Thursday, November 5, 2020

Amien Kamil dan Puisi yang Belum Mandiri

Haris Firdaus
 
Kalau benar, seperti yang dikatakan Ayu Utami, bahwa dalam perpuisian Indonesia ada yang dinamakan “aliran Rendra”, saya kira Amien Kamil adalah bagian dari aliran itu. Nama penyair ini, bagi telinga saya, sebenarnya cukup asing. Tapi ketika saya melihat ia membacakan sajak-sajaknya pada Jumat (2/11/2007) lalu di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, saya tahu penyair itu adalah bagian dari “aliran Rendra”.
 
Penyair Amien Kamil naik panggung dengan dandanan yang “seniman banget”: rambut gondrong gimbal disongket, wajah sangar dengan kumis dan jenggot, kaos dengan warna dasar putih penuh “grafiti”, dan panggung yang mewah. Ada berbagai properti di sana: lilin, serakan kertas puisi, tokoh wayang, layar LCD, dan benda lain yang tak saya ingat. Di samping dia, beberapa pemusik duduk dengan alat musik campuran, siap mengiringi pembacaan sajaknya.
 
Pembacaan malam itu, seperti yang saya duga, akan jadi pembacaan dengan nada yang tak sederhana. Amien berteriak, bernyanyi, mendesah, beringsut, dan jalan-jalan saat membaca sajak-sajaknya yang ia kumpulkan dalam antologi “Tamsil Tubuh Terbelah”. Pembacaan macam itu, saya kira, memang sebuah bagian nyata dari “aliran Rendra”. Puisi diramu dengan pertunjukan, kata diramu dengan ekspresi, dan nada dibalut dengan musik. Sebuah pembacaan yang hampir bertolak belakang dengan pembacaan “ala” Joko Pinurbo.
 
Malam itu, seorang penyair hadir sekaligus sebagai seorang “penampil”. Ia beratraksi sedemikian rupa, diiringi musik, agar kata-kata yang ia ciptakan mampu menarik pengunjung. Pertunjukan itu, ibarat sebuah etalase yang memajang puisi-puisi si penyair dan menggoda pengunjung membeli kumpulan sajak dari penyair yang bersangkutan.
 
Amien Kamil, dalam pengantar pertunjukan yang ia buat, memang mengakui pentingnya semua embel-embel itu dalam puisi. “Ada beberapa teman berkomentar bahwa puisi-puisi yang saya ciptakan menemukan rohnya ketika saya yang mempresentasikannya dengan ekspresif, lewat intonasi, diksi, irama, serta artikulasi vokal sekaligus ekspresi tubuh,” tulisnya.
 
Membaca kalimat itu menimbulkan beberapa kegelisahan yang menarik hati saya. Pertama, dengan berkomentar bahwa puisi-puisi yang diciptakan Amien Kamil menemukan rohnya ketika ia dibacakan oleh penyairnya “dengan ekspresif, lewat intonasi, diksi, irama, serta artikulasi vokal sekaligus ekspresi tubuh”, apakah sebenarnya teman-teman Amien Kamil itu hendak mengatakan yang sebaliknya juga? Artinya, apakah tanpa dipresentasikan “dengan ekspresif, lewat intonasi, diksi, irama, serta artikulasi vokal sekaligus ekspresi tubuh”, puisi-puisi Amien Kamil tak akan menemukan rohnya?
 
Kalau yang demikian benar, maka puisi hadir sebagai barang yang tak mandiri. Ia menjadi harus selalu menyusu pada penyairnya. Ia merupakan bayi yang tak besar-besar dan tak bisa beranjak berdiri sendiri. Puisi yang tergantung pada penyairnya, saya kira, adalah puisi yang kurang baik. Apalagi puisi yang hanya bagus saat dibaca di panggung oleh penyairnya dengan banyak ragam pendukung: intonasi, ekspresi teatrikal, musik yang bagus, dan cahaya yang memukau. Bayangkan, ketika seorang pembaca puisi telah sampai rumah dan sendirian membaca puisi itu di dalam kamar, adakah ia akan merasa nikmat yang sama? Saya kira tidak.
 
Kedua, saya berprasangka: jangan-jangan Amien Kamil memang membuat puisi-puisinya sebagai “puisi panggung”. Jangan-jangan dengan mencantumkan kalimat yang saya kutip di atas, ia percaya bahwa puisi memang seharusnya dibacakan di sebuah panggung dengan berbagai ragam gaya ekspresi yang wah dan tata panggung modern yang mewah. Kalau prasangka ini benar, tentu saya tak bersepakat dengan dia. Bagaimanapun, pada akhirnya, puisi akah lebih banyak dibaca sendirian oleh seorang pembaca. Pentas sebuah puisi hanya semacam “embel-embel” bagi peluncuran sebuah puisi ke khalayak yang lebih luas.
 
Lagi pula, beberapa penyair besar kita memilih membaca puisi-puisi mereka dengan nada datar tanpa ekspresi. Salah satu titik paling ekstremnya, adalah Joko Pinurbo. Penyair satu ini memang membalik segalanya dari Rendra, kata Ayu Utami. Ia naik panggung dengan busana yang tak bertentangan dengan kesantunan: kemeja yang kadang dimasukkan ke celana, celana kain yang rapi, dan sepatu sandal bersahaja. Ia datang tanpa gebrakan, tanpa sepatu boot besar yang gagah, tanpa gemerlap panggung dan musik yang macam-macam. Wajahnya datar saat membaca puisi. Tapi kekuatan kata-kata Jokpin justru muncul saat ia membaca dengan datar itu.
 
Kesimpulan saya: melalui pembacaan yang datar itulah, kata-kata Jokpin justru berhasil melepaskan diri dari kebutuhan untuk dinyatakan secara ekspresif. Kata-kata dalam puisi Jokpin menjadi mandiri dari apapun: penyairnya, ekspresi, tata panggung, pencahayaan, dan lain sebagainya. Menyaksikan Jokpin membaca puisi, kita seperti sedang melihat diri kita membaca puisinya, bukan melihat penyair yang sedang berteatrikal dengan puisinya.
 
Hal itulah yang agaknya membuat berbeda dengan Amien Kamil. Pembacaan sajak-sajaknya begitu didominasi oleh berbagai hal di luar teks itu sendiri. Sehingga, saya bayangkan kalau segala hal di luar teks itu telah hilang, kenikmatan membaca teks itu pun menjadi berkurang.
 
Barangkali demikian.
 
Sukoharjo, 4 Nopember 2007

http://harisfirdaus.id/2007/11/amien-kamil-dan-puisi-yang-belum-mandiri/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar