Thursday, September 3, 2020

Perjalanan Sastra tanpa Jejak Bahasa

Edy A Effendi

Koran Republika

Perjalanan sastra Indonesia dalam kurun waktu 2007 tidak mampu meninggalkan jejak kebahasaan yang cukup berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Jejak kebahasaan ini menjadi penting karena fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa, dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.

Untuk membangun keselarasan antara bahasa dan produk pemikiran, para sastrawan harus bergumul secara intens dengan dunia bahasa dan tidak serta merta melahirkan karya tanpa mau menjenguk ceruk-ceruk kebahasaan yang paling dalam. Hanya beberapa buku sastra yang bisa dijenguk keseriusannya mencari bahasa sebagai jangkar kreativitasnya. Sebutlah kumpulan cerita pendek Gus tf Sakai, Perantau (GPU, 2007), dan antologi puisi Zen Hae, Paus Merah Jambu (Akar, 2007).

Pergumulan secara intens dengan hutan rimba bahasa itulah, yang seringkali dipinggirkan sebagian kalangan sastra. Dalam wilayah sastra, khususnya puisi, bahasa menjadi satu kekuatan sentral dan menjadi satu gema untuk menciptakan kembali keberadaan dan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia.

Dari sudut pandang yang lain, maraknya antologi puisi yang bertebaran, tidak mampu membangun semangat kerja baru dalam wilayah puisi, terutama dalam menerapkan konsep estetika kata sebagai bagian dari proses kerja kreatif kepenyairan seseorang. Maka, ketika sebuah antologi terjebak dalam lingkaran wilayah kata yang dekaden, tradisi penulisan puisi yang dihibahkan dalam sebuah antologi, tidak lagi bersandar pada kekuatan kata dan berbagai varian yang berdiri di balik rimba kata.

Pada dataran itu, puisi kehilangan ruh, sugesti dan daya pikat sebagai wacana fiksi yang berfungsi memperkaya kata. Dan, akhirnya menjadi benar, sindiran yang pernah dilempar ke kubu penyair, bahwa bahasa yang ada masih seperti sebuah dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran -- lokasi yang diancam wabah, perdu yang dihampiri hama.

Situasi serupa juga menimpa tradisi penulisan cerita pendek. Cerita-cerita yang berhamburan di berbagai sudut media massa atau di berbagai ranah toko buku sepajang 2007 tak ubahnya jajaran cerita yang bisa disantap dengan sekejap. Ia tak mampu membangun monumen kebahasaan secara ajeg, utuh dan runut. Sebuah monumen kebahasaan yang sejatinya menghadirkan bahasa ibarat ruh atau inspirasi yang hidup dan bergerak dalam tubuh sang kreator.

Saya menemukan beberapa karya prosa pada kurun 2006-2007, jika dilacak dari sisi tapak kebahasaan, tidak cukup kuat membangun keselarasan teks dan konteks, bahkan tak cukup cermat memainkan kata-kata atau substansi bahasa dalam wilayah teks. Lihatlah prosa Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (Akmal Nasery Basral, Ufuk, 2006), Dunia di Kepala Alice (Ucu Agustin, GPU, 2006), Edensor (Andrea Hirata, Bentang Pustaka, 2007), Galigi (Gunawan Maryanto, Koekoesan, 2007), Janda dari Jirah (Cok Sawitri, GPU, 2007), Linguae (Seno Gumira Ajidarma, GPU, Maret 2007), Mahasati (Qaris Tajudin, Akoer, 2007), Bulan Jingga dalam Kepala (M Fadjroel Rahman, RPU, 2007), September (Noorca M Massardi, Tiga Serangkai, 2006), dan Sintren (Dianing Widya, Grasindo, 2007).

Di tepi lain, saya menemukan karya-karya puisi yang terbit pada kurun 2006-2007, di mana penyair seringkali membiarkan sajak dengan tidak terlampau urut, terang dan padu, sehingga tidak mampu memberi vibrasi yang besar terhadap perkembangan bahasa. Lihat saja buku puisi Angsana (Soni Farid Maulana, Ultimus, 2007), Bau Betina (Binhad Nurrohmat, I:BOEKOE, 2007), Dongeng untuk Poppy (M Fadjroel Rahman, Bentang, 2007), Jam-Jam Gelisah (Todung Mulya Lubis, GPU, 2006), Kepada Cium (Joko Pinurbo, 2007), Laut Akhir (Isbedy Stiawan ZS, Bukupop, 2007), Menjadi Penyair Lagi (Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, 2007), Notasi Pendosa (Acep Iwan Saidi, LKiS, 2007), dan Tamsil Tubuh yang Terbelah (Amien Kamil, MataAngin, 2007).

Kultur lokal

Pada prosa Perantau Gus tf Sakai, misalnya, pengarang seharusnya bisa lebih menstimulir persoalan kelokalan dengan berpijak pada kultur Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Sayangnya, Gus tf tidak sepenuhnya mengambil setting lokal sebagai kosmologi penceritaan yang utuh.

Kasus serupa juga menimpa Zen Hae dengan kumpulan puisi Paus Merah Jambu. Penyair yang lahir dari kultur Betawi ini mengambil isu lokalitas hanya pada ruang penceritaan dan dialog yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dalam puisinya. Ia tidak menggarap secara lengkap potret lokalitas dari termin kebahasaan.

Pada titik ini, Sakai dan Hae, berhasil pada kemampuan memainkan irama kata pada teks yang disebar ke publik, tapi gagal mengambil lokalitas dari traktat kebahasaan. Saya menangkap upaya pencarian kebahasaan dengan bersandar pada kekuatan lokal adalah upaya ekstrim yang seharusnya dikembangkan pengarang, agar mampu mengambil identitas kebahasaan yang jelas.

Di tempat yang berbeda, kumpulan puisi Bau Betina Binhad Nurrohmat pun hanya terampil memainkan kata dengan melakukan penggemparan makna di berbagi sudut puisinya. Ia, dengan kredo penulisannya, berupaya mengolah diri dengan mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk, cara, atau teknik alternatif untuk mengucapkan kenyataan.

Sedangkan bergerak untuk merambah wilayah baru adalah upaya menjamah realitas yang sebelumnya tak tergarap atau masih tergarap sepintas lalu, misalnya kekotaan, mitos lokal, seks dan tubuh. Sastra Indonesia mutakhir tampaknya cenderung memasuki wilayah-wilayah mikro dengan cara ucap yang masih terus bergulat mencari bentuk.

Binhad masih terjebak pada kubangan wilayah mikro dengan cara ucap yang masih melingkar-lingkar pada upaya pencarian bentuk, bukan pencarian dari ranah kebahasaan. Semestinya pengarang harus mampu mengambil setting lokal sebagai basis reproduksi penciptaan. Sebuah problem untuk melakukan sinergi dengan peristiwa di luar teks.

Jika sinergi itu tidak dikerjakan dengan tepat, penulisan setting lokal atau kultur lokal, akan terjebak pada penulisan fiksi yang ber-kiblat pada sejarah. Penulisan fiksi, penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah beberapa hal yang memiliki kaidah penceritaan yang berbeda.

Selama ini, penulisan sejarah di bangku-bangku pendidikan menjadi terdistori dan cenderung menyesatkan. Atau mungkin benar apa yang pernah dipaparkan Clifford Geertz, bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut sendiri yang kemudian terabaikan dalam kultur.

Pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat ucap para kreator dalam memproduksi kata-kata di dalam teks. Ia tak ubahnya jembatan pengarang dalam melakukan pencarian identitas kebahasaan. Di ranah ini, para pengarang yang melahirkan karya pada kurun 2007 tak memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola bahasa.

*) Dosen sastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar