Sunday, December 27, 2020

Putu dan bulatan aneh

Syu’bah Asa
majalah.tempointeraktif.com 31 Des 1983
 
Sutradara: putu wijaya pemain: renny, budi setiawan produksi: teater mandiri pementasan di: teater tertutup tim. (ter)
TAI Oleh: Putu Wijaya Pemain: Renny Putu Wijaya, Budi Setiawan, dll. Musik: Harry Rusli Artistik: Roedjito Produksi: Teater Mandiri
 
TAI Putu Wijaya bukanlah kotoran manusia yang menjijikkan. Meski pertunjukan ini – di Teater Tertutup Taman Ismail Maruki, Jakarta, 22-31 Desember – boleh dianggap puncak rasa kesal “yang tak tertahankan lagi”, seperti dikatakan pengarangnya, di panggung ia tetap lebih merupakan tontonan daripada sebuah gumpalan ekspresi yang pahit. Bahkan karya Putu yang lebih murni imaji-imaji, seperti Lho, merayap jauh lebih getir.
 
Kesan umum seperti itu mungkin memang disengaja dengan, pertama kali, masuknya Harry Rusli, pemusik Bandung yang “keras” itu. Ia mengatur serangkaian bunyi yang lebih merupakan komponen pertunjukan yang berkelindan dengan bagus dan bukan ilustrasi. Dan seperti kulit depan bukw naskah yang dibagikan, yang meriah dengan berbagal warna, gaya punk -itu rambut yang dicat model Indian- yang oleh Perias Johnny Andrean dipakaikan pada seluruh pemain, telah menjadikan Tai tontonan mutakhir jenis “kota”, bukan jenis “gombal”.
 
Tidak berarti Tai tontonan manis, tentu. Kostum yang ketat dan cenderung hitam, yang direncanakan Johnny Andrean, menambah suasana berat seluruh set yang kelam ciptaan Roedjito, lengkap dengan plastik-plastik putih yang melapisi dinding secara acak-acakan, ngelawer di sana-sini alias tak rapi. Di atas segala-galanya, adalah benda-benda bergantung “dari langit”, sebuah bulatan besar dan dua-tiga bulatan lonjong kecil terbungkus plastik, yang menimbulkan suasana menekan dengan ancamannya untuk makin turun menimpa bumi. Dan di bawah tata lampu yang relatif suram, ide Tai sendiri dikem6angkan dari sebuah tema yang berat.
 
Yakni “ancaman kepada dunia”, seperti diwakili “benda-benda entah apa” itu, yang konon menjanjikan ajal. Semua usaha menolak musibah, semua kutukan dan pemujaan, sia-sia. Bahkan upaya para pahlawan yang dengan susah payah dibangunkan dari makam.
 
Dan dalam seluruh peristiwa itu muncul penulis sejarah, wanita tangkas berpakaian sebangsa dewi, mondar-mandir dengan kitabnya yang tebal dan pensil sebesar gada. Hadlr i panggung dengan gans-garis dan pOsisl pahng domman, dan dimainkan dengan bagus sekali oleh Renny Putu Wijaya.
 
Semuanya terasa sebagai sekumpulan perlambang. Setidak-tidaknya, lebih dari sekadar ide cerita seperti yang sudah dipakai Putu untuk sebagian nomornya yang terdahulu. Ambillah para pahlawan itu – tokoh yang sering muncul samar-samar, bersama derap tentara, dalam banyak karyanya.
 
Bahwa malapetaka yang dihadapi dunia, atau bagian bumi, ditanggulangi dengan membangunkan para pahlawan, adalah juga khas Putu. Terdengar misalnya ucapan salah seorang yang akan membongkar kubur, “Di mana makam Bapak?” Dijawab penjaa taman pahlawan, “Makam Bapak? Ya nggak di sini. Yang lain ‘kan banyak.” Tapi lebih menyuarakan sikap adalah “pesan”nya, yang disuarakan salah seorang yang tampaknya pemimpin pahlawan, “Kami juga manusia seperti kamu. Kalau kami tidak mampu, mengapa kamu kira kami lebih baik?”
 
Penulis sejarah sendiri adalah sebuah antipoda, tokoh yang bisa mengubah orang biasa menjadi pahlawan atau sebaliknya, mencoret nama orang-orang yang tak disukai dari “daftar indeks”, tokoh yang berkata, “Sejarah yang buruk harus diperbaiki. Ini adalah aspirasi bangsa” – atau “Kejujuran memang penting, tapi ada batasnya.”
 
Sedangkan dua peran petugas, dilukiskan berseragam dan bersenjata, yang dihadapi khalayak dengan sikap benci dan dianggap pengkhianat, mengaku memang berkhianat “demi tujuan kebaikan, yang belum boleh dibukakan sekarang”.
 
Sebuah lagi: ketika akhirnya benda langit yang paling besar jatuh, dan orang-orang mengerubutnya, berhasil “menembus”-nya, “muncul ke atas mencuat dengan sederhana akan tetapi mengharukan dan indah”, demikian konon, si penulis sejarah malah “sudah tergantung dengan kedua kakinya di atas.”
 
Apapun yang dimaksud Putu sebenarnya (termasuk dengan benda-benda dl angkasa itu, yang layaknya memang mewakili ancaman dari langit, tapi juga bisa dianggap sesuatu “yang lebih dekat di atas kita”), semua itu menjadikan pertunjukan ini mengendap ke sekitar kesadaran dasar yang dimunculkan secara global.
 
Tapi hal pertama yang menjadikan tontontan ini bagus adalah tidak adanya keretakan dalam ide. Bekal Putu Wijaya, teater awan yang berangkat dari semangat anticerita dan perjuangan “teater bodoh”, seperti pada nomor-nomornya Lho, Entah, Nol, di sini secara klop berada dalam gumpalan kesan-kesan aktual tentang dunia yang dirasakan semua orang, tanpa menyuarakan pikiran dan dengan demikian menghadapi ujian dari segi kematangan visi. Sekadar membedakan, yang terakhir itu misalnya diperbuat Putu dulu dengan “perjuangan membela pelacur” – dengan argumen lemah – dalam Dor. Juga penyangsian rasa keadilan masyarakat, dengan semangat main-main, dalam Hum Pim Pah.
 
Bila ada yang bikin penat, itu selain terdapatnya sebagian pemain yang belum siap, khususnya yang perempuan, juga kemungkinan luputnya keakraban dengan “dunia gombal” yang juga khas Putu. Lelucon gembelnya menjadi tak terlalu segar – meski masih ada kalimat kejutan seperti, “Hanya bangsa yang besar bisa membongkar makam pahlawannya!” Berkurangnya spontanitas layaknya memang konsekuensi per)alanan seniman kreatif ini sendiri, yang, sambil diingat luasan kegiatannya sehari-hari kini sebagai pimpinan sebuah majalah, menjadikannya “makin berisi”, alias “serius”.
 
Dimensi yang bergeser itu sebenarnya sudah terasa dengan Zat, pementasannya sebelum ini. Berbeda dengan nomor-nomornya seperti di zaman Aduh dan Lho, yang membaurkan alam kita dengan “dunia gaib” atau imaji-imaji yang hitam, Zat lebih mencuat ke atas, ke “Langit”. Dan dalam Tai, pada salah satu adegan akhir, ketika bulatan besar dari atas itu berada persis di tengah pigura panggung, sementara para pemain roboh, ia tampak seperti bola dunia yang sunyi, yang menjanjikan nasib akhir semesta yang rata.
 
Hanya, alangkah malang, atau alangkah khas Putu, bila benar bahwa benda bundar besar itu, atau paling tidak dua benda lain yang terbungkus plastik dan tampak basah, ternyata tahi adanya. Maaf.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/putu-dan-bulatan-aneh/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar