Friday, October 23, 2020

Episteme Kebahagiaan, Penderitaan, dan Pembebasan diri: Potret Manusia pada Batas dan Antara (Bagian I)

Catatan atas Novel “Khotbah di Atas Bukit” Karya Kuntowijoyo

A. Syauqi Sumbawi

Pada suatu pasar di kaki bukit, laki-laki berkuda putih datang. Menjumpai orang-orang yang tidur dalam larut dingin malam. Satu-persatu orang-orang dibangunkan dengan sebuah pertanyaan.

“Hee, berbahagiakah engkau?!”

“Mmmm,” tanggap setiap mereka antara tidur dan terjaga.

Demikianlah narasi bebas dari sebuah episode pada novel “Khotbah di Atas Bukit”— di bagian 5 (lima)---, saya jadikan sebagai pembuka catatan ini. Dengan alasan, yaitu pertama, selain menjadi jalinan kronologis menuju episode pembacaan khotbah, bagian tersebut juga menampilkan belenggu paling kuat serta paling agresif menjepit eksistensi manusia, terutama tokoh Barman. Hingga tak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari penderitaan, kecuali kematian yang tragis. Entah, kita memandangnya sebagai keberanian ataukah kekonyolan.

Kedua, hadirnya pertanyaan tentang kebahagiaan, yang agaknya selalu relevan bagi semua orang, sekaligus menjadi harapan terkait hidup. Barangkali lantaran itu, tidak mudah untuk bisa menjawabnya meskipun terdengar sederhana. Tidak semudah mengiya-iyakan atau menggeleng-gelengkan kepala. Untuk menjawab, iya atau tidak—jika hanya itu pilihannya—, maka seseorang perlu menyusuri lorong-lorong dalam dirinya, membuka pintu-pintu kenangan, dan menyentuh hingga ke bagian terdalam dan paling rahasia dari keberadaannya.

Kemudian apa yang dikemukakan, yaitu “Mmmm”, sebagai respon atas pertanyaan tersebut, hemat saya adalah pas. Tidak kurang, tidak lebih. Dan agaknya telah diperhitungkan secara matang oleh pengarang. Gumam “Mmmm” seperti menggambarkan kelindan suka dan duka yang niscaya dalam hidup manusia, dimana selebihnya adalah ketidaktahuan atau entah.

Satu hal yang pasti, bahwa semua orang ingin hidup bahagia. Juga berusaha untuk mendapatkannya. Namun sebelum seseorang bisa meraih kebahagiaan, maka dia harus belajar tentang hidup, mencari dan menemukan hakikat hidup. Itulah syaratnya. Juga pesan utamanya..

Absurditas dan Kuasa Waktu

Pada novel ini, berbagai persoalan terkait hakikat hidup dan kebahagiaan mengalir bersama kehidupan tokoh Barman. Persepsi umum tentang kesuksesan hidup telah diraihnya di perjalanan 65 tahun usianya. Karir mulus sebagai pejabat kantor kedutaan di Eropa. Bisnis percetakan yang dirintis sejak awal masa pensiun pun berkembang pesat. Sebagai orang tua, dia cukup sukses meskipun tanpa keberadaan seorang istri yang telah meninggal dunia. Bobi, anaknya yang piatu sejak kecil, kini tidak hanya telah membangun keluarga dan memberikan cucu, tetapi juga telah mampu mengurus dan mengembangkan bisnisnya. Namun yang membuat Barman merasa bahagia, tenyata anak itu juga memikirkan kebahagiaannya.

Yah, apalagi yang diharapkan oleh laki-laki tua yang telah banting tulang meraih kesuksesan hidup selain istirahat?! Menikmati hasil perjuangan di sisa usia?! Kebahagiaannya?! Maka, dia pun menuruti saran anaknya untuk tinggal di rumah kepunyaan mereka yang ada di pegunungan. Menikmati hidup dengan lanskap hijau dan udara segar. Jauh dari hiruk-pikuk kota yang sibuk. Tidak sendiri, tetapi ditemani “istri” yang telah dipersiapkan untuknya. Seorang perempuan yang belum dikenalnya, kecuali muda yang cantik, sehat dan hangat. Popi namanya.

Menurut pikiran anaknya, Popi adalah perempuan yang tepat untuk menemaninya menghabiskan masa pensiun, dan barangkali sampai akhir hidupnya. Di gunung itu, perempuan, sebagaimana Bobi tahu betul, tak boleh tidak tersedia. “Engkau boleh hidup sendirian di kota, pap. Tetapi di gunung tak mungkin,” kata anak itu. Anak itu, pada suatu siang, datang padanya membawa pikiran bagus. Agak kurang ajar sedikit gagasan itu, tetapi Barman segera tahu maksudnya. “Untuk apa umur habis di kota. Berliburlah, melanconglah ke gunung. Rumah kita di gunung itu, bukankah punya papi?”

(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 6)

… Anak-anak akan bermain dengan boneka, tetapi Barman tua akan bermain-main dengan seseorang yang hidup dan hangat. Boneka yang hidup kenyal dagingnya, hangat tubuhnya. “Popi sayang.” Panggilan itu menjadi sangat bermakna baginya. Bahwa justru pada akhir hidupnya ia dapat memanggil satu nama yang mengasyikkan, melambungkan harapan. Apa yang lebih baik baginya kalau bukan kehangatan perempuan di gunung yang dingin itu! Hidup akan kembali berarti baginya. Seperti sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan bertukar dengan istirahat yang sejuk… (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 8)

Bukan sebuah kesalahan, bukan pula dosa, laki-laki tua hidup bersama, menikah—dengan perempuan muda yang cantik, sehat lagi hangat. Begitupun sebaliknya. Namun, keberadaan jarak di antara keduanya, yang terbentang oleh terpautnya usia dan kadar pengalaman hidup, menjadi sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Pada hubungan keduanya, tampak ada upaya untuk saling mendekat. Bersama Barman, proses pendewasaan dialami Popi secara tidak langsung. Sementara bersama Popi, semangat hidup Barman bangkit kembali. Sederhananya, gairah muda tubuh renta, dimana pada titik tertentu muncul sebagai masalah.

Terkait hal di atas, menjadi tua dan tidak berdaya tampaknya menjadi salah satu absurditas yang dihadapi oleh manusia. Ketidakberdayaan Barman mengikuti gairahnya kepada Popi, menyeretnya pada kenangan di masa muda yang jaya. Akan tetapi, bentangan jarak yang lebar antara kenangan dan kenyataan, malah menghadirkan kekecewaan dan penyesalan pada dirinya. Hal ini digambarkan sebagai berikut:

Sesungguhnya Barman tua cukup berpengalaman membuat perjalanan bersama perempuan mencapai kesempurnaan nikmat. Ia telah membuktikannya di masa silam. Diam-diam, ia selalu merasa bangga dengan hidupnya itu. Telah dikenalnya semua tempat yang paling indah di Eropa selama masa dinasnya. Alasannya selalu: mengenal perempuannya ialah mengenal negerinya, atau sebaliknya. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 16)

Dan ia akan mengenangkan—sekalipun tak ada— bunga melati yang harum bukan main, berusaha bergulat dengan ketuaannya. Sampai tenaganya habis, dan ia akan selalu: “Maaf, sayang.” Menciumnya, dan Popi menatapnya kosong. O, Barman tua yang malang! Popi tergeletak di ranjang dengan getir terpendam, ia sendiri akan tertegun menyaksikan tubuh keemasan yang disia-siakannya. Kalau bukan karena sayang pada dirinya sendiri, ia pasti akan memukul-mukul bagian badan yang dipersalahkannya, merasa menyesal. Kemudian, setelah Popi sadar, ia pun menciumnya dengan dingin. “Tak apalah, pap.” Ia akan mencoba tersenyum, sekedar melupakan kesedihannya. “Ah, Popiku, Pop. Engkau mainanku yang cantik.” Kepalanya akan pusing berputar, tidak tidur semalaman, memikirkan tubuh yang terbentang di sampingnya. Itulah yang akan terjadi untuk waktu yang tak terhingga, seandainya ia bertahan. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 5-6)

Ketidakberdayaan dalam urusan ranjang ini tidak hanya menjadi sumber kesedihan dan kekecewaan Barman, tetapi kerap pula membuatnya merasa tidak nyaman ketika bersama Popi. Juga keterasingan pada dirinya terkait waktu. Pada kondisi ini, dia bertemu dengan Humam, laki-laki tua mirip dirinya. Namun berbeda dengan dirinya, Humam menyiratkan kebahagiaan hidup manusia di hari tua. Dalam diri Humam, seperti ada sebuah magnet yang menariknya untuk mendekat serta mencari tahu segala rahasia mengenai hidup.

Pada kebersamaan keduanya, berbagai pertanyaan tentang hidup dikemukakan Barman. Namun jawaban dan perkataan Humam yang kerap tak terduga dan sulit dipahami, semakin membawanya masuk pada belantara tanda tanya yang asing dalam pandangannya. Hal tersebut dikemukakan dalam narasi-narasi sebagai berikut:

Barman tak mengerti pernyataan itu, namun ia menghormati bahkan kata-kata yang sulit dipahami. Dan ia dapat mengagumi.

“Jadi bagaimana?”

“Kesendirian adalah hakekat kita, he.”

“Anakmu. Istrimu. Keluargamu. Sahabatmu?”

“Semua sudah kulepaskan.”

“Semuanya?”

“Ya.”

“Dan aku?”

“Pertemuan kita lain, bung. Suatu kebetulan belaka. Hubungan kita ialah bukan hubungan.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 45-46)

Humam melanjutkan: “Lupakan semuanya, bahkan dirimu. Yang ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput. Engkau makhluk yang paling berbahagia. Waktu ialah untuk diniikmati. Ruang ialah tempat kita bergerak. Gerak ialah hidup kita.” […]

“Dan mati?” ia bertanya.

“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak.”

“Dan engkau tidak takut?”

“Justru yang paling tidak menakutkan.”

(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 47)

“Aku punya kuda di rumah,” Barman memecahkan kesunyian.

“Aku memilih tanpa kuda.” […]

“Kuda dapat menambah kesenangan.”

“Bung, kesenangan itu tak bertambah atau berkurang. Kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di luar diri kita.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)

“Apakah engkau juga mempunyai semacam pikiran?” […]

“O, ya. Aku berpikir, bahwa aku tak lagi berpikir.”

“Engkau menganggur?”

“Tidak. Semua orang bernafas. Ia tak menganggur. Engkau pasti pensiunan atau orang kaya, bung. Ke bukit untuk mencari tempat istirahat. Itulah yang mengganggumu. Istirahat berarti ingin sesuatu. Itu kesalahanmu. Aku tak punya keinginan lagi. Juga istirahat.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)

“Ada seseorang menanti di rumah.” Barman teringat Popi yang barangkali sedang duduk-duduk menunggunya di kamar depan. Mata wanita yang bening—ah, seperti air sungai itu—mungkin sedang menatap arah lurus-lurus dengan harapan ia akan muncul dari situ. Kasihan si Popi itu, Popiii.

“Kalau caramu begitu, engkau tak akan dapat menikmati apapun dalam hidup.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 48)

Narasi dan dialog di atas menyiratkan ketidakmampuan Barman dalam memahami pernyataan dan jawaban Humam. Selain minimnya pemahaman tentang agama dan spiritualitas—juga kurangnya pengalaman berkelindan dengan filsafat hidup—, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh hidupnya yang cenderung hedonis. Sederhananya, asalkan kebutuhan hidup tercukupi, termasuk hasrat biologis, maka habis perkara..

Kemudian, satu hal yang dipahami dari ketidakpahamannya, bahwa Humam telah mengajarkan banyak hal. Pertemuannya dengan Humam pun memberikan kesan mendalam di hati dan pikirannya. Dan kian jauh ke dalam, terutama ketika berduaan dengan Popi, yang mengingatkannya pada ketidakberdayaan sebagai laki-laki. Juga keberadaan yang kian renta termakan oleh waktu.

https://sastra-indonesia.com/2020/10/episteme-kebahagiaan-penderitaan-dan-pembebasan-diri-potret-manusia-pada-batas-dan-antara-bagian-i/

https://sastra-indonesia.com/2020/10/episteme-kebahagiaan-penderitaan-dan-pembebasan-diri-potret-manusia-pada-batas-dan-antara-bagian-ii/

https://sastra-indonesia.com/2020/10/episteme-kebahagiaan-penderitaan-dan-pembebasan-diri-potret-manusia-pada-batas-dan-antara-bagian-iii/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar