisik dan pengetahuan warga Indonesia, dengan menggunakan duta-duta ilmu pengetahuan dan kebudayaan, di antara sekian duta itu hadir juga penyair-penyair potensial. Namun, ketika tragedi 1965 meletus, sebagian besar dari delegasi Indonesia yang belajar di negeri asing tak dapat kembali ke Tanah Air karena perkembangan politik dan pergantian rezim. Jadilah, mereka hidup di negeri asing dengan segala kisah sedih, memori, harga diri, ataupun identitas sebagai manusia.
 
Sebagai manusia Indonesia yang hidup di tanah asing, yang merindukan Tanah Air, tetapi tak dapat kembali, tentu mengalami guncangan mental yang mendalam. Memori keindonesiaan merupakan bayangan hitam yang terus menguntit, jauh sekaligus dekat. Penyair-penyair merasa hidup jauh dari lingkaran keluarga, tetapi terasa dekat jika membayangkan. Puisi dan prosa menjadi media alternatif untuk menyalurkan hasrat keindonesiaan para penyair eksil. Hasrat untuk pulang terasa menggetarkan, kisah perjuangan di negeri asing dan pergumulan perasaan untuk tetap menjadi Indonesia, atau merasa asing, merupakan pergolakan yang menggumpal dalam sajak. Bagaimana imaji keindonesiaan dalam sajak-sajak penyair eksil?
 
Identitas dalam kenangan
 
Keindonesiaan menjadi bayangan jauh dan dekat dalam imaji para penyair eksil. Beberapa penyair, semisal Hersri Setiawan, Sobron Aidit, dan Agam Wispi, serta beberapa nama lain seperti A Kembara, A Kohar Ibrahim, Alan Hogeland, Asahan Aslam, Chalik Hamid, Kuslan Budiman, Magusig O Bungai, Mawie Ananta Jonie, Nurdiana, Soepriadi Tomodihardjo, Satyadharma, dan Z Afif, menjadi bagian penyair eksil yang terus-menerus untuk mempertanyakan identitas. Kenangan akan Tanah Air menjadi latar belakang imajinasi, pergolakan politik meletup lewat sajak dan prosa, serta kerinduan akan kampung halaman ataupun sang ibunda memancar dalam puisi-puisi mereka.
 
Penyair Hersri Setiawan mempertanyakan diri dan mempertaruhkan identitasnya dalam puisi ”Sajak Ulang Tahun”. Jangan tanya siapa aku/ Karena aku hanya satu pribadi/ Yang berjanji pada sendiri/ Tatap benda-benda di langit/ Mata hari di siang hari/ Bulan bintang di waktu malam/ Semua beredar pada sendiri. Sajak ini merupakan puncak perenungan Hersri akan identitas dirinya, yang terombang-ambing sebagai bagian warga Indonesia ataupun asing. Kebimbangan identitas ini merupakan problem yang dialami sebagian besar penyair eksil, yang hidup di tanah asing, tetapi masih terus mengharap pulang.
 
Tanah Air dan identitas diri saling bertaut sebagai pertanyaan penting penyair eksil. Memori Tanah Air dan keluarga masih terus membayang. Hasrat pulang semakin tak terbendung, tetapi kepulangan hanya akan menyisakan tragedi dan kisah sunyi. Akhirnya, perjumpaan diri dengan memori masa silam hanya seolah ziarah mimpi. Agam Wispi menuliskan dilema ini dalam sajak ”Ziarah”. Akhirnya orang menziarahi dirinya sendiri/ Membangkitkan dalam diri apa-apa yang sudah mati/ Di makammu aku mau menghidupkan kembali/ Kata terima kasih/ Meski kau tak mendengarnya, hanya suara kata hati.
 
Perjalanan panjang mengunjungi tanah-tanah asing hanyalah menemukan bayangan tentang Tanah Air. Kisah perjalanan ini selalu membangkitkan kenangan tentang tujuan pulang. Bahwa, setiap perjalanan adalah menuju rumah. Namun, hal ini tak berlaku bagi penyair-penyair eksil. Pulang menuju rumah merupakan pembelokan dari kepulangan yang sesungguhnya. Rumah masih tetap ada, tetapi ia tak sanggup menggantikan rumah Tanah Air, rumah yang dihuni sang bunda ataupun kekasih. Menziarahi diri sendiri menjadi refleksi untuk terus mempertanyakan identitas diri, yang terasing dan jauh dari kenangan.
 
Pada konteks hasrat kepulangan ini, Asahan Salam teringat pada sosok ibunda yang telah lama ditinggalkan. Pada sajak ”Kelasi Pulang Senja”, Asahan menulis: Pulang anakku, terlalu lama kau bermain/ Aku yang selalu berjalan/ Aku manusia pergi yang selalu lupa waktu kembali/ Dan beginilah hukuman itu datang/ Suara bundaku tak hilang hilang/ Kini masih senja/ Tapi juga sudah sia-sia/ Bila kembali/ Hilang sudah wajah bunda. Ibunda selalu menjadi rumah yang sebenarnya, ia tak tergantikan oleh konstruksi fisik ataupun kebahagiaan yang lain. Suara bunda terus membayang untuk meminta anaknya pulang, yang disekap perjalanan, dan terkatung-katung di negeri asing. Penyair ingin pulang, tetapi ia tak bisa. Ia tak diperbolehkan mengunjungi rumahnya sendiri.
 
Menuju rumah keindonesiaan
 
Perjalanan pulang menuju rumah keindonesiaan menjadi mustahil dalam bayangan, tetapi terus diperjuagkan. Pergantian rezim demi rezim merupakan titik penantian bagi penyair untuk meniti jalan pulang, menuju rumah kenangan. Namun, yang dirasakan di sepanjang perjalanan itu hanyalah penderitaan, selebihnya kesedihan. Sobron Aidit dalam ”Stetmen Orang Miskin” mengungkapkan: Di mana-mana kulihat-kusaksikan/ kurasakan-juga kuderitakan/ ada yang kaya bukan main/ ada yang miskin bukan kepalang/ yang menindas-menguasai, menipu dan menghisap/ yang tertindas-dikuasai, tertipu dan terhisap/ dua barisan berhadapan secara diametral/ kami sekeluarga dan banyak teman ada di barisan ini.
 
Aidit merupakan salah satu penyair eksil yang terus berjuang untuk menziarahi Tanah Air, walaupun dalam kenangan. Meski tinggal di Paris, sajak-sajaknya terasa dekat karean (karena, red) mempertanyakan problem mendasar manusia Indonesia. Ketimpangan antarkelompok masyarakat, masalah kemiskinan dan konflik, serta kuasa antarelite menjadi pikiran Sobron Aidit selama di tanah asing.
 
Ketika hasrat pulang ini tak tergantikan, puisi menjadi satu-satunya media untuk menyalurkan rindu. Agam Wispi menulis ”Pulang” sebagai pengakuan di tengah keterasingan: Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang/ Puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang/ Puisi generasi baru bijak bestari menerjang/ Keras bagai granit cintanya laut menggelombang/ Di mana kau/ Pohonku hijau?/ Dalam puisimu, wahai perantau/ Dalam cintamu jauh di pulau.
 
Rumah keindonesiaan merupakan tujuan pulang yang sebenarnya. Ketika rumah ini tertutup oleh pintu tiran, puisi menjadi jendela yang menghubungkan dunia asing dan memori masa silam. Para penyair eksil pulang dalam deretan sajak. Ia terus berusaha menuntaskan perjalanan, tetapi hanya menuju entah.
 
Jika, penyair eksil menggigil kesepian di tanah asing, beberapa sastrawan Tanah Air pun merasa asing di negeri sendiri. Kisah hidup Pramoedya Ananta Toer menjadi tamsil tentang sastrawan yang terasing di rumahnya sendiri, meminjam ungkapan Ashis Nandi—exile at home. Kisah-kisah sastrawan yang kesepian di tanah asing, ataupun terasing di negeri sendiri, merupakan bagian kenyataan historis perjalanan panjang sastra Indonesia. Mereka tetap menjadi bagian dari proses—dalam pikiran Paraktiri Tahi Simbolon—”menjadi Indonesia”. Sastrawan eksil ingin pulang menuju rumah abadinya, tetapi ia terjebak dalam ruang kosong antara; yang jauh tetapi dekat.
***
 
*) Alumnus Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Direktur Riset the North Coast Center (NCC) STAI Mathali’ul Falah Pati.

http://sastra-indonesia.com/2015/12/jejak-1965-identitas-keindonesiaan-sastrawan-eksil/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar