Catatan atas Novel “Khotbah di Atas Bukit” Karya Kuntowijoyo
A. Syauqi Sumbawi
Pada suatu pasar di kaki bukit, laki-laki berkuda putih
datang. Menjumpai orang-orang yang tidur dalam larut dingin malam. Satu-persatu
orang-orang dibangunkan dengan sebuah pertanyaan.
“Hee, berbahagiakah engkau?!”
“Mmmm,” tanggap setiap mereka antara tidur dan terjaga.
Demikianlah narasi bebas dari sebuah episode pada novel “Khotbah di Atas Bukit”— di bagian 5 (lima)---, saya jadikan sebagai pembuka catatan ini. Dengan alasan, yaitu pertama, selain menjadi jalinan kronologis menuju episode pembacaan khotbah, bagian tersebut juga menampilkan belenggu paling kuat serta paling agresif menjepit eksistensi manusia, terutama tokoh Barman. Hingga tak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari penderitaan, kecuali kematian yang tragis. Entah, kita memandangnya sebagai keberanian ataukah kekonyolan.
Kedua, hadirnya pertanyaan tentang kebahagiaan, yang agaknya selalu relevan bagi semua orang, sekaligus menjadi harapan terkait hidup. Barangkali lantaran itu, tidak mudah untuk bisa menjawabnya meskipun terdengar sederhana. Tidak semudah mengiya-iyakan atau menggeleng-gelengkan kepala. Untuk menjawab, iya atau tidak—jika hanya itu pilihannya—, maka seseorang perlu menyusuri lorong-lorong dalam dirinya, membuka pintu-pintu kenangan, dan menyentuh hingga ke bagian terdalam dan paling rahasia dari keberadaannya.
Kemudian apa yang dikemukakan, yaitu “Mmmm”, sebagai respon atas pertanyaan tersebut, hemat saya adalah pas. Tidak kurang, tidak lebih. Dan agaknya telah diperhitungkan secara matang oleh pengarang. Gumam “Mmmm” seperti menggambarkan kelindan suka dan duka yang niscaya dalam hidup manusia, dimana selebihnya adalah ketidaktahuan atau entah.
Satu hal yang pasti, bahwa semua orang ingin hidup bahagia. Juga berusaha untuk mendapatkannya. Namun sebelum seseorang bisa meraih kebahagiaan, maka dia harus belajar tentang hidup, mencari dan menemukan hakikat hidup. Itulah syaratnya. Juga pesan utamanya..
Absurditas dan Kuasa Waktu
Pada novel ini, berbagai persoalan terkait hakikat hidup dan kebahagiaan mengalir bersama kehidupan tokoh Barman. Persepsi umum tentang kesuksesan hidup telah diraihnya di perjalanan 65 tahun usianya. Karir mulus sebagai pejabat kantor kedutaan di Eropa. Bisnis percetakan yang dirintis sejak awal masa pensiun pun berkembang pesat. Sebagai orang tua, dia cukup sukses meskipun tanpa keberadaan seorang istri yang telah meninggal dunia. Bobi, anaknya yang piatu sejak kecil, kini tidak hanya telah membangun keluarga dan memberikan cucu, tetapi juga telah mampu mengurus dan mengembangkan bisnisnya. Namun yang membuat Barman merasa bahagia, tenyata anak itu juga memikirkan kebahagiaannya.
Yah, apalagi yang diharapkan oleh laki-laki tua yang telah banting tulang meraih kesuksesan hidup selain istirahat?! Menikmati hasil perjuangan di sisa usia?! Kebahagiaannya?! Maka, dia pun menuruti saran anaknya untuk tinggal di rumah kepunyaan mereka yang ada di pegunungan. Menikmati hidup dengan lanskap hijau dan udara segar. Jauh dari hiruk-pikuk kota yang sibuk. Tidak sendiri, tetapi ditemani “istri” yang telah dipersiapkan untuknya. Seorang perempuan yang belum dikenalnya, kecuali muda yang cantik, sehat dan hangat. Popi namanya.
Menurut pikiran anaknya, Popi adalah perempuan yang tepat
untuk menemaninya menghabiskan masa pensiun, dan barangkali sampai akhir
hidupnya. Di gunung itu, perempuan, sebagaimana Bobi tahu betul, tak boleh
tidak tersedia. “Engkau boleh hidup sendirian di kota, pap. Tetapi di gunung
tak mungkin,” kata anak itu. Anak itu, pada suatu siang, datang padanya membawa
pikiran bagus. Agak kurang ajar sedikit gagasan itu, tetapi Barman segera tahu
maksudnya. “Untuk apa umur habis di kota. Berliburlah, melanconglah ke gunung.
Rumah kita di gunung itu, bukankah punya papi?”
(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 6)
… Anak-anak akan bermain dengan boneka, tetapi Barman tua akan bermain-main dengan seseorang yang hidup dan hangat. Boneka yang hidup kenyal dagingnya, hangat tubuhnya. “Popi sayang.” Panggilan itu menjadi sangat bermakna baginya. Bahwa justru pada akhir hidupnya ia dapat memanggil satu nama yang mengasyikkan, melambungkan harapan. Apa yang lebih baik baginya kalau bukan kehangatan perempuan di gunung yang dingin itu! Hidup akan kembali berarti baginya. Seperti sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan bertukar dengan istirahat yang sejuk… (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 8)
Bukan sebuah kesalahan, bukan pula dosa, laki-laki tua hidup bersama, menikah—dengan perempuan muda yang cantik, sehat lagi hangat. Begitupun sebaliknya. Namun, keberadaan jarak di antara keduanya, yang terbentang oleh terpautnya usia dan kadar pengalaman hidup, menjadi sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Pada hubungan keduanya, tampak ada upaya untuk saling mendekat. Bersama Barman, proses pendewasaan dialami Popi secara tidak langsung. Sementara bersama Popi, semangat hidup Barman bangkit kembali. Sederhananya, gairah muda tubuh renta, dimana pada titik tertentu muncul sebagai masalah.
Terkait hal di atas, menjadi tua dan tidak berdaya tampaknya menjadi salah satu absurditas yang dihadapi oleh manusia. Ketidakberdayaan Barman mengikuti gairahnya kepada Popi, menyeretnya pada kenangan di masa muda yang jaya. Akan tetapi, bentangan jarak yang lebar antara kenangan dan kenyataan, malah menghadirkan kekecewaan dan penyesalan pada dirinya. Hal ini digambarkan sebagai berikut:
Sesungguhnya Barman tua cukup berpengalaman membuat perjalanan bersama perempuan mencapai kesempurnaan nikmat. Ia telah membuktikannya di masa silam. Diam-diam, ia selalu merasa bangga dengan hidupnya itu. Telah dikenalnya semua tempat yang paling indah di Eropa selama masa dinasnya. Alasannya selalu: mengenal perempuannya ialah mengenal negerinya, atau sebaliknya. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 16)
Dan ia akan mengenangkan—sekalipun tak ada— bunga melati yang harum bukan main, berusaha bergulat dengan ketuaannya. Sampai tenaganya habis, dan ia akan selalu: “Maaf, sayang.” Menciumnya, dan Popi menatapnya kosong. O, Barman tua yang malang! Popi tergeletak di ranjang dengan getir terpendam, ia sendiri akan tertegun menyaksikan tubuh keemasan yang disia-siakannya. Kalau bukan karena sayang pada dirinya sendiri, ia pasti akan memukul-mukul bagian badan yang dipersalahkannya, merasa menyesal. Kemudian, setelah Popi sadar, ia pun menciumnya dengan dingin. “Tak apalah, pap.” Ia akan mencoba tersenyum, sekedar melupakan kesedihannya. “Ah, Popiku, Pop. Engkau mainanku yang cantik.” Kepalanya akan pusing berputar, tidak tidur semalaman, memikirkan tubuh yang terbentang di sampingnya. Itulah yang akan terjadi untuk waktu yang tak terhingga, seandainya ia bertahan. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 5-6)
Ketidakberdayaan dalam urusan ranjang ini tidak hanya menjadi sumber kesedihan dan kekecewaan Barman, tetapi kerap pula membuatnya merasa tidak nyaman ketika bersama Popi. Juga keterasingan pada dirinya terkait waktu. Pada kondisi ini, dia bertemu dengan Humam, laki-laki tua mirip dirinya. Namun berbeda dengan dirinya, Humam menyiratkan kebahagiaan hidup manusia di hari tua. Dalam diri Humam, seperti ada sebuah magnet yang menariknya untuk mendekat serta mencari tahu segala rahasia mengenai hidup.
Pada kebersamaan keduanya, berbagai pertanyaan tentang hidup dikemukakan Barman. Namun jawaban dan perkataan Humam yang kerap tak terduga dan sulit dipahami, semakin membawanya masuk pada belantara tanda tanya yang asing dalam pandangannya. Hal tersebut dikemukakan dalam narasi-narasi sebagai berikut:
Barman tak mengerti pernyataan itu, namun ia menghormati
bahkan kata-kata yang sulit dipahami. Dan ia dapat mengagumi.
“Jadi bagaimana?”
“Kesendirian adalah hakekat kita, he.”
“Anakmu. Istrimu. Keluargamu. Sahabatmu?”
“Semua sudah kulepaskan.”
“Semuanya?”
“Ya.”
“Dan aku?”
“Pertemuan kita lain, bung. Suatu kebetulan belaka. Hubungan kita ialah bukan hubungan.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 45-46)
Humam melanjutkan: “Lupakan semuanya, bahkan dirimu. Yang
ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput. Engkau makhluk yang paling berbahagia.
Waktu ialah untuk diniikmati. Ruang ialah tempat kita bergerak. Gerak ialah
hidup kita.” […]
“Dan mati?” ia bertanya.
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak.”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan.”
(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 47)
“Aku punya kuda di rumah,” Barman memecahkan kesunyian.
“Aku memilih tanpa kuda.” […]
“Kuda dapat menambah kesenangan.”
“Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)
“Apakah engkau juga mempunyai semacam pikiran?” […]
“O, ya. Aku berpikir, bahwa aku tak lagi berpikir.”
“Engkau menganggur?”
“Tidak. Semua orang bernafas. Ia tak menganggur. Engkau pasti pensiunan atau orang kaya, bung. Ke bukit untuk mencari tempat istirahat. Itulah yang mengganggumu. Istirahat berarti ingin sesuatu. Itu kesalahanmu. Aku tak punya keinginan lagi. Juga istirahat.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)
“Ada seseorang menanti di rumah.” Barman teringat Popi
yang barangkali sedang duduk-duduk menunggunya di kamar depan. Mata wanita yang
bening—ah, seperti air sungai itu—mungkin sedang menatap arah lurus-lurus
dengan harapan ia akan muncul dari situ. Kasihan si Popi itu, Popiii.
“Kalau caramu begitu, engkau tak akan dapat menikmati apapun dalam hidup.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)
Narasi dan dialog di atas menyiratkan ketidakmampuan Barman dalam memahami pernyataan dan jawaban Humam. Selain minimnya pemahaman tentang agama dan spiritualitas—juga kurangnya pengalaman berkelindan dengan filsafat hidup—, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh hidupnya yang cenderung hedonis. Sederhananya, asalkan kebutuhan hidup tercukupi, termasuk hasrat biologis, maka habis perkara..
Kemudian, satu hal yang dipahami dari ketidakpahamannya, bahwa Humam telah mengajarkan banyak hal. Pertemuannya dengan Humam pun memberikan kesan mendalam di hati dan pikirannya. Dan kian jauh ke dalam, terutama ketika berduaan dengan Popi, yang mengingatkannya pada ketidakberdayaan sebagai laki-laki. Juga keberadaan yang kian renta termakan oleh waktu.
No comments:
Post a Comment