Monday, August 9, 2021

Inspirat Al-Nafis

Hasan Aspahani *
batampos.co.id
 
AKA baginda pun menyuruh Punggawa Bakak menebas Pulau Penyengat Indera Sakti itu cucikan kerana Punggawa itu dia duduk di Penyengat ada empat lima buah rumah. Maka apabila sudah cuci Pulau Penyengat itu ditebas. Maka baginda pun membuat istana dengan kota paritnya dengan masjid balairungnya. Adalah yang memerintahkan segala pekerjaan itu Encik Kaluk bin Encik Suluh peranakan Bugis. Maka tiada berapa antaranya selesailah pekerjaan itu. Maka apabila selesai Pulau Penyengat itu jadi negeri tempat kerajaan maka baginda pun memindahkan paduka adinda Engku Puteri yaitu Raja Hamidah isterinya, ke istana Pulau Penyengat dengan orang baiknya dan anak raja seratanya.
 
Syahdan kata sahib al-hikayat sekali perseteruan pada suatu masa maka bertitah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda baginda Engku Puteri di hadapan beberapa raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera Baginda Sultan Sulaiman demikian bunyi titahnya, “Sekarang Raja Hamidah, adalah sahaya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan sudah cukup dengan istana kota paritnya. Maka Raja Hamidahlah yang saya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah…” (petikan dari Tuhfat Al-Nafis, Raja Ali Haji)
***
 
TIGA tahun lalu, bersama Sitok Srengenge dan sejumlah kawan seniman lain, saya menyeberang ke Pulau Penyengat. Ini yang kesekian kalinya buat saya, tapi bagi Sitok -penyair yang suka baca sajak di luar kepala itu- inilah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sana. Dan bagi kami, yang tak boleh tak disinggahi tentu saja makam Raja Ali Haji (1808-1873).
 
Ini semacam sowan, semacam pengakuan kekaguman, sebab padanyalah kami para penyair -dan siapa saja yang berbahasa Indonesia dan Melayu tentu saja- berutang. Kenapa? Sebab Raja Ali Haji-lah yang meletakkan kajian dasar tata bahasa yang kini terbukti bisa menjadi alat untuk mengekpresikan apa saja: ia bisa jadi bahasa untuk sastra, bisa dipakai menjadi bahasa pengantar di sekolah, bisa jadi bahasa teknik, bisa menjadi bahasa undang-undang.
 
Di kolom ini pernah saya tulis betapa bingungnya negara Timor Leste menentukan sikap terhadap bahasa. Di pasar orang bertransaksi dengan berbahasa Indonesia, pemerintahan hendak dijalankan dengan bahasa Portugis, tapi juga lebih banyak yang berbahasa Inggris, di sekolah mahasiswa minta ujian dalam bahasa Indonesia, sebagian pelajaran disampaikan dalam Bahasa Inggris, sementara di undang-undang dasar negara itu disebutkan bahwa mereka mengembangkan Bahasa Tetum sebagai bahasa Negara, tetapi hanya sedikit persentase penduduk yang menguasai bahasa tersebut. Bingung, kan? Timor Leste mungkin tak punya sesosok seperti Raja Ali Haji.
***
 
Di Penyengat, kala itu, bersama Sitok, kami bertemu dengan serombongan kru film yang sedang mencari lokasi film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji . Sitok mengenal baik beberapa kru film itu dan mereka akrab dalam Bahasa Jawa. Sitok, memang pernah lama menekuni seni teater, dan lingkungan seni itu ternyata sempit. Ke mana-mana bisa ketemu orang yang sama.
 
Saya sempat membolak-balik skenario itu. Tak banyak yang saya mengerti. Tak pula bisa membayangkan waktu itu, seperti apa kelak film itu jadinya. Tapi, selentingan kawan budayawan sudah mulai banyak membicarakan dengan cemas.
***
 
Saya belajar banyak pada banyak penyair. Salah satunya adalah Raja Ali Haji. Ia meninggalkan banyak karya. Demi kepentingan pelajaran menyair saya sendiri maka saya -tak bisa lain- kecuali membaca karyanya itu. Orang yang tidak membaca buku, tidak ada kelebihannya dengan orang yang tidak bisa membaca, kata Mark Twain.
 
Maka dalam bayangan saya, Raja Ali Haji adalah sosok yang amat bergairah menulis. Ia yakin meniti jalan kepenulisan. Jika tidak dengan semangat begitu, saya bayangkan dia tidak akan bisa menghasilkan banyak karya yang monumental itu.
***
 
Bayangan saya tentang sosok Raja Ali Haji itu tak saya dapatkan dalam film Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji, yang saya tonton premiere-nya Sabtu (2/5) lalu. Saya kehilangan sosok Raja Ali Haji di film itu. Saya tak melihat kepahlawanannya di film itu.
 
Ada dua adegan yang justru menyosokkan beliau sebagai orang yang ragu akan faedah menulis. Adakah fakta sejarah yang mendukung hal ini? Jika tidak, maka keraguan Raja Ali Haji dalam film ini adalah sebuah tafsir.
 
Sama saja, bagi saya mungkin juga sebuah tafsir bahwa beliau adalah penulis yang amat yakin dengan kepenulisannya. Jika, dua hal itu sama-sama tafsir, keduanya bisa salah, bisa juga betul. Tapi, mungkin pertanyaan bukan itu, bukan salah betul lagi, tapi mana tafsir yang lebih bermanfaat.
 
Menurut saya, jasa besar Raja Ali Haji -karena itu ia pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2004 lalu- adalah pada semangat kepenulisan yang ia wariskan. Seperti terasa beberapa tahun kemudian setelah ia mangkat, di Pulau Penyengat pernah ada percetakan yang dibiayai kerajaan untuk menyokong meriahnya kehidupan sastra kala itu, juga ada perpustakaan dengan jumlah buku yang lengkap, pun pernah ada sebuah komunitas penulis bernama Rusdiyah Klab.
***
 
Dari Hoesnizar Hood saya ada menerima hadiah buku penting Raja Ali Haji, Tuhfat Al-Nafis. Sebelumnya, saya selalu penasaran dengan buku itu, sebab dalam banyak perbincangan dengan kawan-kawan budayawan di Riau, nyaris tak pernah judul buku itu tak disebutkan.
 
Bila Gurindam Duabelas mudah sekali didapatkan, maka buku ini tidak. Buku yang saya terima dari Hoesnizar diterbitkan oleh Yayasan Khazanah Melayu Tanjungpinang bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau, tahun 2002, waktu itu bupatinya adalah Huzrin Hood. Pasti ini, karena ada sambutan beliau di sana.
 
Di awal tulisan ini saya mengutip penggalan dari Tuhfat Al-Nafis (Hadiah yang Berharga). Begitulah bahasa tulis pada saat itu. Terasa arkaik sekali. Saya bayangkan, betapa rumitnya menulis pada masa itu. Bahasanya, pasti tidak akrab dengan pembaca sekarang. Sebagian mungkin agak susah dipahami. Tapi, itulah yang telah dilakukan Raja Ali Haji. Ia meninggalkan karya, sekaligus jejak bahasa yang kemudian dari situlah, bahasa berkembang. Dan dia ikut aktif mengembangkan sebab dia juga menulis Kitab Pengetahuan Bahasa.
***
 
Ada pemandu yang menemani kami -saya dan Sitok- di Penyengat. Ia tahu banyak tentang sejarah Pulau Penyengat, ia pemandu yang baik. Di tiap situs, ia ceritakan siapa dan apa perannya, seakan itu kejaian baru saja berlangsung.
 
“Ini menarik ditulis. Bisa jadi banyak novel,” kata Sitok.
 
Diam-diam saya mengangankan sayalah yang menulis salah satu dari banyak novel itu. Saya bayangkan, petikan Tuhfat di atas menjadi bab pembuka novel saya itu. Ini penggalan adegan yang sangat dramatis. Seorang Sultan menghadiahkan sebuah pulau dan di sana ada istana, ada tata kota yang sempurna, ada masjid, ada rancangan jalan yang melingkari pulau, untuk permaisurinya. Ah, betapa romantisnya. Sang Sultan kemudian mempertahankan keputusan itu, ia membela keputusannya itu. Ah, betapa heroiknya.
 
Saya bayangkan novel saya itu kemudian dijadikan film. Saya bayangkan, di film itu para pelakonnya berbicara amat fasih dalam logat melayu yang molek itu. Saya bayangkan adegan lucu cerita konon tentang nelayan singgah yang Pulau Penyengat dan dikejar penyengat maka bernamalah pulau itu sebagai Pulau Penyengat. Saya bayangkan?.
 
Sesungguhnya, Tuhfat adalah kitab besar yang memang inspiratif. Dalam bahasa yang kacau saya ingin menyebutnya sebagai Inspirat Al-Nafis, inspirasi yang berharga. Ia bisa dan mungkin sudah menjadi inspirasi bagi banyak karya lain. Bila belum, maka inilah saatnya untuk kita mulai membacanya. Mungkin perlu ada klub membaca Tuhfat. Seperti di Swiss, kata kawan saya penulis pengelana di Eropa sana, ada sebuah perpustakaan yang menggelar acara membaca Ullyses-nya James Joyce, setiap hari.
***
 
Ah, kolom pendek ini, kali ini banyak sekali maunya. Tumpang tindih plotnya. Tidak jelas apa yang mau disampaikan, Ini sebuah contoh cara menulis kolom yang buruk. Jangan ditiru, seperti film? Ah, sudahlah.
***

*) Pemimpin Redaksi Batam Pos. http://sastra-indonesia.com/2009/08/inspirat-al-nafis/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar