Putu Wijaya
Ini tentang bagaimana
saya menulis. Bukan tentang bagaimana seseorang sebaiknya, apalagi seharusnya
menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis yang umum, karena itu segera
akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.
Perkembangan dalam banyak
hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia berubah dan sastra pun selalu
menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan kiat-kiat terkini, meskipun yang
lama tidak dengan sendirinya musnah.
Memang ada yang umum dan
mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik menulis. Buku “Teknik Mengarang”
yang ditulis oleh Muchtar Lubis sampai sekarang tetap saya anggap sebagai
pedoman menulis yang terbaik.
Pertama sarannya untuk
membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan mungkin lembar pertama) dari yang
sudah kita tulis. Karena itu biasanya bagian-bagian emosional yang tak
terkendali.
Kemudian anjurannya untuk
pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan masalah. Di dalam buku itu
diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur pertanyaan dalam kalimat
pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Dan Chekov
memang seorang master dalam “plot” yang selalu memberikan kejutan yang
mempesona di akhir cerita.
Yang ketiga, Mochtar
Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau sedang buntu. Kalau itu
dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah kembali melanjutkan.
Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat jalan buntu yang
menunggunya.
Berhenti sebaiknya
dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di samping membantu
mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga semangat untuk
meneruskan bekerja.
Unsur cerita secara umum
juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah teracak-acak. Bahkan ada yang sama
sekali menjungkir-balik dan memperlakukan berbeda. Dulu cerita memerlukan
tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang cerita masih terpakai, tetapi
diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur tadi.
Pernah keindahan bahasa
menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan memberi gincu , memoles dan
memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau disampaikan jadi berdandan keren.
Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru, misalnya, seperti menari-nari
melakukan gerak indah.
Tetapi kemudian digeser
oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang cenderung kurang-ajar
(Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan konkrit. Kekenesan dan
kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih dinamis, padat dan
berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontany dan
Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.
Mohtar Lubis adalah
wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan kiat dan pengalamannya
sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa berita yang kering,
menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini memberinya muatan.
Tak pernah dipersoalkan
sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis fiksi dengan ketrampilan
wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun 70-an bahkan kemudian menggabungkan
bahasa sastra ke dalam pemberitaan, sehingga bukan hanya bahasa sastra
berkembang, bahasa pers juga berubah, keduanya saling menghampiri.
Pernah tema besar menjadi
primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib manusia, perang, revolusi dan sebagainya
menjadi tiket untuk dianggap sebagai karya bergengsi. Kita masih terus
mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan Dokter Zhivago Boris Pasternak dan
Hamlet Shakespearre.
Tetapi cerita kemalangan
seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The Sea dari Hemingway pun dianggap
luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam Waiting for Godot karya Beckett
dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah pernah lama hanya ditoleh dengan
sebelah mata karena seperti dagelan
Pada suatu siang (tahun
70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen Raya, saya pernah bertanya
pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu menentukan nilai sebuah
karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah besar kalau temanya tidak
besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang penyair dan eseis
Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab: “Tidak.”
Saat itu saya sedang
menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”. Keduanya tidak punya tema
besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang gagap dan kebingungan
menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.
Rasa kerdil bahkan nyaris
“bersalah” (karena tidak seperti Pramudya Ananta Toer yang banyak bicara
tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan saya yakini, karya
sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana memaparkan apa itu”.
Menceritakan apa yang ada
di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita menguasainya, tidak lagi terasa
tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan sepenuh keberadaan diri kita, dengan
segala kelebihan dan terutama kekurangannya, juga bukan sesuatu yang tercela.
Dalam Telegram saya
numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang berhak bercerita itu hanya
para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa orang yang bodoh dan tidak
tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan pikiran-pikirannya?”
Dalam sebuah Telegram,
tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang tidak dikenalnya dalam bahasa
Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus menunda tulisan itu sampai
saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang diucapkan oleh yang nelpon?
Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan saya, karena seorang penulis
tak harus orang yang serba tahu.
Saya mengambil resiko,
tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab itu dengan deretan
huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga pelaku cerita, dia
tidak menangkap makna tapi hanya bunyi.
Dari proses itu saya
belajar, menulis adalah “mengambil resiko”. Tanpa keberanian mengambil resiko
hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja. Memenuhi persyaratan, tetapi tidak
orisinal apalagi unik. Dua hal itulah kemudian yang selalu saya kejar dalam
menulis.
Keberanian mengambil
resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua untuk menghormati
desiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan aturan. Itu membuat
saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di lapangan
perlahan-lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.
Pada tahun 60-an, saya
menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam drama itu ada yang tidak
logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang menyalahi cerita. Pemain yang
memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan tokoh itu salah. Saya hampir saja
tergoda.untuk mengoreksinya.
Tapi kemudian saya
bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya benar. Tokoh utama pun bisa
saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka mengutarakan pikirannya, tak hanya
menjadi corong dari penulis.
Mempertimbangkan pembaca
dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi kelemahan, karena itu akan membatasi
kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak terlalu bebas, kreativitas akan tertantang,
lalu kita terpacu meloncat seperti dalam lari gawang sehingga hasilnya bisa
mengejutkan. Pada awalnya pembaca menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban
itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.
Saya percaya setiap
penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh jalannya sendiri. Ia memiliki
banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu tidak penting. Yang menentukan
adalah perbedaan-perbedaannya.
Keunikannyalah yang akan
menjadikan produknya menonjol di tengah karya orang lain. Penulis bukan sebuah
pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan kerajinan yang berulang-ulang
dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia menyangkut ekspressi..
Setiap penulis akan
menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak untuk ditiru apalagi
diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain. Pengalaman bekerja
penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses pembelajaran
menulis. Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima sebagai sebuah
idiologi.
Sastra punya potensi
untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen, puisi, esei dan sebagainya
adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan pencarian-pencarian pribadi tetapi
menjadi obyektif ketika berhasil menyangkut kebenaran banyak orang. Akibatnya
sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain, sastra adalah ilmu pengetahuan.
Tak selamanya upaya pencarian sastra berhasil. tetapi setiap kegagalan adalah
sebuah janji.
Karenanya “menulis” bukan
sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan oleh Arswendo: Mengarang Itu
Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan dosen penulisan di UI,
Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.
Mengarang -bagi saya-
adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih, melelahkan, menyakitkan,
membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, menulis menjadi sebuah
peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.
Menulis selalu menjadi
sebuah pengembaraan baru yang membuat saya tertantang sehingga tak ada saat
untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah melihat nyala itu, tetapi dari
apa yang dilakukan para penulis sebelumnya, jelas betapa jilatan pikiran mereka
tetap mengibas ke masa-zaman yang akan datang hingga membuat kehadiran berarti.
Buat saya, menulis adalah
menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya tinggalkan setiap saat
kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment