Wednesday, February 3, 2021

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Faisal Kamandobat
Kompas, 12/01/14
 
Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.
 
Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski dipuja tetapi tak cukup didengar.
 
Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik, beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori” kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.
 
Untuk mengetahui masa ”kejayaan” para penyair, bukti sejarah yang paling baik terdapat pada masa pramodern, yaitu ketika kapitalisme dan ilmu pengetahuan belum sungguh-sungguh melembaga dan otonomi individu belum menguat seiring belum kokohnya kepemilikan individu. Dalam masyarakat demikian, peran penyair dapat dikatakan penting dalam menjaga keseimbangan sosial, yang oleh orang Yunani Kuno disebut kosmos.
 
Pentingnya peran penyair tersebut terkait dengan kenyataan bahwa puisi (dalam bentuknya yang paling umum, yaitu sebagai produk bahasa berdasarkan permainan irama dan repetisi) masih merupakan bentuk pengucapan yang paling mewakili karakter kosmis dan transenden dari mitos dan ideologi masyarakat pramodern.
 
Usaha peng-kosmis-an dilakukan melalui permainan harmoni dalam irama puisi, dan transendensi dicapai melalui pola repetisi puisi yang mengantarkan pengucap dan pendengarnya menempuh tingkatan-tingkatan intensitas hingga mendekati bentuk penghayatan yang paling menyerupai tatanan semesta yang dibayangkan, sesuai mitos atau ideologi yang diacu.
 
Karena itu, tidak heran jika hampir semua kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk yang puitik, pula hampir semua teks yang dianggap suci dalam berbagai kelompok etnis. Dan tentu, kandungan dalam puisi-puisi tersebut mengacu pada peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh kelompok yang menganutnya, seperti penciptaan, kelahiran, kutukan, kiamat, dan penciptaan kembali. Kitab suci agama-agama lazim diketahui menggambarkan peristiwa-peristwa penting itu, seperti juga sajak-sajak bini yang dibawakan oleh para manaholo, penyair tradisional Rote, berisi peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh para tetua adat di masa yang telah silam.
 
Melalui puisinya, para penyair pramodern memosisikan dirinya sebagai sumbu yang ”mengendalikan” sejarah masyarakatnya berdasarkan sumber mitis yang diacu, karena terhadap acuan mitis itulah kehidupan masyarakat sehari-hari diorientasikan dan sekaligus menemukan status historisnya. Tanpa mengacu pada sumber yang disepakati, sebuah peristiwa tidak dianggap sebagai bagian dari kosmos alias berada ”di luar dunia”, dan karena itu bersifat ekstra-historis.
 
Sejarah, dengan demikian, sebagaimana disebut Mircea Eliade (1991) adalah takdir menjalani peristiwa pengulangan terus-menerus sesuai pusat acuan dengan hanya sedikit partisipasi individu dari generasi setelahnya. Hal itu terjadi sejauh individu tersebut bukan seorang penyair, raja, pendeta, penyihir, atau pemberontak yang memiliki daya ledak seorang Dionysius yang mampu mengacaukan kosmos. Agar tidak terlempar dari sejarah, kehidupan sehari-hari yang paling wajar sekalipun mesti dikaitkan dengan pusat acuan, entah dengan puisi atau praktiknya, yaitu ritual.
 
Hidup dalam sejarah demikian itu, yang terserap secara total ke dalam harmoni kosmis, tak ubahnya tinggal dalam pandangan Plato tentang dunia ideal, di mana dewa-dewa hidup bersama manusia di alam yang sama, dan surga di langit menjadi model yang ”melembaga” dalam realitas sosial di bumi. Para penyair menjadi pewarta agung dalam sejarah yang demikian itu, mengisi makna secara penuh ke hampir seluruh realitas, sehingga ia sering dianggap suci dan bahkan setengah dewa, dan pada akhirnya ikut tenggelam dalam dunia yang mereka nubuatkan.
 
Kuasa yang terbatas
 
Pada masa selanjutnya, posisi penyair sebagai penjaga kosmos perlahan terkikis oleh perubahan sosial. Kosmos masyarakat pramodern tidak semata dibentuk oleh rima dan repetisi puisi para penyair, tetapi juga didukung oleh organisasi sosial, pembagian kerja, basis ekonomi, aturan kekerabatan, tatanan religi, yang membentuk kolektiva sosial yang melampaui eksistensi individu.
 
Perubahan tersebut terjadi hampir menyeluruh. Secara ekonomi, datangnya kapitalisme telah mencabut hak milik adat menjadi milik individu. Dampaknya adalah melemahnya institusi agama, kekerabatan dan adat, diikuti nilai, ritual, dan upacara yang berkaitan dengan semua hal itu. Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu itu.
 
Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu—sesuai sistem ekonomi yang baru.
 
Dalam konteks tersebut, konsep waktu yang semula tunggal, kolektif dan siklis, berubah menjadi plural, individual dan progresif mengikuti kehendak individu. Akibatnya, waktu dipahami oleh tiap individu sebagai arus linear yang menjelajah ke depan dan menembus gugusan teritorial, paralel dengan terjadinya diferensiasi sosial, persebaran penduduk, dan terciptanya struktur sosial baru di pusat-pusat kapitalisme yang sedang tumbuh.
 
Di tengah situasi tersebut, para penyair pramodern pun goyah di singgasana kosmosnya. Sebagian dari mereka tetap tenggelam dalam kosmologi lamanya, sedangkan sebagian lain yang cukup sigap mencoba menumpang perahu penyelamat dengan ikut mengkreasi sejarah modernitas. Dalam medan baru ini, posisi dan peran mereka tidak sekuat dan sekeramat dulu lagi. Ia harus berbagi kekuasaan dengan para filsuf, ilmuwan, teknolog, politisi, arsitek, pedagang, dan buruh—peran-peran yang pada masa pramodern sering hanya ditempatkan sebagai ”figuran” belaka.
 
Pembagian kekuasaan tersebut pada akhirnya ikut mengubah bentuk puisi. Pada masa pramodern, bentuk puisi yang diacu adalah koherensi kata, baris dan rima, yang merefleksikan ikatan historisnya dengan harmoni kosmis. Dalam puisi modern, aturan rima demikian justru dilanggar sebagai modus penghadiran individu penyair ke dalam bahasa, sekaligus merefleksikan kuasa penyair yang kian terbatas. Dengan kata lain, jika dalam masyarakat pramodern sosok penyair menjadi manifestasi dari kosmos dan kolektiva sosial, dalam masyarakat modern ia hanya sesosok individu yang berusaha sekuat tenaga menghadirkan dirinya ke masyarakat, bukan lagi ”penguasa” atasnya.
 
Mekanisme penegasan kuasa sosial para penyair juga ikut berubah. Dalam masyarakat pramodern, puisi dibacakan dalam kegiatan ritual untuk menegaskan status sucinya, di mana sang penyair berbagi kekuasaan dengan para dewa-dewi.
 
Adapun dalam masyarakat modern, penyair membacakan puisinya dalam festival yang menegaskan status sekuler dan profannya untuk mereguk sepenuhnya kekuasaan yang terbatas atas namanya sendiri. Semakin kuat dan inovatif puisi-puisinya, semakin ia diterima oleh masyarakat; semakin prestisius festival yang diikuti, semakin tegas aura kuasanya sebagai ”pewarta murung” modernitas.
 
Perlu mekanisme baru
 
Mekanisme penegasan kuasa semacam itu tentu memiliki konsekuensi. Secara estetis, kuatnya posisi individu memungkinkan pesatnya inovasi, yang secara sosiologis berarti memberi banyak pilihan orientasi terhadap masyarakat. Namun karena inovasi tersebut hanya didukung oleh mekanisme kontestasi yang tidak berkaitan secara kuat dengan institusi-institusi lainnya, baik ekonomi, politik, agama, adat maupun keluarga, kuasa penyair dalam memberi orientasi terhadap sejarah menjadi lemah. Penyair modern (setidaknya di Indonesia) dianugerahi kebesaran nama, tetapi pengaruh sosial dan politiknya telah jauh berkurang.
 
Untuk meningkatkan ”kuasa” para penyair dalam sejarah modern, panggung festival dan industri penerbitan saja tidak cukup. Kita membutuhkan mekanisme yang sanggup menghubungkan puisi dengan agama, keluarga, kekerabatan, perusahaan, negara, dan pemerintahan yang luar biasa kompleks karena keragamannya di negeri ini. Di samping itu, ideologi yang dibawa para penyair juga mampu menyentuh wilayah ”meta-sejarah” yang menjembatani komunikasi bangsa yang beragam ini, tidak hanya melakukan kreasi estetis berdasarkan bentuk estetis—kendati dalam kadar tertentu bentuk estetis juga menentukan ideologinya.
 
Jika mekanisme tersebut berhasil dilakukan, para penyair modern setidaknya bisa ikut menunda ”keruntuhan sejarah” bangsanya yang sedang mengalami atomisasi di berbagai bidang, atau bahkan menjadi dirijen sejarah berdasarkan irama puisi-puisinya, untuk bergerak mengikuti pancaran ideologi yang mereka nubuatkan.
***

*) Faisal Kamandobat, Penyair. http://sastra-indonesia.com/2014/06/penyair-dan-keruntuhan-sejarah/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar