Tuesday, August 24, 2021

Menjadi “Indonesia” lewat Sastra Melayu Tionghoa

Wahyudi Akmaliah Muhammad
 
Dalam pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dahulu saya selalu diajarkan bahwa karya sastra yang termasuk dalam Balai Pustaka adalah genre sastra Indonesia modern, seperti Belenggu, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Di luar karya sastra yang tidak tercantum dalam Balai Pustaka bukan bagian sastra Indonesia modern. Dengan kata lain, buku-buku sastra yang lain tidak patut dipelajari, karena bukan bagian dari detak sejarah sastra di Indonesia. Doktrin inilah yang membeku hingga sekarang. Lalu, kategori apa yang digunakan Balai Pustaka untuk menentukan bahwa sebuah karya termasuk sastra Indonesia modern? Prosedur apa yang diterapkan untuk menelisik ke-modern-an itu?
 
Sebenarnya, sastra Indonesia modern tidak terbatas dalam kategori yang ditentukan Balai Pustaka. Sejak tahun 1870-1966 kesusasteraan Indonesia yang ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” sudah berkembang. Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806 orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.
 
Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya. Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh buku-buku bacaan lainnya.
 
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.
 
Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).
 
Kehadiran Balai Pustaka yang disponsori pemerintah Hindia Belanda menjadi lembaga kontrol yang otoritatif kepada masyarakat dengan menentukan pilihan bacaan sastra yang “baik” dan “buruk”, rendah dan tinggi. Tujuannya ialah membendung sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selama ini diterapkan. Imbas dari kebijakan ini, Selain masyarakat kurang memiliki daya kritis saat membaca karya sastra yang ditentukan itu, tidak terdokumentasikan karya-karya sastra non Balai Pustaka yang merupakan bagian warisan sejarah perjalanan sastra nusantara (Aning Retnaningsih: 1983 ; A. Teeuw: 1942).
 
Praktis sejak Indonesia merdeka, hanya sedikit sarjana dan penulis yang memperhatikan perkembangan sastra Melayu Tionghoa yang dianggap bermutu rendah. Pramudya Ananta Toer salah seorang penulis yang sedikit itu. Pada tahun 1963, ia mengasuh rubrik lentera di harian Bintang Timur dan menuliskan sastra Melayu Tionghoa dalam kontek sastra pra Indonesia bersama dengan karya-karya lain yang ditulis dengan bahasa Melayu Rendah. Selain itu, awal tahun 1960-an ketika mengajar di Universitas Res Publica (Ureca) Jakarta, ia mendorong beberapa mahasiswanya untuk meneliti kesusastraan “Melayu Rendah”. Lalu muncullah beberapa skripsi sarjana muda sastra yang mengambil tema sastra Tionghoa peranakan. Meskipun kajian ini sedikit diketahui oleh publik.
 
Menurunnya minat untuk mengkaji sastra Melayu Tionghoa ini diperparah dengan lahirnya Orde baru dengan pelbagai kebijakan terhadap orang Tionghoa sejak tahun 1966. Selain menghilangkan karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, Orde Baru juga melucuti pelbagai hal yang berkaitan dengan simbol kechinaan. Mulai dari pelarangan sekolah, media massa, ormas, penggunaan bahasa Tionghoa hingga pemaksaan umat Konghucu untuk memeluk lima agama yang diakui rejim Orde Baru. Lewat kebijakan naturalisasi selama dua generasi ini membuat masyarakat Tionghoa menjadi berjarak dengan akar budaya nenek moyangnya.
 
Selain itu, rejim Orde Baru juga membentuk mitos-mitos terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, mitos determinisme ekonomi, di mana orang Tionghoa dibayangkan sebagai etnis yang secara esensialis memiliki kepiawaian dan keuletan perihal perdagangan. Kedua, mereka secara kultural memiliki tradisi yang berbeda dengan mayoritas etnis Indonesia kebanyakan. Seperti bahasa yang digunakan, adat istiadatnya, selalu ingin tinggal dengan sesama etnisnya, kulitnya lebih putih, dan etnis yang seragam; mitos keseragaman ini mengindikasikan adanya persamaan dan pluralitas pun menjadi kabur (Ariel Heryanto: 1998). Cara memandang orang Tionghoa sebagai liyan inilah yang kemudian di reproduksi masyarakat Indonesia dan juga diamini orang Tionghoa sendiri hingga kini.
 
Dus, Tionghoa bukanlah etnis yang baru di negeri ini, melainkan etnis yang sudah berurat akar sebelum Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari etnis nusantara di Indonesia yang juga turut membentuk kesusastraan Indonesia modern. Selain itu, lewat karya sastra yang dihasilkan telah menciptakan imajinasi kebangsaan mengenai apa itu “menjadi orang Indonesia”. Namun, faktor kepentingan dan kuasa politiklah yang membuat mereka dianggap berbeda dengan etnis-etnis yang lainnya.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/10/menjadi-indonesia-lewat-sastra-melayu-tionghoa/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar