Sunday, December 27, 2020

Monolog: Energi Putu Wijaya

Ilham Khoiri
Kompas, 01 Juli 2007
 
DALAM usia 64 tahun, gelora Putu Wijaya seperti tak habis-habisnya. Pentas Seratus Menit—yang ternyata molor hingga lebih dari 140 menit—di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu dan Kamis (27-28/6) malam, menjadi ajang pemendaran energinya.
 
Monolog itu tampil kuat sebagai karya baru yang lebih “provokatif”, yang menerabas kungkungan teks cerita.
 
Didukung kru Teater Mandiri, Putu membawakan lima cerpen karya sendiri, masing-masing berjudul Merdeka (ditulis tahun 1995), Poligami (2003), Raksasa (2006), Memek (2005), dan Setan (2005). Energi dan pendekatannya dalam menghidupkan kisah-kisah itu masih menarik dikomentari.
 
Di depan penonton yang tak lebih dari separuh kapasitas Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), panggung ditata bersahaja. Ada kursi kayu di tengah dan semacam sangkar burung bulat yang tergantung. Latar kain putih bergerak dinamis karena dipermainkan dan disorot lampu warna-warni. Putu tampil mengenakan setelan hitam-hitam dan berikat kepala.
 
Pentas dibuka dengan cerpen berjudul Merdeka. Diceritakan, seorang juragan tua yang menghadiahi burung-burung perkututnya dengan melepaskannya ke alam bebas. Makna kemerdekaan pun dipertanyakan dalam konteks kekinian.
 
Cerpen kedua, Poligami, mengisahkan perempuan yang ingin menjadi laki-laki yang dianggap menggenggam otoritas sosial lebih kuat. Namun, saat keinginan itu sempat terwujud dalam mimpi, perempuan itu justru menemukan fakta laki-laki pun kerap jadi korban perempuan, terutama saat dimabuk cinta.
 
Raksasa menuturkan gerombolan orang-orang yang merasa lebih kuat sehingga mau memangsa manusia lain. Memek menceritakan bocah yang penasaran untuk mengetahui kelamin perempuan. Orangtuanya kebingungan menjelaskan, sampai seorang ibu guru menunjukkannya di depan kelas. Guru itu malah dinistakan dan dibunuh. Setan mengisahkan setan yang berguru menjadi pahlawan.
 
Kelima cerpen itu bukanlah cerita baru, malah sebagian sudah kerap ditampilkan dalam sejumlah pertunjukan. Kisah-kisah itu kembali mempertanyakan hakikat kemerdekaan, persoalan jender, dan moralitas. Tanpa menitipkan pesan tunggal yang mutlak, monolog lebih merangsang penonton memikirkan ulang kenyataan sosial dengan kaca mata berbeda.
 
Sebelum di Jakarta, Seratus Menit sudah dipentaskan di Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Petra Surabaya, dan Universitas Islam Negeri Makassar. Karya ini bakal ditampilkan lagi di Roma, Italia, dan Praha, Ceko, pada pertengahan dan akhir Juli ini.
 
Energi
 
Menonton Seratus Menit, kita lagi-lagi dihadapkan pada energi Putu Wijaya yang masih menggelora. Untuk orang seusianya, bermonolog selama sekitar 2,5 jam dengan lima cerita beruntun jelas memamerkan kekuatan fisik yang prima, apalagi dia hanya mengambil jeda sejenak antarcerita, tanpa minum.
 
Sebelumnya, Putu pernah tampil sekitar dua jam dalam monolog Demokrasi, Kemerdekaan, Memek, dan Setan di Goethe Haus Jakarta, tahun 2004. Pentas Zetan di Taman Ismail Marzuki (TIM), tahun 2003, memakan waktu sekitar satu jam. Begitu juga monolog Protes di GKJ, tahun 1996, berdurasi sekitar 1,5 jam.
 
Bagaimana Putu mengelola energi itu hingga terjaga hingga akhir pentas yang panjang? “Saya berbagi dengan penonton. Saya mengeluarkan energi kepada mereka, setelah itu saya yang menyerap balik energi dari mereka,” katanya.
 
Serap-menyerap energi itu dalam Seratus Menit terjadi terutama saat Putu menempatkan penonton tak hanya sebagai pendengar, tetapi juga bagian dari penutur. Dia bisa sesekali melemparkan lelucon, meminta respons dari penonton, atau bercakap-cakap dengan kru panggung. Penutur, penonton, dan kru panggung tidak berjarak lagi karena semuanya dilibatkan dalam satu ruang pentas.
 
Provokasi
 
Energi Putu diandalkan untuk membangun monolog yang dramatis, yang disebutnya sebagai provokasi. Itu memang diniatkan sejak awal ketika dia memilih keluar dari kungkungan membaca atau menghafal teks cerita. Teks hanya menuntun inti cerita. Soal bagaimana kisah itu disuarakan, semuanya bertumpu pada improvisasi dalam momen yang spontan.
 
Monolog diolah dengan memainkan suara, bahasa, mimik wajah, gerak tubuh, dan penguasaan panggung. Dia leluasa menghidupkan suasana dan tokoh, juga membelokkan alur sehingga sedikit mengejutkan. Benda-benda di atas panggung, seperti kursi, sangkar, handuk, atau pecut, dimanfaatkan menjadi obyek atau subyek secara bergantian.
 
Putu membangun ketegangan cerita dengan rentetan dialog dan deskripsi yang serasa ditembakkan bertubi-tubi kepada penonton. Imajinasi dan realitas diaduk-aduk, demikian juga nama tokoh, tempat, atau rinci alur cerita. Putu lihai bergulat di situ karena dia adalah penulis cerita, dramawan, sutradara, sekaligus aktor teater.
 
Segala sesuatunya memang berpusat pada dirinya sendiri dan dia bisa bermain dengan asyik. Inilah pertunjukan teater satu orang.
 
Monolog Putu dimulai sejak dia membacakan cerpen berjudul Bom di TIM, tahun 1978, dan cerpen “S” tahun 1979. Pembacaan cerpen dengan keharusan mengikuti teks dirasa membatasi akting. Tahun 1979, dia mulai menuturkan cerpen tanpa membaca teks.
 
Putu mengembangkan diri sebagai aktor monolog tanpa teks dengan pendekatan drama. Produktivitasnya menulis cerpen juga diikuti kerapnya tampil bermonolog. Akhirnya itu memunculkan warna berbeda di tengah kecenderungan monolog yang lazim mengacu teks cerita.
 
Gairah dan ketekunan Putu pada pilihannya terasa berharga di tengah turun-naiknya semangat sebagian seniman di Tanah Air. Energinya yang besar sebenarnya bisa terus mendorongnya terus menyegarkan gaya bertutur itu. Jika tidak, energi itu bisa terjebak dalam kegetolan untuk memanjangkan durasi pentas, tetapi dengan menu cerita dan gaya bertutur yang cenderung mengulang pentas-pentas sebelumnya.
***
 
http://sastra-indonesia.com/2011/08/monolog-energi-putu-wijaya/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar