Thursday, February 25, 2021

Wajah Kultural Kita

M. Shoim Anwar
 
Jemuah legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang Wonokromo.
Merah-Putih Kepala Banteng
Benderane dokter Soetomo.
 
Pantun (parikan) di atas dikidungkan oleh Cak Pono, arek Jombang, saat pentas Ludruk Sari Bancet di Bondowoso. Gara-gara kidungan itu pementasan dibubarkan oleh Belanda karena dianggap menghembuskan nafas nasionalisme. Saat pentas di Desa Mojorejo, Jombang, Cak Durasim sebagai pimpinan Ludruk Organisatie (LO) ditangkap dan disiksa Jepang karena melantuntan kidungan “Pagupon omahe dara, Melok Nippon tambah sara.” Cak Pono dan Cak Durasim adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka menggunakan media kultural sebagai media perlawanan. Ketika Indonesia telah merdeka, tema-tema perlawanan terhadap kolonialisme juga masih mendominasi lakon-lakon ludruk.
 
Kolonialisme memang melahirkan berbagai akibat buruk. Cak Pono dan Cak Durasim sadar hingga melakukan perlawanan. Di sisi lain, kolonialisme juga menimbulkan perpecahan kepribadian. Sebagai contoh, Hanafi dilahirkan sebagai seorang bumi putra (Indonesia), tapi dia bergaya hidup seperti orang Belanda (Barat) dan menganggap rendah apa-apa yang berbau Indonesia. Dia pernah bersentuhan dengan sekolah Belanda hingga membuatnya makin tercerabut dari akar budaya tanah kelahiran sampai akhir hayat. Hanafi adalah seorang tokoh dalam roman klasik Indonesia Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Hanafi hadir sebagai simbol dalam wacana kolonial yang mewakili berbagai persoalan antara pihak penjajah dan terjajah. Dengan demikian Hanafi tidaklah sendiri.
 
Hanafi adalah simbol kekisruhan identitas. Kolonialisme telah menghunjamkan cakarnya ke bumi jajahan, tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai belahan bumi. Identitas menjadi proyek pencitraan kolonial, di mana bangsa penjajah selalu dicitrakan jauh lebih baik daripada yang terjajah. Tokoh-tokoh lokal dalam kisah Nyai Dasima dicitrakan tidak baik, sementara tokoh Belanda dibuat bertengger secara terhormat. Kisah tersebut ditulis oleh G. Fransis, sastrawan peranakan Indo-Belanda tahun 1896. Dalam film-film koboi Amerika, suku Indian yang asli Amerika kerap kali digambarkan sebagai kelompok yang brutal dan suka menjarah. Bahkan, wacana sejarah kolonial menyatakan bahwa Colombus adalah ?penemu? Benua Amerika. Seakan-akan Benua Amerika saat itu adalah wilayah kosong yang hanya dihuni para binatang liar. Kolonialisme dan perbudakan di Amerika akhirnya memunculkan wacana antikolonial dengan terbitnya buku Uncle Tom?s Cabin karya Stowe.
 
Lihat juga film-film Amerika yang berlatar Vietnam, Rambo misalnya, bangsa Vietnam selalu digambarkan sangat jahat dan buruk hingga perlu ditumpas. Amerika menyerang Vietnam dalam rangka kolonialisme. Amerika akhirnya mengalami kekalahan besar. Tetapi, hampir dalam semua filmnya, Amerika dicitrakan menang. Model seperti ini dapat pula dilihat pada film-film Amerika (Barat) yang bertema perang, spionase, dan pembebasan yang berlatar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penduduk asli dan para pemimpinnya senantiasa dicitrakan buruk.
 
Kolonialisme fisik mungkin sudah dapat dilepaskan. Tetapi, kolonialisme telah membekaskan luka yang panjang. Para kritikus seperti Edwar Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, atau Leela Gandhi, telah mengungkap bahwa dalam wacana pasca/poskolonial pun problem kolonialisme telah menjadi sesuatu yang laten. Kolonialisme telah menjadikan krisis identitas yang tidak selalu disadari oleh bangsa-bangsa yang pernah dijajah, khususnya di Afrika dan Asia. Masyarakat terjajah berkecenderungan mengalami problem psikologis seperti hibridasi, mimikri, dan ciri-ciri ambilavalens sebagai akibat hegemoni kekuasaan yang dilakukan selama masa pendudukan.
 
Brosur-brosur yang menawarkan perumahan juga dilanda penyakit poskolonial. Dalam gambar-gambar rumah tersebut biasanya terdapat gambar atau foto orang di depannya sebagai penghuni. Anehnya, banyak kompleks perumahan yang diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, gambar atau foto yang ditampilkan justru berwajah orang Barat, seakan orang Indonesia tidak layak ditampilkan. Dalam realitanya pun tak ada orang Barat yang menghuni di kompleks perumahan seperti itu.
 
Tiap hari kita berhadapan dengan media massa. Begitu banyak iklan tentang kecantikan yang menawarkan “kulit menjadi lebih putih” dengan segala akibat positifnya. Hampir semua adegan iklan menggambarkan bahwa “si kulit putih” menjadi pusat perhatian dan unggul sehingga “si kulit yang lain” menjadi rendah diri, bahkan mengutuk kodratnya. Kita digiring ke persoalan ras sehingga kulit yang berwarna “sawo matang”, “coklat”, atau “hitam” dipandang lebih buruk dan dijauhi sehingga perlu “diputihkan”. Hegemoni seperti ini menjadikan para perempuan terperangkap dalam mitos kulit putih dan ingin mimikri atau menirunya secara instan hingga berefek buruk bagi kesehatan. Bila di Indonesia para perempuan disuguhi obat “pemutih” kulit, apakah di Barat juga ditawarkan obat “penghitam”, “pencoklat” atau pewarna yang lain? Rasanya kita belum pernah mendengarnya.
 
Krisis identitas, khususnya yang berkaitan dengan ras, menjadi semakin melebar. Identitas kulit putih ditambahkan lagi dengan warna rambut. Jangan heran bila masyarakat yang mengalami krisis identitas banyak yang menyemir rambutnya seperti warna rambut orang bule. Hidung mereka juga dipermak agar menjadi mancung seperti ras orang bule. Tempat tinggal mereka, arsitektur rumah atau kota, banyak menampilkan model atau patung-patung dari negeri orang bule. Sinetron atau acara-acara televisi pun, meski berkaitan dengan bersoalan lokal, tampak ada selera untuk mengedepankan bintang orang bule, setidak-tidaknya berdarah indo. Mirip dengan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan di atas, para selebritis juga lebih suka kawin dengan pria bule. Sampai-sampai ada sindiran, alangkah enaknya menjadi bule, meski gelandangan, asal mau sedikit bergaya di Indonesia, tentu akan digaet oleh artis. Hibridasi ini kerap berantakan di tengah jalan karena kegagalan menjinakkan identitas kultural, seakan-akan membenarkan paham kolonialis, “Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak dapat disatukan”.
 
Kolonialisme telah menyatukan dirinya dengan kapitalisme. Media global yang dimiliki oleh para pemodal besar begitu gencar melancarkan invasi ekonomis. Masalah gaya hidup yang berkaitan dengan 3F (Fashion, Fun, dan Food) serta 3S (sex, sport, science/technology) menjadi tema yang dipompakan dari detik ke detik. Kiblat yang dituju sangat jelas, yaitu mengajak hidup konsumtif sebagai bagian dari rantai industri. Perlawanan terhadapnya memang tidak mudah. Yang paling umum dimunculkan adalah hibridasi “glokal”, “berpikir global tetapi berkepribadian lokal” sebagaimana disimbolkan oleh tokoh Marineti dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.
 
Kolonialisme menimbulkan residu berkepanjangan dan memiliki dampak yang kompleks. Saat masa pergantian rezim, seperti ditulis Leela Gandhi, masyarakat poskolonial mengalami ambivalensi kultural, antara lain, ditandai dengan retorika kemerdekaan dan euforia swapenciptaan yang kreatif, penuh dengan kebingungan dan ketakutan akan kegagalan menciptakan kondisi dan organ-organ baru, dipaksa menegosiasikan berbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historis, terpedaya dalam harapan bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara cepat, adanya aparat kebebasan yang tak tampak dan tekanan ketidakbebasan yang tersembunyi, jejak-jejak dan kenangan residual terhadap subordinasi, kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang tersamar.
 
Munculnya kerusuhan di sekitar pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, antara lain, juga disebabkan oleh ambivalensi kultural. Tafsir poskolonial otonomi daerah tidak lain adalah terlepasnya simpul-simpul kekuasaan pusat dan diambil alih daerah. Dari tafsir demokrasi, otonomi daerah pada awalnya dikonsepkan untuk memberdayakan daerah agar lebih kreatif dan mandiri dalam pengelolaan pemerintahan, lama-lama mengalami polarisasi ke ajang pertarungan kekuasaan dan kapitalisasi. Kolonialisme yang identik dengan kekuasaan mengejawantah dalam bentuk politik uang. Mereka yang memiliki uang dan bernafsu menjadi penguasa akan membeli hak-hak rakyat, bahkan menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan ketika syahwat kekuasaan tak dapat dipuaskan.
 
Kolonialisme mencengkeram kekuasaan untuk mengeruk _ultura. Syahwat politik dikeloni agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Mereka yang berkuasa akan terus berusaha untuk merebut lagi pada periode berikutnya. Bila tak mungkin, istri atau anak merekalah yang dipompa untuk maju. Kekuasaan adalah investasi modal yang nantinya harus kembali dengan jumlah yang melimpah-limpah. Korupsi akhirnya merajalela. Identitas _ultural makin terpuruk. Hidup dipenuhi janji-janji dan slogan-slogan yang ambivalens. Itulah sebagian wajah _ultural kita.
***
 
* Untuk Irfa di Ngudirejo yang selalu berjuang melawan kolonialisme.

** Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang]. http://sastra-indonesia.com/2011/08/wajah-kultural-kita/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar