/: Istriku
Adakah kepedihan suatu pilihan?
Tibatiba kau bisikkan sesuatu itu dengan lirih. Dan di bola matamu
ikan yang tadinya bersenda
kini kaku batu. Menatap kearahku
Di dekatmu
perihal yang kau tanyakan itu
bukan mengada aku tetap mengasihimu
Seperti halnya saat ini
kala musim panas menjadikan samudera meluap
kuajak dirimu menatap dian-dian kecil di ruang bahtera
yang nyala apinya kujumput dari gerai hitam rambutmu
atma
yang keluar dari lingkaran labirin
(Di atas bahtera, angin yang pukau, kini desau. Juga
dua bola matamu kian tujah, tuliskan sajaksajak bisu di mural jantung
: Tentang luka, juga
tentang sekaleng susu yang tibatiba terbawa arus air mata, kau ibu anakku)
Degup jantung pun mengeja hurup
setiap kali kudapati kantuk matamu tersenyum tulus
terselip di lipatan-lipatan popok yang habis kau seterika
biar telah lelah terjaga tiap tengah malam
bangun,mengganti popok anakmu
O, jantungku kian debar
di tubir Cinta
kurasakan matahari membakar raga
malam; pisaupisau kematian
membaca sunyi
Dimana ia-nya (kebahagiaan) berada?
tanya yang tak sengaja kubaca dari tatapan matamu
bisu, sebisu-bisunya perasaan yang entah
kemana lalu kau meniadakannya
menggantikan dengan serupa mantra
lembut di telinga anakmu
: Cinta itu api
lidah apinya membakar jiwa juga
derita. Kasih
Jikalau airmata ini mengalir
biar menjadi kunci
membuka pintu langit
dan kedukaan itulah kebahagiaan
manakala dian-dian kecil tetap menyala di ruang bahtera
bisikmu; harapan seorang ibu
tulus
(selepas subuh, sesaat setelah kau tanak sesak nafasmu, sekali lagi kuarungi samudera matamu yang embun. Dan kini di atas bahtera, kala kembali menatap langit, kudapati burung berkata-kata pada angin, tentang bayi serta seorang perempuan berkerudung airmata yang berlari-lari di terik padang pasir, dari Shafa ke Marwah, tak keluh, mencari mata air kehidupan, juga untuk anaknya, setulus kasih ia-nya persembahkan kerudung airmata, mengetuk pintu langit. Dan perempuan itu, serupa dirimu, istriku, pun ibu yang tiada berbatas dalam mencintai anak-anaknya. Biar luka, biar duka, juga biar sekaleng susu yang tiba-tiba terbawa arus air mata)
Matamu yang Embun
/: Istriku
Tibatiba kau bisikkan sesuatu dengan lirih,
dan di bola matamu,
ikan yang tadinya bersenda di samudra,
kini kaku batu. Menatap kearahku
Di atas bahtera,
angin yang pukau, kini desau. Juga
dua bola matamu kian tujah,
tuliskan sajaksajak bisu di mural jantung
: Tentang luka,juga
tentang sekaleng susu yang tibatiba terbawa arus air mata
kau ibu anakku
Subuh, selepas kau tanak sesak nafasmu,
sekali lagi kuarungi samudera matamu yang embun,
di atas bahtera,
kala kembali menatap langit,
kujumpai seekor simrugh* berkata-kata pada angin,
tentang bayi dan seorang perempuan,
berkerudung airmata,
di terik padang pasir berlarilari dari Shafa ke Marwah,
tak keluh,
mencari mata air kehidupan,
setulus kasih ia persembahkan kerudung airmata-
untuk anaknya,
mengetuk pintu langit. Dan perempuan itu,
serupa dirimu, istriku, pun
Ibu yang tiada berbatas dalam segala-
hal mencintai anak-anaknya.
Matamu yang Embun
/: Istriku
Tibatiba kau bisikkan sesuatu dengan lirih,
dan di bola matamu,
ikan yang tadinya bersenda di samudra,
kini kaku batu. Menatap kearahku
Di atas bahtera,
angin yang pukau, kini desau. Juga
dua bola matamu kian tujah,
tuliskan sajaksajak bisu di mural jantung
: Tentang luka,juga
tentang sekaleng susu yang tibatiba terbawa arus air mata
kau ibu anakku
Subuh, selepas kau tanak sesak nafasmu,
sekali lagi kuarungi samudera matamu yang embun,
di atas bahtera,
kala kembali menatap langit,
kujumpai seekor simrugh* berkata-kata pada angin,
tentang bayi dan seorang perempuan,
berkerudung airmata,
di terik padang pasir berlarilari dari Shafa ke Marwah,
tak keluh,
mencari mata air kehidupan,
setulus kasih ia persembahkan kerudung airmata-
untuk anaknya,
mengetuk pintu langit. Dan perempuan itu,
serupa dirimu, istriku, pun
Ibu yang tiada berbatas dalam segala-
hal mencintai anak-anaknya.
http://sastra-indonesia.com/2010/06/puisi-puisi-imron-tohari/
No comments:
Post a Comment