Monday, August 23, 2021

Komentar Dwi Pranoto mengenai Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia oleh tengara.id

Bila kita asumsikan “Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia” tengara.id itu di dasarkan pada distant reading-nya Franco Moretti, alangkah ngawurnya pernyataan yang menghapus kekhasan dalam sastra karena terlalu banyak kekhasan, “Era Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan . . .”. Moretti itu memindahkan pengelompokan “angkatan”, dengan demikian pengelompokan kekhasan” dari Kurun Waktu ke Ruang Geografis. Meminjam teori sistem dunia, Moreti memilah ruang geografis itu menjadi core, semi-periphery, dan periphery. Pemilahan space ini mengekspresikan unequal world, sementara sistem ekonomi kapitalisme global mengekspresikan one world. Kekhasan dalam Moretti yang dideskripsikan bersama diversifikasi spesies dalam teori evolusi kemudian disesuaikan secara “teknis” menjadi divergensi dan konvergensi.
 
Lalu di mana letak teknologi I.T dalam teori distant reading? Teknologi komputer I.T tidak dirujuk sebagai pengalaman terinternalisasi yang membentuk perubahan sensibilitas. Teknologi I.T hanya digunakan sebagai peranti. Moretti tidak mengenal sensibilitas, distant reading mereduksi kualitas-kualitas insaniah menjadi ciri-ciri morfologis bentuk sastra dan fungsi karakter dalam sistem jaringan.
 
23 Agustus 2021
 
Link terkait:
https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/
http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/
 
Atau baca di bawah ini:
 
Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia
oleh tengara.id
 
Dari rak terdepan sastra Indonesia, kita bisa lihat samar-samar kemunculan suatu generasi baru yang satu-satunya kesan paling menonjolnya adalah nyaris tiadanya kesan yang menonjol. Jika kita menjumpai mereka di jalan, akan sulit kiranya membedakan sosok mereka dari orang yang lahir 30 tahun lalu, tiga tahun lalu, atau 30 tahun yang akan datang. Ini bukanlah suatu gugatan pada generasi sekarang, justru sebaliknya. Izinkan kami menjelaskan.
 
Zaman dahulu kala, sewaktu sastra Indonesia baru bisa bilang “aku,” orang kerap memberi nama pada suatu angkatan. Ibarat IMEI pada ponsel cerdas, setiap sastrawan selalu memiliki kode unik: 45, 50, 66, 70, 80, 98, 2000. Setiap nomor itu, tentu saja, melambangkan semacam jiwa. Ada suatu keresahan bersama, semangat zaman yang sama dan akhirnya juga inspirasi dan bentuk pengucapan yang serupa. Dalam sejarah ini, setiap sastrawan memiliki kedudukan dalam sejarah masing-masing dan kesamaan jiwa mereka diresmikan oleh suatu tonggak: “Di sini terbaring novelis A dari angkatan Z.” Sebuah gaya sastrawi, atau jiwa, diresmikan sebagai sepotong batu nisan.
 
Kalau setelah tahun 2000 kita tidak lagi memiliki kode unik untuk angkatan, tentu itu bukan karena kita kekurangan imajinasi atau karena—yang artinya sama saja—kita tidak mungkin mendefinisikan zaman kita sendiri. Soalnya bukan ada pada kita, para kritikus zaman kini, atau pada sastrawan generasi sekarang, melainkan pada masa kini. Hari ini semua sejarah telah menjadi kini, semua tempat sampai juga ke sini: teknologi informasi memungkinkan masa lalu dialami sebagai masa kini dan Paris dialami sebagai Jakarta. Jarak yang memisahkan Chairil dari Rich Brian sama dengan jarak yang memisahkan Covid dari Ovid: satu klik, satu swipe. Dalam zaman seperti ini, setiap sastrawan mengakses semuanya dan diakses oleh semuanya. Semua itu membentuk kontur generasi sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang adalah penjumlahan dari semua generasi.
 
Puluhan tahun lalu, para kritikus dan sastrawan kita berdebat tentang sastra saiber. Di antara berbagai hal menarik tentang internet, mereka memilih berpolemik tentang perbedaan antara cerpen di koran dan blog. Sementara hal yang lebih krusial, bagaimana internet mengubah struktur pengalaman sastrawan Indonesia, cenderung luput dibicarakan. Padahal justru transformasi sensibilitas itulah yang membentuk watak generasi sekarang. Pada sebuah zaman ketika terlalu banyak kanon berlintasan di media sosial (mulai dari Awkarin sampai seleb Tiktok yang viral siang ini), sebetulnya logika kanon, tonggak dan hikayat sastrawan besar sudah tidak lagi bekerja. Ikut hanyut pula bersamanya: suatu ciri khas sastrawi, suatu keunikan rohani, dari sebuah angkatan. Ekosistem serba-serentak di era digital ini tidak mungkin lagi menunjang keberadaan dinosaurus yang berpengaruh: makhluk-makhluk legenda dari zaman analog. Atas dasar itu, kita boleh curiga, jangan-jangan pandangan kita tentang sastra dan kritik sastra hari ini tidak akan adil tanpa mengakui kekhasan generasi ini, yakni bahwa inilah sebuah generasi tanpa kekhasan.
 
Mengatakan bahwa Zaman Angkatan telah lewat, bahwa Era Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan akibat interaksi superintensif dalam berbagai platform komunikasi sehingga “kekhasan angkatan” menjadi kategori yang tidak lagi membantu kita melihat perkaranya dengan jelas. Bahkan jika seorang pemodal ventura hari ini memutuskan—entah karena waham apa—untuk pensiun dini dan membacai karya sastra Indonesia dua dasawarsa terakhir, hampir pasti ia akan tidak henti-hentinya menemukan kekhasan hingga akhir hayatnya. Ini juga bukan kondisi unik sastra Indonesia, melainkan terjadi pula dalam apa yang kadang kita sebut, dengan agak gemetar, sebagai “sastra dunia”. Contoh paling terang adalah pergeseran paradigma kritik sastra sejak awal abad ke-21: pembacaaan jauh (distant reading) yang diperkenalkan Franco Moretti.
 
Menurut tradisi sastra adiluhung yang kita kenal sebagai modernisme, kritik sastra adalah sejatinya pembacaan dekat (close reading). Sejak Cleanth Brooks, kritikus membaca karya sastra seperti arkeolog menekuri sepotong guci Yunani. Pascamodernisme datang membongkar segala tabiat modernisme, kecuali pembacaan dekat; bahkan Derrida mengajak kita untuk membaca yang taktertulis dengan membaca lebih dekat dan lebih pelan lagi. Saking dekat dan pelannya, para kritikus ini tidak lagi membaca: mereka mengeja. Kritikus kita pun mengikuti kecenderungan ini hingga kritik sastra di Indonesia hampir identik dengan pembacaan dekat atas teks.
 
Akan tetapi, Franco Moretti bersama para koleganya di Stanford Literary Lab memperlihatkan bahwa kadang-kadang cara terbaik untuk membaca adalah dengan tidak sungguh-sungguh membaca. Apa yang diperlukan adalah justru mengambil beberapa langkah menjauh dari teks, meninjau himpunan teks sepintas lalu, dan memanfaatkan algoritma komputer untuk menemukan pola dari belasan ribu karya sastra. Berkat peranti humaniora digital yang mereka gunakan, kita kemudian tahu, kekhasan sastrawi terlalu dilebih-lebihkan dan apa yang mengemuka sebagai gantinya adalah sistem sastra dunia (literary world-system). Ini adalah hubungan saling-pengaruh yang rumit antara sastrawan, kritikus dan pembaca, lengkap dengan segala ketimpangan ekonomi-politik dan ketidakmerataan akses di sana-sini. Dalam sup sastra dunia itu, kekhasan hanya mungkin sebagai blurb. Inilah juga keadaan sastra dan kritik sastra kita hari ini: suatu keadaan riuh rendah yang menyenangkan ketika sastrawan beken dan sastrawan yang merasa beken memperdebatkan hal yang sebetulnya, kalau dipikir-pikir lagi, mereka sepakati.
 
Beken atau tidak, khas atau tidak, keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Tengara.id hadir sebagai ruang inklusif untuk mempercakapkan segala gelagat sastra Indonesia hari ini. Sejumlah esai edisi perdana ini kurang-lebih menggambarkan semarak kritik sastra kita hari ini. Esai-esai ini bukan hanya menggambarkan bagaimana keterampilan menulis para kritikus sastra generasi terkini, tetapi juga bagaimana mereka menggunakan sejumlah pendekatan dalam meneroka karya sastra: filsafat, pascakolonial dan sastra bandingan, sedangkan yang lain tetap setia menulis tinjauan impresionistik. Sejarah kebangsaan pascakolonial dan naratologi dalam Sunlie Thomas Alexander dan Harry Isra M., sejarah personal dalam Bandung Mawardi, sejarah estetika sastra dalam Geger Riyanto, sejarah (guyonan) lokal dalam Udji Kayang, sejarah kepenulisan perempuan dalam Ayu Ratih, dan sejarah spekulatif dalam Sabda Armandio. Sebagai suara generasi sekarang, mereka sama-sama menghadirkan refleksi intens tentang seperti apa sebetulnya yang mereka alami sebagai masa kini sastra Indonesia. Sebuah masa kini yang ditandai oleh fragmentasi dan lenyapnya acuan bersama agaknya menjadi acuan bersama mereka. Kembali menyoal sejarah barangkali dapat dibaca sebagai gejala dari lenyapnya acuan bersama itu.
 
Ada ciri lain dari tulisan-tulisan yang dimuat di sini: tegangan antara kritik bandingan yang berorientasi ke luar dan semacam pembacaan ekosistem lokal. Aspirasi kritik bandingan terlihat jelas dalam artikel Sunlie Thomas Alexander yang membandingkan novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan dengan Midnight’s Children karya Salman Rushdie dan tradisi sastra realisme magis. Demikian pula dengan Harry Isra M. yang membaca Puya ke Puya karya Faisal Oddang dalam perbandingan dengan roman karya H.J. Friedericy yang ditinjau dari perspektif kritik pascakolonial Syed Husain Alatas dalam The Myth of Lazy Native. Pada ujung yang berlawanan ada suatu usaha melihat karya dalam hubungan dengan ekosistem sastra dalam negeri. Inilah yang kita jumpai dalam artikel Udji Kayang yang membaca kumpulan cerpen Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-Cerita Lainnya karya Gunawan Tri Atmodjo dalam kaitan dengan suasana kultural kota Solo dan buku-buku lelucon yang pernah terbit. Demikian pula dalam artikel Geger Riyanto yang membaca novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom dalam konteks kecenderungan liris prosa Indonesia dewasa ini ataupun dalam artikel Bandung Mawardi yang mengupas buku puisi Playon karya F. Aziz Manna dalam hubungan dengan telaah Hartojo Andangdjaja dan tradisi penulisan puisi bernada anak-anak karya Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Sedangkan dalam rubrik timbangan buku, Ayu Ratih mengupas sebuah bunga rampai para penulis perempuan masa lalu yang ditulis oleh para penulis perempuan masa kini, yakni sebuah kolektif bernama Ruang Perempuan dan Tulisan. Artikel itu memperlihatkan tegangan pelik antara dunia dan bangsa, antara ruang publik dan domestik, antara menulis dan melupakan.
 
Dengan memilih keenam artikel ini, Tengara.id hendak menyajikan gambaran terkini yang sudah terkurasi tentang state of the art kritik sastra di Indonesia. Untuk melengkapi gambaran itu, dihadirkan juga sebuah wawancara panjang dengan Sabda Armandio, salah seorang pengarang generasi baru, yang mencerminkan bagaimana generasi baru sastra Indonesia berpikir tentang sastra Indonesia dan masa depannya. Kita bisa melihat bagaimana ekosistem lokal sastra Indonesia dan sastra dunia telah berbaur begitu dekat sehingga acuan sastrawi kita menjadi begitu beragam. Tidak ada lagi suatu “Sastra Indonesia” yang tunggal, yang bisa dipilah dengan tegas dari “sastra bukan-Indonesia” ataupun dari “bukan-sastra Indonesia”. Apa yang mengemuka adalah deretan perbandingan yang tanpa tepi.
 
Aneka artikel yang dimuat di edisi perdana Tengara.id ini mencerminkan deretan perbandingan itu. Kita akan menyaksikan betapa lain keprihatinan dan sudut pandang para kritikus sastra kita hari ini. Mulai dari sensibilitas etnografis yang menggali tradisi lampau hingga sensibilitas futuristik yang merentang puluhan tahun ke depan hadir berdampingan dalam satu generasi yang sama. Perbedaan sensibilitas yang demikian kontras inilah wujud paling nyata dari rak terdepan sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang asyik berkarya tanpa peduli akan disebut apa. Terbebas dari beban politik identitas angkatan, generasi baru kritikus sastra Indonesia leluasa memperkarakan apa saja. Semboyan mereka, jika harus ada, ialah: “Kami tidak punya semboyan.”
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-dwi-pranoto-mengenai-dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar