Monday, January 25, 2021

Artikulasi Tubuh dan Penjara Kata-kata

Mashuri
Media Indonesia
 
Bahasa teater tak sepenuhnya bisa diwakili dengan kata-kata. Jika teater hanya berkutat pada kata-kata, teater hanyalah aktualisasi dari sastra. Teater memiliki bahasanya sendiri sebagai eksplorasi ruang dan tubuh, dengan penekanan pada artikulasi dan pemahaman kemungkinan pada gerak dan distorsi tubuh, latar, kostum, musik juga tata lampu. Pada titik ekstrim, komunikasi teater bergaung secara metafisis dan spiritual tanpa perlu dibahasakan secara utuh dan verbal. Hanya saja jika teks naskah terlalu dominan dan teks terkesan berbeban makna dan diskursif, dengan sendirinya bisa menyita komunikasi yang seharusnya berlandasan pada pencerapan indra, untuk menangkap momen-momen dan kemungkinan dari menghidupkan tubuh dan ruang di panggung. Setidaknya itulah kesan sebagian dari pentas monolog Djarot B. Darsono di Gedung Utama Balai Pemuda, akhir April 2005.
 
Pentas itu berlandaskan naskah ‘Kapal Terbang dari Bantal’ karya Afrizal Malna. Bisa ditebak, naskah tidak hanya mendesakkan serangkaian penafsiran berlapis, karena naskah bertaburan akrobatik kata-kata dengan paradigma ‘keterpecahan antroposentrisme di belantara hiperreal khas Afrizal’ seakan-akan mengundang paradoks-paradoks sekaligus memberi daya sugesti tersendiri. Jika ini dituang dalam puisi, mungkin ‘kekekalan’-nya ada dan tafsir serta penciptaan makna bisa diulang, tetapi karena digarap dalam teater maka ‘kefanaan’-nya yang bicara. Ada unsur yang pada satu momen terlepas, kemudian pada momen selanjutnya tertangkap, begitu pula sebaliknya. Itu sangat tampak ketika Djarot bermain dan mengulang-ngulang dengan ekspresi yang hampir sama dalam beberapa adegan: “Ikan-ikan di akuarium itu harus diberi makan, kalau tidak diberi makan ikan-ikan di akuarium itu akan mati. Tapi di mana akuariumnya?”
 
Pada ungkapan selanjutnya pun seakan terkesan memberondongkan serangkaian mantra ‘mutakhir’ untuk mencuri, menyerang dan ‘menguasai’, dengan cara menjejer benda-benda sebagai satu rangkaian parade. Malah pada momen tertentu menyentak dengan membalik logika, baik lewat permainan kata dan sintaksis yang berefek filosofis dan mampu meledakkan ambiguitas tafsir. Satu sisi seakan mengembalikan teater pada akar purbaninya, sebagai pengejawantahan tindak komunikasi komunal dengan alam; upacara dilakukan oleh shaman dipandu dengan nyanyian, mantra dan tarian, apalagi aktor yang berlatarbelakang tari itu terus berikhtiar berkomunikasi dengan teks naskah dengan bahasa gerak dan tubuh.Tapi di sisi lain juga melesakkan kesadaran baru perihal kekinian: terutama ketika simbol-simbol Indonesia didesakkan di panggung, baik pada ungkapan: “Indonesia di dalam akuarium”, atau “akuarium di dalam Indonesia”; serta pada kostum pemain yang bergaris merah putih serta guling yang diandaikan sebagai tabung oksigen yang digantung: berwarna merah dan putih, juga soal kuasa dan kekuasaan, pelanggaran hukum, terlebih korupsi.
 
Untunglah, meski jejalan teks-teks itu sangat diskursif, aktor tidak berhenti, ia masih terus mencari dan mencoba membahasakannya dengan tafsir tubuh, gestur, serta gerakan-gerakan eksplore yang dimungkinkan bisa mengembalikan aura pertunjukan pada satu bentuk tontonan. Pada titik tertentu, tafsir teks pemain dengan bahasanya sendiri memang tidak maksimal. Tetapi mengingat ia berhadapan dengan teks Afrizal yang pada beberapa adegan terasa mencengkeram dan sangat disadari oleh aktor sampai-sampai ia menyebut nama “Afrizal” dalam pentas, hasil yang dicapai cukup bisa dijadikan acuan, karena pada beberapa momen artikulasi tubuh dan ruang tidak hanya berupaya mengatasi kata-kata, tetapi bahkan mampu menghidupkan kata-kata. Apalagi terkesan pencarian itu belum berhenti dan dialog antara aktor dan naskah tetap berjalan secara substansial.
 
Sebenarnya bukan satu soal yang mendesak untuk segera mendikotomikan antara sastra dan teater secara konfrontatif, dan belum saatnya ‘teater anti sastra’ dilesakkan sebagai satu sikap terhadap ketergantungan dan dominasi sastra dalam teater. Bagaimana pun teater memang bermula dari naskah dan naskah ditulis oleh kebanyakan penulis naskah yang juga sastrawan. Selama ini, peran keduanya pun sangat proporsional, tanpa berupaya berebut kuasa dan hubungannya pun tidak terjalin dalam konsepsi dominasi abdi-penguasa demikian.
 
Tetapi sebagai satu pilihan, teater tanpa kata —atau melepas kata-kata dari panggung— bisa jadi sebagai tawaran esensial demi kepentingan estetik; apalagi jika dirasa kata-kata tak lagi bisa menyumbang lebih pada pentas dan terkesan membatasi, bahkan mengganggu. Apa yang telah dirintis WS Rendra dengan konsep ‘Mini Kata’, merupakan penyikapan yang ekstrim terhadap kata-kata yang bisa ditafsirkan sebagai ‘penjara’ di pentas teater. Dengan mini kata dan mendayagunakan tubuh sampai batas sebagai satu bahasa di panggung, komunikasi yang terbangun lebih bergaung, melesak ke ruang-ruang kesadaran dan mampu memberi ‘terapi’ pada mata, juga telinga. Pilihan ini, bukan karena aktor malas dan bebal untuk menghapal naskah atau menghayati peran, tetapi konsepsi ini sebagai satu tawaran atau pilihan dalam berteater.
 
Seorang dramawan Surabaya dari Teater Gapus, Muhammad Aris pernah juga mencanggihkan konsep ‘mini kata’ itu dengan konsep baru teater fana’ (inklusif); berpatok pada ‘proses’ menuju keadaan ketika kesadaran pada keterbatasan diri tidaklah tetap ada, tetapi pada titik tertentu kesadaran itu kembali. Ia mengembalikan teater pada kodrat manusia yang paling murni: antara menangis dan tertawa, yang berparalel dengan ekspersi sedih dan gembira. Dua batas yang sebenarnya tak bisa dimaknai sebagai satu penanda perasaan: karena keduanya juga riskan untuk dimanipulasi atau bertukar tempat. Menangis tidak hanya sedih tapi bisa pula karena terlalu gembira. Sebaliknya tertawa tidak hanya gembira tetapi bisa karena kelewat nelangsa. Dalam pentas garapannya bertajuk “Plung” yang sempat beberapa kali pentas di kampus-kampus Surabaya, beberapa waktu lalu, konsep itu pun dijadikan acuan dengan eksplore tangis dan tawa pada titik ekstrim. Mulut dibisukan dari artikulasi kata-kata yang menyaran pada satu pengertian dan bisa menyulut proses pencerapan kognisi. Suara dikembalikan pada dikotomi ekstrim: hanya bertaruh pada erang dan gelak. Satu tarikan radikal untuk mengembalikan teater pada posisi yang paling subtil dan menyublim ke ranah ketaksadaran. Secara bentuk, eksplorasi Muhammad Aris juga mengembalikan ciri teater pada titik awalnya: sebagai sebuah upacara.
 
Apalagi gerak yang diacu dari konsep itu adalah gerak melingkar —sebuah pandangan yang terkait dengan konsep waktu, takdir, juga keberadaan semesta yang sebenarnya tak bisa direka, diduga atau diraba seluruhnya tetapi tetap hadir meski tak disadari kehadirannya. Posisi aktor bisa jadi sebenarnya diam, tapi diam yang bergejolak. Kiranya eksplorasi gerak melingkar memberikan kemungkinan untuk diembannya dua paradoks itu; seperti permukaan air yang diganggu: kelihatan bergerak, tapi esensinya tetap dan tidak ke mana-mana. Apalagi gerak yang dilakukan para aktor pun menghantar pada satu momen penting yang dilakukan oleh para darwish dalam tarian berputar Maulawiyah dari Maulana Jalaluddin Rumi. Satu tarian yang mampu menghantar pada satu titik: ektase, yang berakar pada kesetimbangan tubuh yang tak terpahami secara nalar, saat ia ikut berputar dan berpusar seperti bumi pada porosnya.
 
Kiranya pilihan tak bersuara atau tak menggunakan kata-kata bisa menjadi satu pilihan eksperimental, karena bila perpaduan antara gerak-gerak tadi dengan membahasakan gambar dengan eksplore tubuh terpadu; maka terjemalah satu bahasa teater, satu bahasa yang tidak memerlukan kata. Kehadiran kata malah mengganggu dari pencapaian teater yang diinginkan: satu momen yang ingin ditangkap, dirasa, tapi terlepas oleh daya serap indra yang terbatas dan sekilas.
 
Kembali pada pentas Djarot, pada dasarnya sebagai satu teater, pentasnya bisa dikatakan berhasil. Jika ada bagian adegan yang terkesan dikuasai teks naskah, kiranya itu sebuah keniscayaan karena naskah Afrizal memang berbobot dan bagus. Tetapi jika dicermati lebih jauh, pergulatan aktor pada naskah, dan mungkin gagasan yang ingin didesakkan naskah itu, bisa diantisipasi dan dibahasakan dengan bahasa aktor sendiri di panggung. Djarot tidak sekedar menjiplak naskah secara harfiah, tetapi melakukan proses internalisasi tanpa terjebak pada aspek-aspek puitis dan gelap.
 
Di pentas, terkesan ada kesejajaran dan saling menghidupi antara aktor, seting panggung, musik, tata cahaya, serta teks naskah dan menjadi teks panggung yang utuh. Musiknya pun tak berlebihan, bahkan seakan-akan menafsirkan sendiri naskah, tanpa kehilangan momen untuk saling bertemu dan bersapa dengan gerak dan ekspresi aktor. Tafsir ini pun termanifestasi pada pilihan seting. Jika naskah mengacu pada ruang-ruang penjelajahan yang dipenuhi dengan belukar benda-benda dan berjejal wacana, panggung bisa menampilkan sebaliknya: minimalis. Tetapi bukan distorsi yang terjadi, karena dengan pilihan minimalis dan memberi titik tekan pada simbol, setting semakin efektif mendukung gagasan dan imaji yang ingin ditawarkan.
 
Adapun, terkait dengan judul pentasnya: pentas monolog, kiranya, monolog hanyalah satu teknik pementasan dalam berteater.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/02/artikulasi-tubuh-dan-penjara-kata-kata/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar