Sunday, December 27, 2020

Konsep Menulis Putu Wijaya

Putu Wijaya
 
Ini tentang bagaimana saya menulis. Bukan tentang bagaimana seseorang sebaiknya, apalagi seharusnya menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis yang umum, karena itu segera akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.
 
Perkembangan dalam banyak hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia berubah dan sastra pun selalu menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan kiat-kiat terkini, meskipun yang lama tidak dengan sendirinya musnah.
 
Memang ada yang umum dan mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik menulis. Buku “Teknik Mengarang” yang ditulis oleh Muchtar Lubis sampai sekarang tetap saya anggap sebagai pedoman menulis yang terbaik.
 
Pertama sarannya untuk membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan mungkin lembar pertama) dari yang sudah kita tulis. Karena itu biasanya bagian-bagian emosional yang tak terkendali.
 
Kemudian anjurannya untuk pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan masalah. Di dalam buku itu diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur pertanyaan dalam kalimat pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Dan Chekov memang seorang master dalam “plot” yang selalu memberikan kejutan yang mempesona di akhir cerita.
 
Yang ketiga, Mochtar Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau sedang buntu. Kalau itu dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah kembali melanjutkan. Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat jalan buntu yang menunggunya.
 
Berhenti sebaiknya dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di samping membantu mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga semangat untuk meneruskan bekerja.
 
Unsur cerita secara umum juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah teracak-acak. Bahkan ada yang sama sekali menjungkir-balik dan memperlakukan berbeda. Dulu cerita memerlukan tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang cerita masih terpakai, tetapi diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur tadi.
 
Pernah keindahan bahasa menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan memberi gincu , memoles dan memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau disampaikan jadi berdandan keren. Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru, misalnya, seperti menari-nari melakukan gerak indah.
 
Tetapi kemudian digeser oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang cenderung kurang-ajar (Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan konkrit. Kekenesan dan kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih dinamis, padat dan berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontany dan Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.
 
Mohtar Lubis adalah wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan kiat dan pengalamannya sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa berita yang kering, menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini memberinya muatan.
 
Tak pernah dipersoalkan sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis fiksi dengan ketrampilan wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun 70-an bahkan kemudian menggabungkan bahasa sastra ke dalam pemberitaan, sehingga bukan hanya bahasa sastra berkembang, bahasa pers juga berubah, keduanya saling menghampiri.
 
Pernah tema besar menjadi primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib manusia, perang, revolusi dan sebagainya menjadi tiket untuk dianggap sebagai karya bergengsi. Kita masih terus mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan Dokter Zhivago Boris Pasternak dan Hamlet Shakespearre.
 
Tetapi cerita kemalangan seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The Sea dari Hemingway pun dianggap luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam Waiting for Godot karya Beckett dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah pernah lama hanya ditoleh dengan sebelah mata karena seperti dagelan
 
Pada suatu siang (tahun 70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen Raya, saya pernah bertanya pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu menentukan nilai sebuah karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah besar kalau temanya tidak besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang penyair dan eseis Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab: “Tidak.”
 
Saat itu saya sedang menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”. Keduanya tidak punya tema besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang gagap dan kebingungan menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.
 
Rasa kerdil bahkan nyaris “bersalah” (karena tidak seperti Pramudya Ananta Toer yang banyak bicara tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan saya yakini, karya sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana memaparkan apa itu”.
 
Menceritakan apa yang ada di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita menguasainya, tidak lagi terasa tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan sepenuh keberadaan diri kita, dengan segala kelebihan dan terutama kekurangannya, juga bukan sesuatu yang tercela.
 
Dalam Telegram saya numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang berhak bercerita itu hanya para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa orang yang bodoh dan tidak tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan pikiran-pikirannya?”
 
Dalam sebuah Telegram, tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang tidak dikenalnya dalam bahasa Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus menunda tulisan itu sampai saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang diucapkan oleh yang nelpon? Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan saya, karena seorang penulis tak harus orang yang serba tahu.
 
Saya mengambil resiko, tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab itu dengan deretan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga pelaku cerita, dia tidak menangkap makna tapi hanya bunyi.
 
Dari proses itu saya belajar, menulis adalah “mengambil resiko”. Tanpa keberanian mengambil resiko hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja. Memenuhi persyaratan, tetapi tidak orisinal apalagi unik. Dua hal itulah kemudian yang selalu saya kejar dalam menulis.
 
Keberanian mengambil resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua untuk menghormati desiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan aturan. Itu membuat saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di lapangan perlahan-lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.
 
Pada tahun 60-an, saya menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam drama itu ada yang tidak logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang menyalahi cerita. Pemain yang memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan tokoh itu salah. Saya hampir saja tergoda.untuk mengoreksinya.
 
Tapi kemudian saya bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya benar. Tokoh utama pun bisa saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka mengutarakan pikirannya, tak hanya menjadi corong dari penulis.
 
Mempertimbangkan pembaca dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi kelemahan, karena itu akan membatasi kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak terlalu bebas, kreativitas akan tertantang, lalu kita terpacu meloncat seperti dalam lari gawang sehingga hasilnya bisa mengejutkan. Pada awalnya pembaca menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.
 
Saya percaya setiap penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh jalannya sendiri. Ia memiliki banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu tidak penting. Yang menentukan adalah perbedaan-perbedaannya.
 
Keunikannyalah yang akan menjadikan produknya menonjol di tengah karya orang lain. Penulis bukan sebuah pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan kerajinan yang berulang-ulang dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia menyangkut ekspressi..
 
Setiap penulis akan menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak untuk ditiru apalagi diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain. Pengalaman bekerja penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses pembelajaran menulis. Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima sebagai sebuah idiologi.
 
Sastra punya potensi untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen, puisi, esei dan sebagainya adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan pencarian-pencarian pribadi tetapi menjadi obyektif ketika berhasil menyangkut kebenaran banyak orang. Akibatnya sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain, sastra adalah ilmu pengetahuan. Tak selamanya upaya pencarian sastra berhasil. tetapi setiap kegagalan adalah sebuah janji.
 
Karenanya “menulis” bukan sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan oleh Arswendo: Mengarang Itu Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan dosen penulisan di UI, Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.
 
Mengarang -bagi saya- adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih, melelahkan, menyakitkan, membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, menulis menjadi sebuah peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.
 
Menulis selalu menjadi sebuah pengembaraan baru yang membuat saya tertantang sehingga tak ada saat untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah melihat nyala itu, tetapi dari apa yang dilakukan para penulis sebelumnya, jelas betapa jilatan pikiran mereka tetap mengibas ke masa-zaman yang akan datang hingga membuat kehadiran berarti.
 
Buat saya, menulis adalah menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya tinggalkan setiap saat kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.
 
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/konsep-menulis/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar