Friday, July 30, 2021

Sungai yang Tenang

Hudan Hidayat
Republika, 15 April 2007
 
Aku memandang ke sungai yang tenang. Dari jendela kamar lantai dua rumahku, nampaklah sungai yang tenang itu. Kadang-kadang hinggap burung di atasnya. Burung yang kecil. Dari kamarku terlihat ringkih. Tapi, ia tak pernah jatuh ke sungai itu. Selalu bisa terbang. Ringkih, tapi bisa terbang.
 
Apa yang ada dalam benak burung-burung itu? Kadang mereka berombongan datang ke sungai itu. Mungkin tak ada apa-apa dalam benak burung-burung itu. Pikiran mereka cuma terbang dan makan. Meneruskan kehidupan. Mereka menyambar makanan di atas sungai itu. Jadi sungai itu memberikan kehidupan pada burung-burung itu.
 
Sungai itu, kehidupannya darimana? Pastilah sungai itu terbentang sejak lama. Sudah banyak pula riwayat di atasnya. Apakah salah satu riwayatnya? Setahun yang lalu sungai itu mengirimkan batang-batang. Waktu kutegaskan mataku ternyata bukan pokok-pokok kayu, seperti yang kukira. Tapi tubuh manusia. Hanyut di atas sungai itu. Mengalir tanpa daya.
 
Siapa yang menghanyutkannya? Mungkin hanyut sendiri. Tubuh itu tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Dibawa sungai itu dengan perlahan, mengalir tenang. Tapi, tubuh-tubuh itu begitu banyak. Kuhitung ada empat puluh lima, datang dan pergi. Kadang tubuh-tubuh itu mengalir dekat sekali. Rambutnya seolah bukan rambut lagi. Tubuhnya seolah bukan tubuh lagi. Beberapa tidak bertangan. Beberapa tidak berkaki. Ada juga tubuh saja, kepalanya sudah tak ada.
 
Jadi, tubuh-tubuh itu tak mungkin manusia yang tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Pasti ada perisitwa sampai tubuh-tubuh itu mengalir dan dibawa sungai itu.
 
Apakah peristiwanya? Aku tak tahu. Itulah salah satu riwayat sungai itu. Aku hanya memandang dari balik jendela kamarku. Aku tidak pernah turun ke sungai itu. Persahabatan kami cuma dari jarak jauh, sejauh antara sungai itu dengan kamarku. Kira-kira tiga atau empat meter.
 
Sering aku mendengar sungai itu mengeluarkan bunyi. Seolah manusia. Aku merasa bunyi itu untukku. Jadi sahabatku itu bicara padaku. Apa yang dikatakannya?
 
Pesan apa yang hendak kau sampaikan, wahai sungai yang tenang? Aku tak punya pesan apa-apa. Tapi kadang aku merasa diriku sama seperti dirimu. Kadang kurasakan kau pun adalah sungai. Mengalir tenang di kamarmu.
 
Mengapa kau tak pernah keluar kamarmu? Tentu saja: bukankah kau sungai seperti diriku, yang mengalir di alur kita masing-masing. Kau tahu, diriku hanya mengalir di sebentang jalan ini. Jalan sungai. Sudah ratusan tahun aku menjalani alur ini. Dan kau? Kau sudah 65 tahun mengalir di kamarmu. Itu kalau aku tidak salah hitung, saat melihat kau pertama kali menjenguk diriku dari kamarmu.
 
Kau benar, sungai yang tenang. Aku sudah 45 tahun di kamar ini. Alurku berhenti di sini. Seperti alurmu, berhenti di sana.
 
Tetapi mengapa? Ah, lagi-lagi aku bertanya. Bukankah kau sungai seperti diriku. Jadi tak perlu ditanya lagi. Kita memang berhenti di alur kita. Tapi, sebelum kau berhenti di alurmu, pasti ada peristiwa dalam dirimu sampai kau menetap di sana.
 
Benar, wahai sungai yang tenang. Tapi biarlah ia menjadi riwayatku sendiri. Seperti riwayatmu sendiri yang tak pernah kumengerti.
 
Sungai itu mengalir lagi.
 
Malam membuat dirinya menjadi hitam. Lampu di atas jembatan setapak meredup. Seekor tikus yang gemuk menyeberang. Seekor ular membuntutinya. Mereka berkejaran di sungai itu. Tikus ingin segera sampai, selamat dari patukan ular. Ular ingin segera mendapat makan malamnya. Lihat kawan, di atasmu kini ada pertandingan.
 
Aku lihat. Aku merasa tubuhku geli, tikus dan ular itu berjalan gesit sekali. Gesekan itulah yang membuat tubuhku geli.
 
Tubuhmu geli, tapi bagi si tikus, ini saat mendebarkan dalam hidupnya. Lihat dia berusaha sedemikian rupa.
 
Bagi si ular pun, ini saat mendebarkan dalam malamnya. Lihat ia pun berusaha sedemikian rupa.
 
Ah, ular itu...
 
Mengapa kawan?
 
Aku tahu ular itu. Sarangnya tidak jauh dari diriku, di balik rimbun sana, dekat tebing. Dari kamarmu memang tidak kelihatan. Tapi, di situlah anaknya berada. Jadi, tikus itu bukan untuk dirinya, tapi untuk anaknya, yang kelaparan dan kini hampir mati.
 
Oh, begitu rupanya. Maaf ya, ular yang baik hati. Aku tidak menyangka. Tapi, bagaimana pun aku tidak bisa melihat tikus itu. Wahai ular, mengapa kau tak mencari makanan lain saja?
 
Wahai sungai, tak bisakah kau mengirim gelombang, agar ular itu berhenti mengejar. Hanyutkan dia ke arah sana.
 
Bisa saja. Tapi sebagai sungai aku harus adil. Tidak memihak adalah sikapku selama ini. Biarkan saja hukum alam berlaku di sini.
 
Tapi, aku tahu tikus itu, kawanku. Dia juga ditunggu anaknya di seberang sana. Tempat mereka di balik semak di belakang rumah Pak Tua. Aku sering melihat Pak Tua memberikan sisa-sisa makanan pada tikus-tikus itu. Percayalah, kawanku, aku tidak akan membohongi kamu.
 
Tentu saja aku percaya padamu. Tapi, kalau itu kulakukan, aku akan berhenti sebagai sungai. Sedang aku tidak ingin berhenti sebagai sungai. Aku akan jadi sungai sampai kapanpun. Dan, seperti kataku tadi, sungai yang baik adalah sungai yang tidak memihak. Dia menerima segalanya. Mengalirkan segalanya mengikuti alurnya. Cerita dunia ini aneh ya? Bagaimana?
 
Sepuluh tahun yang lalu aku menerima tubuh seorang lelaki, yang dihanyutkan anaknya malam hari. Air mata anak itu jatuh ke tubuhku. Aku diam saja. Anak itu terus saja berkata-kata.
 
Sungai yang tenang, ayah saya sakit gula, dan saya orang yang tidak mampu. Namun, begitu saya tetap mencari uang itu. Saya meminjam kesana-kemari. Uang terkumpul secara bertahap dua belas juta. Saya serahkan uang itu kepada rumah sakit, untuk biaya berobat. Sebagai imbalannya, rumah sakit menyerahkan mayat ayah saya, karena saya tidak mampu lagi membeli obatnya. Saya ingin marah. Saya ingin menangis. Tapi apalah guna marah dan tangis kepada benda mati.
 
Benar, sungai yang tenang. Rumah sakit tak lebih dari kumpulan benda mati yang tak punya hati. Karena itu, simpanlah tangismu sendiri. Kini terimalah mayat ayah saya. Karena engkaulah yang berhak menerimanya.
 
Mengertikah kamu, wahai sungai yang tenang? Terimalah mayat ayah saya sebagai tanda perkenalan kita.
 
Kami berdiam diri menyimak cerita itu. Aku termenung memandang langit yang dilintasi burung. Sementara sungai itu bersiul. Aku ingin bertanya bagaimana nasib anak itu. Tapi, kawanku tak juga menjawab. Lalu, kudengar dia berkata: jadi aku mohon kamu mengerti, wahai lelaki yang baik hati, bahwa nasib manusia akan berhenti pada alurnya sendiri.
 
Aku menyetujuinya. Tetapi, pikirkanlah sekali lagi, selagi ada waktu. Lihat ular itu sudah hampir mendekati tikus itu. Pikirkanlah kawanku, sebelum semuanya terlambat.
 
Sungai itu tidak menjawab. Diam dan berjalan dengan tenang. Tubuhnya membentang. Mengirimkan airnya yang hitam. Membelah kota-kota hitam. Membelah nasib manusia dan takdir dunia, yang mengalir mengikuti jejaknya.
***
 
Jakarta, 2006.

http://sastra-indonesia.com/2021/07/sungai-yang-tenang/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar