Mohammad Afifi *
“Betapa nikamatnya suatu kebodohan.” Ujar kawan saya suatu ketika. Perihal satu kondisi dimana penerimaan atas keniscayaan hidup. Kebodohan mengajarkan realitas agar terdudukkan sebagai suatu wujud keadaan yang tak cukup untuk dibincangkan. Pun tak sekedar perwujudan yang terkonotasi negatif dan tervonis. Sebab tiap realitas yang terjadi, nyatanya sedang dijalani. Tak ada yang cukup mampu menelaah. Sekedar dapat dimungkinkan.
Sederhananya, misal ada orang goblok berarti ia 'sedang' bukan sekadar dalam kegoblokan belaka, artinya berada di ruang harapan yang masih bisa dimungkinkan untuk tidak goblok. Bukan maknanya difonis atau memutus harapan. Boleh jadi yang saat ini sedang jatuh, esok bakal bangkit. Yang saat ini bodoh, bisa jadi kelak diberikan pengetahuan diluar perkiraan lebih, pun sebaliknya.
Nah, sebagai pemandu ilmu, syariat Islam meski terus berjalan sebagai wujud pengharapan. Lebih tepatnya, agar tak terlalu meletakkan pikiran-khayalannya, tapi mengokohkan perspektif akidah. Tidak boleh mengkafirkan! Sebab demikian sedang memutus harapan, antara makhluk dan Tuhannya. Ingatlah, semua serba kemungkinan yang hanya sedang diupayakan, dijalani.
Dalam Shahih Bukhori, masyhur, dari saking jahatnya kafir Mekkah terhadap Kanjeng Nabi. Suatu ketika, Malakul Jibal (tuan malaikat gunung), menghadap Nabi atas perintah Tuhan untuk menimpakan gunung atas kuffar Mekkah. Namun apakah Kanjeng Nabi melakukan itu? Tidak. Kanjeng Nabi menahannya dengan suatu pengharapan bahwa boleh jadi anak-anaknya para kuffar itu bakal menjadi mu’min. Artinya, tak ada yang tak mungkin ditangan kuasa-Nya. Nah, lebih tepatnya, harapan itu nyata terjadi; Abu Lahab (Paman Kanjeng Nabi) yang kafir punya anak Dzarrah yang nyata menjadi mu’minah. Abu Jahal yang kafir punya anak Ikrimah pula tertakdir menjadi mu’minah atas kehendak-Nya. Inilah fakta.
Jadi, penting dipahami bahwa agama hadir untuk orang-orang yang memiliki harapan--Yarju Rahmatallah. Ruang meletakkan setiap peristiwa menjadi sebuah kemungkinan yang sedang terjalani dan terikhtiyarkan. Maka kelapangan hati mestinya menjadi pemandu atas ini semua. Inilah proses meluaskan untuk apapun dan siapapun agar bisa diterima, lalu terposisikan pada sebagaimana mestinya.
Tak cukup disitu, dalam tradisi tasawuf, masyhur dijelaskan bahwa yang menjadikan kerumitan, keterbatasan, bahkan membatasi ekspresi diri adalah hasil pikiran sendiri. Orang menghukumi orang tak baik, sebab ada keinginan dalam diri untuk dibuat baik. Maka disatu sisi, keinginan ialah bibit kekecewaan. Orang dihukumi sombong, sebab ada keinginan dihormati. Inilah ruang-ruang yang terus dipotret tasawuf. Demikian ini perlu terus dilatih, agar tak banyak-berlebihan berharap. Perlu kesabaran kuat. Ibdak binafsik--mulailah dari dalam diri.
Pun masyhur dalam kitab Minhajul 'Abidin, ada kisah unik; ada dua ulama yang beda perspektif soal cara mengeleminir kekecewaan, ulama pertama menyarankan memperbanyak relasi dengan banyak orang, dan ulama kedua menyarankan tak banyak relasi. Terjadi perdebatan yang luar biasa. Keduanya sama-sama memiliki referensi kuat. Di satu sisi penting berelasi dengan banyak orang, sebab bakal menjadi bagian penting dalam banyak hal yang dibutuhkan. Demikian juga mesti siap, jika terjadi peristiwa yang mengecewakan. Sebab menjadi wajar saat dikecewakan oleh yang kita kenal. Pun tak mungkin kekecewaan itu lahir dari siapa yang tak kita kenal. Jadi biasa saja. Bergantung sudut dan cara pandang bagaimana kita mengenang tiap-tiap perjalanan.
Maka sudut mengenang sisi terbaiknya manusia inilah yang menjadi hal penting sebagai dasar kekokohan hati. Tidak terjerumus dalam mengenang sisi buruk yang berimplikasi pada suatu harapan-harapan lebih. Demikian bakal membibit kecewa secara terus menerus.
Hingga pada akhirnya kita kokoh menyadari bahwa harapan dengan memungkinkan baiknya atas peristiwa dan fakta apapun, jelas menunjukkan keterbatasan murni yang dimiliki manusia untuk tak gampang mempersalahkan realitas dengan model-model kecaman atau bahkan vonis. Hal itu pun jelas pula mencinderai nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan yang mestinya dijunjung dengan sebaik-baiknya, bukan?
Padepokan Nyai Surti, 5 Oktober 2020
*) Mohammad Afifi, lahir di Maskuning Kulon, Pujer,
Bondowoso, Jawa Timur 20 April 1994. Koordinator Gusdurian Bondowoso, salah
satu bukunya bertitel “Mantra dari Langit.”
No comments:
Post a Comment