Saut Situmorang
Aku terkejut hampir mati. Tiba-tiba saja hidungku tersumbat bau yang amat menusuk. Amis. Aku mencium bau amis yang keras. Bau amis darah. Dan seiring dengan itu aku juga mendengar suara geraman aneh. Seperti geraman anjing. Ya, geraman anjing. Tapi, ada yang ganjil. Suara geraman itu kedengarannya agak berbeda dengan geraman anjing yang sering kudengar dibuat oleh Bruno anjingku. Suara geraman ini terdengar lebih liar. Aku tak tahu suara apa itu sebenarnya. Aku pun mulai takut. Ketakutanku makin besar setelah kuperhatikan bahwa sekitarku sunyi. Jalan raya di mana aku sedang berada saat ini, entah kenapa, begitu sepi. Tak ada manusia. Tak ada sepeda atau becak atau mobil yang berlalu. Tak ada apa-apa. Hanya suara geraman-geraman itu makin keras dibarengi bau amis busuk yang mulai memuakkanku.
Tiba-tiba dari balik sebuah gedung bertingkat tiga keluar seekor srigala. Ya, ampun! Srigala itu luar biasa besarnya! Sebesar kerbau yang kulihat sedang berkubang di sungai di kampungku dulu! Srigala itu menghentikan langkahnya di depan pintu gedung itu. Matanya bergerak-gerak mengikuti gerak kepalanya ke kanan dan ke kiri memandangi jalan. Air liur sebesar pisang menetes-netes dari lidahnya yang menjulur keluar dan panjang itu. Ada satu jengkal panjangnya! Warnanya hitam dan sangat menjijikkan. Aku dengar suara geraman itu keluar dari mulutnya. Dan bau amis itu, ya Tuhan! Bau amis itu sekarang bukan main hebatnya. Makin bertambah bau seiring keluarnya geraman dari mulut srigala itu. Aku rasakan perutku sakit. Makin lama sakit itu makin menjadi-jadi. Begitu pula kepalaku. Rasa pusing membuat kepalaku seolah ditindih satu beban yang sangat berat. Aku mau muntah. Tapi, aku takut muntah. Aku takut suaraku akan menarik perhatian srigala itu, dan aku tak mau dia mengejarku dan memakanku. Sebelum dia tahu kehadiranku di situ, aku cepat-cepat melompat ke dalam parit di sisi kiri jalan.
Tapi, apa ini yang kupegang? Ya, Tuhan! Tanganku rupanya sedang memegang seekor bangkai anjing yang sudah berulat. Di dekatnya pun banyak terapung bangkai anjing, dan kucing, tikus, ayam, lembu, juga srigala, bahkan ada bangkai manusia. Semuanya sudah berulat. Cepat-cepat kulepaskan bangkai anjing itu dan kusapukan tanganku ke bajuku. Rasa mual dan pusingku sudah tak tertahankan lagi sekarang. Tiba-tiba suara geraman srigala tadi terdengar begitu dekat denganku. Malah sangat dekat. Bau busuk pun makin... ya, Tuhan... srigala itu memunculkan kepalanya di tepi parit! Begitu mengerikan. Cepat-cepat kupejamkan mataku dan kupegang erat-erat besi pipa-air yang ada dalam parit. Pada saat itu juga aku merasakan mukaku seperti tersiram air. Air itu baunya sangat amis. Karena tak mungkin bagiku untuk mengusapnya dengan tangan maka kubuka sedikit mataku untuk mengetahui air apa gerangan yang membasahi mukaku itu. Ternyata air liur si srigala yang kini malah sudah menjulurkan lehernya ke arahku. Aku cepat-cepat menutup kembali mataku. Air liur itu jatuh tepat di kepalaku dan mengalir turun ke mukaku bahkan ada yang masuk ke dalam lobang hidungku hingga membuatku sulit sekali bernafas dan tiba-tiba aku ingin bersin dibuatnya. Aku mati-matian menahan diriku agar jangan bersin. Akibatnya kepalaku terasa mau pecah. Bagai ada palu besi yang diketok-ketokkan dari dalam dan luar batok kepalaku.
Pada saat itu pula kurasakan ada benda lunak mengusap-usap mukaku. Benda itu berair tapi hangat. Dan sangat busuk baunya. Ya, Tuhan, apa lagi ini, jeritku dalam hati. Aku tak berani lagi membuka mataku. Aku tak mau sampai tahu benda apa yang sedang mengusap-usap mukaku itu. Aku coba menduga-duga dalam hati dan tiba-tiba aku sadar kalau itu pasti lidah srigala itu. Ya, pasti lidahnya yang panjang dan hitam itu. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sekarang mulai pasrah. Aku rasa perlahan-lahan aku mati. Aku hanya mendengar suara geraman srigala itu makin samar dan menjauh. Aku bahkan tak mendengar suara srigala itu lagi. Mungkin aku sudah mati...
Tapi, aku belum mati! Ya, Tuhan, aku masih hidup, padahal aku sudah pasrah untuk mati! Aku lebih baik mati saja daripada mengalami hal-hal aneh dan mengerikan yang tak kumengerti ini. Aku memilih mati saja daripada mukaku dijilat-jilat si... si... eh, mana srigala tadi? Tak ada lagi benda lunak basah hangat mengusap-usapi mukaku.
Karena penasaran aku buka mataku. Hanya langit hitam terlihat olehku. Aku tutup kembali mataku. Lalu aku buka lagi. Tetap langit berwarna hitam terlihat olehku. Aku yakin sekarang kalau srigala itu sudah pergi. Aku perlahan-lahan menggerakkan tanganku. Lalu kedua kakiku. Semuanya masih ada. Aku gembira sekali. Saking gembiranya aku lalu menggoyang-goyangkan seluruh badanku. Akibatnya banyak air parit yang menciprati mukaku. Bahkan banyak ulat dari bangkai-bangkai itu ikut terciprat ke mukaku. Cepat-cepat kuusap mukaku dengan tanganku. Aku lalu bangkit dan mencoba naik dari parit busuk itu. Karena seluruh badanku basah kuyup, sangat sukar bagiku untuk naik ke jalan. Apalagi dengan adanya segala macam bangkai berulat yang terapung mengepungku itu.
Akhirnya berhasil juga aku naik, tapi baru saja kaki kiriku menyentuh aspal jalan, tiba-tiba suara geraman srigala itu terdengar lagi di kupingku. Begitu juga bau amis yang sangat busuk itu kembali menyerang hidungku. Sepertinya srigala itu datang lagi ke arahku! Tanpa pikir panjang aku lantas menceburkan diriku kembali ke dalam parit busuk itu. Dan benarlah dugaanku. Srigala itu datang lagi. Kejadian tadi pun terulang lagi. Srigala itu kembali menjilat-jilati mukaku dengan rakus. Karena aku belum mati, aku alami semua itu dengan kesadaran penuh. Bahkan dengan kesadaran yang sebulat-bulatnya. Kadang-kadang taring srigala itu terasa menekan-nekan pipiku. Mungkin pipiku luka tergores karena pipi kananku terasa nyeri.
Entah berapa lama aku dalam situasi seperti itu sebelum samar-samar kudengar ada suara-suara lain memenuhi kupingku. Suara-suara yang mirip suara geraman srigala juga. Lalu kurasakan jilatan-jilatan di pipiku berhenti. Tak lama kemudian kudengar suara-suara yang sangat ribut di sekelilingku. Seperti suara perkelahian. Aku membuka mataku kembali. Tak ada lagi srigala yang menjijikkan itu. Tapi, suara-suara ribut itu masih ada. Aku tak berani menggerakkan badanku. Aku diam saja terlentang di parit itu. Tiba-tiba suara-suara ribut tadi hilang. Tak ada lagi suara geraman-geraman srigala. Aku jadi heran. Setelah menunggu beberapa saat dan tak ada tanda-tanda srigala, aku lalu memberanikan diri bangkit perlahan-lahan dari parit. Aku mengintip dari tepi parit. Kulihat ada tiga sosok benda asing tergeletak di tengah jalan. Ketiganya diam tak bergerak-gerak. Aku tunggu beberapa saat. Ketiga benda itu tetap diam tak bergerak-gerak. Merasa sedikit aman lalu aku panjat tebing parit itu.
Ternyata ketiga benda aneh itu adalah tiga ekor srigala sebesar kerbau yang sudah mati. Ketiganya mati dengan badan rusak berat. Ada yang robek perutnya hingga ususnya keluar dan berserakan terputus-putus di dekat badannya. Yang lain mukanya terkelupas hingga nampak separoh batok kepalanya yang hitam. Satu lagi mati dengan keadaan yang sangat mengerikan. Tengkorak kepalanya hancur dan mulutnya terobek sampai ke kaki depannya. Darah hitam yang masih kental tergenang di sekitar mereka. Dan baunya, tiga kali lebih busuk daripada parit itu.
Tiba-tiba kurasakan ada yang merayapi badanku. Terasa geli dan gatal. Aku masukkan tanganku ke balik baju dan kuambil benda itu. Ternyata seekor ulat. Sambil menjerit jijik kubuang ulat itu jauh-jauh. Aku lalu membuka bajuku. Puluhan ulat sebesar jari kelingking berjatuhan dari badanku. Dengan kalut kukibas-kibaskan bajuku ke badanku hingga tak ada lagi ulat merayap di situ. Lalu kubuka celana panjangku. Juga celana dalamku. Kakiku pun penuh dengan ulat-ulat yang mengerikan itu. Kembali kukibas-kibaskan bajuku ke seluruh kakiku. Aku tak berani lagi memakai baju dan celanaku itu.
Tempat di mana aku berdiri telanjang bulat itu sepi dan gelap. Matahari sudah tak ada lagi. Lampu-lampu jalan tak hidup. Begitu pun lampu-lampu di gedung-gedung di pinggir jalan. Cepat-cepat aku meninggalkan tempat yang terkutuk itu. Aku mulai berlari-lari menuju rumahku dengan tanpa ada satu benda pun menutupi badanku. Tapi, bau busuk itu masih terasa di hidungku. Malah aku mulai mendengar kembali suara yang mirip geraman srigala yang sudah mati tadi. Aku jadi makin takut. Makin kalut. Aku pun makin mempercepat lariku.
Sampai di rumah cepat-cepat kubuka pintu. Terbuka. Untung tadi aku tidak menguncinya. Segera kukunci pintu. Tak ada lagi terdengar suara geraman itu. Aku pun tak lagi mencium bau busuk itu. Setelah kutunggu beberapa menit tetap tak ada suara dan bau yang mengerikan itu. Aku mulai agak lega. Lalu kucoba menghidupkan lampu di ruang tamu. Tak hidup. Aku raba kantongku mencari korekapi. Ah, baru aku sadar kalau badanku telanjang. Dengan meraba-raba aku pergi ke dapur. Kuraba-raba di atas lemari dan akhirnya kutemukan korek api dan sebatang lilin. Kunyalakan lilin itu.
Aku lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badanku yang terasa gatal-gatal. Aku ingin mandi sebersih-bersihnya. Tapi aku ingin memeriksa dan membersihkan mukaku yang terluka goresan taring srigala terkutuk itu dulu sebelum terlambat dan infeksi. Aku pegang lilin itu di tangan kiri dan kudekatkan mukaku ke cermin kamar mandi. Tiba-tiba bayangan kejadian di parit busuk tadi muncul menguasaiku. Aku rasakan seolah-olah lidah srigala itu masih menjilati mukaku. Perasaan mual pun tiba-tiba muncul dalam perutku.
Tapi, betapa terkejutnya aku saat mataku melihat cermin itu. Tak ada wajahku di situ. Tak ada wajah yang kukenal sebagai milikku di cermin itu. Sebaliknya, wajah srigala yang mengerikan itu muncul di hadapanku!
Medan, Februari 1988
Jogja, November 2003
[Diambil dari buku kumpulan cerpen Saut Situmorang "Kotbah Hari Minggu" (2015)]
No comments:
Post a Comment