Ilham Khoiri
Kompas, 01 Juli 2007
DALAM usia 64 tahun,
gelora Putu Wijaya seperti tak habis-habisnya. Pentas Seratus Menit—yang
ternyata molor hingga lebih dari 140 menit—di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu dan
Kamis (27-28/6) malam, menjadi ajang pemendaran energinya.
Monolog itu tampil kuat
sebagai karya baru yang lebih “provokatif”, yang menerabas kungkungan teks
cerita.
Didukung kru Teater
Mandiri, Putu membawakan lima cerpen karya sendiri, masing-masing berjudul
Merdeka (ditulis tahun 1995), Poligami (2003), Raksasa (2006), Memek (2005),
dan Setan (2005). Energi dan pendekatannya dalam menghidupkan kisah-kisah itu
masih menarik dikomentari.
Di depan penonton yang
tak lebih dari separuh kapasitas Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), panggung ditata
bersahaja. Ada kursi kayu di tengah dan semacam sangkar burung bulat yang
tergantung. Latar kain putih bergerak dinamis karena dipermainkan dan disorot
lampu warna-warni. Putu tampil mengenakan setelan hitam-hitam dan berikat
kepala.
Pentas dibuka dengan
cerpen berjudul Merdeka. Diceritakan, seorang juragan tua yang menghadiahi
burung-burung perkututnya dengan melepaskannya ke alam bebas. Makna kemerdekaan
pun dipertanyakan dalam konteks kekinian.
Cerpen kedua, Poligami,
mengisahkan perempuan yang ingin menjadi laki-laki yang dianggap menggenggam
otoritas sosial lebih kuat. Namun, saat keinginan itu sempat terwujud dalam
mimpi, perempuan itu justru menemukan fakta laki-laki pun kerap jadi korban
perempuan, terutama saat dimabuk cinta.
Raksasa menuturkan
gerombolan orang-orang yang merasa lebih kuat sehingga mau memangsa manusia
lain. Memek menceritakan bocah yang penasaran untuk mengetahui kelamin
perempuan. Orangtuanya kebingungan menjelaskan, sampai seorang ibu guru
menunjukkannya di depan kelas. Guru itu malah dinistakan dan dibunuh. Setan
mengisahkan setan yang berguru menjadi pahlawan.
Kelima cerpen itu
bukanlah cerita baru, malah sebagian sudah kerap ditampilkan dalam sejumlah
pertunjukan. Kisah-kisah itu kembali mempertanyakan hakikat kemerdekaan,
persoalan jender, dan moralitas. Tanpa menitipkan pesan tunggal yang mutlak,
monolog lebih merangsang penonton memikirkan ulang kenyataan sosial dengan kaca
mata berbeda.
Sebelum di Jakarta,
Seratus Menit sudah dipentaskan di Universitas Parahyangan Bandung, Universitas
Petra Surabaya, dan Universitas Islam Negeri Makassar. Karya ini bakal
ditampilkan lagi di Roma, Italia, dan Praha, Ceko, pada pertengahan dan akhir
Juli ini.
Energi
Menonton Seratus Menit,
kita lagi-lagi dihadapkan pada energi Putu Wijaya yang masih menggelora. Untuk
orang seusianya, bermonolog selama sekitar 2,5 jam dengan lima cerita beruntun
jelas memamerkan kekuatan fisik yang prima, apalagi dia hanya mengambil jeda
sejenak antarcerita, tanpa minum.
Sebelumnya, Putu pernah
tampil sekitar dua jam dalam monolog Demokrasi, Kemerdekaan, Memek, dan Setan
di Goethe Haus Jakarta, tahun 2004. Pentas Zetan di Taman Ismail Marzuki (TIM),
tahun 2003, memakan waktu sekitar satu jam. Begitu juga monolog Protes di GKJ,
tahun 1996, berdurasi sekitar 1,5 jam.
Bagaimana Putu mengelola
energi itu hingga terjaga hingga akhir pentas yang panjang? “Saya berbagi
dengan penonton. Saya mengeluarkan energi kepada mereka, setelah itu saya yang
menyerap balik energi dari mereka,” katanya.
Serap-menyerap energi itu
dalam Seratus Menit terjadi terutama saat Putu menempatkan penonton tak hanya
sebagai pendengar, tetapi juga bagian dari penutur. Dia bisa sesekali
melemparkan lelucon, meminta respons dari penonton, atau bercakap-cakap dengan
kru panggung. Penutur, penonton, dan kru panggung tidak berjarak lagi karena
semuanya dilibatkan dalam satu ruang pentas.
Provokasi
Energi Putu diandalkan
untuk membangun monolog yang dramatis, yang disebutnya sebagai provokasi. Itu
memang diniatkan sejak awal ketika dia memilih keluar dari kungkungan membaca
atau menghafal teks cerita. Teks hanya menuntun inti cerita. Soal bagaimana
kisah itu disuarakan, semuanya bertumpu pada improvisasi dalam momen yang
spontan.
Monolog diolah dengan
memainkan suara, bahasa, mimik wajah, gerak tubuh, dan penguasaan panggung. Dia
leluasa menghidupkan suasana dan tokoh, juga membelokkan alur sehingga sedikit
mengejutkan. Benda-benda di atas panggung, seperti kursi, sangkar, handuk, atau
pecut, dimanfaatkan menjadi obyek atau subyek secara bergantian.
Putu membangun ketegangan
cerita dengan rentetan dialog dan deskripsi yang serasa ditembakkan
bertubi-tubi kepada penonton. Imajinasi dan realitas diaduk-aduk, demikian juga
nama tokoh, tempat, atau rinci alur cerita. Putu lihai bergulat di situ karena
dia adalah penulis cerita, dramawan, sutradara, sekaligus aktor teater.
Segala sesuatunya memang
berpusat pada dirinya sendiri dan dia bisa bermain dengan asyik. Inilah
pertunjukan teater satu orang.
Monolog Putu dimulai
sejak dia membacakan cerpen berjudul Bom di TIM, tahun 1978, dan cerpen “S”
tahun 1979. Pembacaan cerpen dengan keharusan mengikuti teks dirasa membatasi
akting. Tahun 1979, dia mulai menuturkan cerpen tanpa membaca teks.
Putu mengembangkan diri
sebagai aktor monolog tanpa teks dengan pendekatan drama. Produktivitasnya
menulis cerpen juga diikuti kerapnya tampil bermonolog. Akhirnya itu
memunculkan warna berbeda di tengah kecenderungan monolog yang lazim mengacu
teks cerita.
Gairah dan ketekunan Putu
pada pilihannya terasa berharga di tengah turun-naiknya semangat sebagian
seniman di Tanah Air. Energinya yang besar sebenarnya bisa terus mendorongnya
terus menyegarkan gaya bertutur itu. Jika tidak, energi itu bisa terjebak dalam
kegetolan untuk memanjangkan durasi pentas, tetapi dengan menu cerita dan gaya
bertutur yang cenderung mengulang pentas-pentas sebelumnya.
***
http://sastra-indonesia.com/2011/08/monolog-energi-putu-wijaya/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment