Friday, July 16, 2021

Sistem Korup yang Terwariskan

Muhammad Subarkah
Republika, 11 Juli 2011
 
Keborokan mental dan sistem administrasi pegawai VOC terus terwariskan hingga sekarang.
 
“Apa yang kini bisa menjadi bukti bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda?” Untuk menjawab pertanyaan ini memang mudah bila hanya dengan melihat sederet data angka tahun dalam buku sejarah. Bung Karno dahulu pernah berkata bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
 
Tapi faktanya, sampai akhir abad ke-19, masih banyak kerajaan nusantara yang eksis. Bung Karno rupanya mendasari klaim itu dengan merujuk pada kedatangan pertama bangsa Belanda ke nusantara sekitar 1596. Saat itu, dua bersaudara, Frederick dan adiknya, Cornelis de Houtman, menjejakkan kakinya pertama kali di Banten.
 
Kesulitan lain untuk segera menyatakan bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda dan dikerjai habis-habisan oleh VOC adalah dengan hampir tidak tersisanya lagi bangunan gedung era kolonial. Hampir semua sudah roboh atau berganti dengan gedung yang lain. Begitu juga dengan soal bahasa. Bila negara jajahan Prancis atau Inggris hingga kini penduduknya tetap bangga memakai bahasa bekas tuannya, sekarang ini sangat sedikit orang Indonesia yang bisa berbahasa Belanda. Jadi, ingatan atas Belanda sebagai kolonial benar-benar sudah hampir terhapuskan.
 
Namun, meski banyak yang sudah hampir melupakannya, bagi sebagian orang yang sadar akan sejarah, ada satu hal yang sangat esensial yang bisa menjadi bukti peninggalan era penjajahan Belanda (VOC). Dan, itu adalah sikap koruptif yang menguyupi mental para pejabat Indonesia masa kini.
 
“Mental korup itulah salah satu peninggalan VOC yang kini masih lestari. Bayangkan, perusahaan sebesar itu runtuh karena tindakan buruk para pegawainya. Bahkan, di Belanda kemudian ada singkatan baru dari VOC, yakni Vergaan Onder Corruptie atau runtuh karena korupsi,” kata peneliti sejarah Batara R Hutagalung.
 
Senada dengan Batara, sejarawan UI Djoko Marihandono menyatakan, proyek ‘patgulipat’ para pejabat semasa era VOC memang sangat kental terjadi. Fenomena sogok-menyogok untuk menjadi pejabat mengurangi nilai proyek pemerintah, bahkan hingga memperdagangkan wilayah adalah hal yang biasa.
 
Dari catatan Deventer pada 1865, di wilayah Pantai timur Laut Jawa, para pejabat pemerintah yang ingin menjadi bupati harus menyerahkan segepok uang kepada gubernur atau gezaghebber. Besarnya uang sogokan itu berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu piaster. Sementara itu, para bupati ini nantinya akan menerima uang bakti dari aparat di bawahnya, yang berupa sejumlah uang sebagai tanda kesetiaannya kepada atasannya, yakni bupati atau residen.
 
Yang paling sadis, demi mendapatkan uang pengganti sogok itu, para bupati kemudian tak segan-segan sering ‘menjual’ wilayahnya untuk dikelola oleh orang Cina atau pedagang lain yang mampu menawar tinggi akan izin berusaha yang akan diberikannya. Bupati di sini persis berlaku seperti centeng atau mandor atas rakyatnya sendiri.
 
Menurut Djoko, sistem administrasi pemerintah Jawa sangat lemah. Kehormatan dan kepentingan negara selalu dikorbankan. Kondisi moral pegawai menjadi rusak akibat sistem ini. Kondisi perekonomian pun semakin lama semakin buruk. Dan, ketika kekuasaan gubernur dipegang Daendels, saat itu kondisi pemerintahan di ‘Hindia Timur’ benar-benar buruk.
 
“Kebobrokan administrasi pemerintahan dilakukan oleh semua pejabat, dari gubernur jenderal sampai pejabat terendah. Masalah yang seharusnya menjadi pekerjaan pejabat pemerintahan tinggi tidak pernah dilaksanakan karena gubernur jenderal sebelumnya tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Apa yang telah diinstrusikan oleh gubernur jenderal tidak pernah berhasil dan tidak pernah menyentuh persoalan,” ujar Joko.
 
Malah, lanjut Joko, yang menonjol kemudian adalah upaya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Tidak jarang gubernur jenderal ditipu dengan persekongkolan para pejabat atau pegawai, yang tujuannya untuk melindungi kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, perintah pertama penguasa Prancis yang saat itu dipegang Napoleon Bonaparte ketika mengangkat Daendels sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda adalah menertibkan sistem administrasi negara.
 
Untuk mengatasi gulungan korupsi para pejabat pemerintah, Daendels menerapkan kebijakan sangat keras. Sadar bahwa korupsi sudah merasuki perilaku pejabat dengan sangat dalam, dia pun tak segan menerapkan sanksi keras berupa hukuman mati dengan cara ditembak. Saat itu, para pegawai pun merasa sangat ketakutan. Mereka yang ketahuan melakukan kecurangan senilai lebih dari tiga ribu ringgit atau setara dengan gaji satu bulan ketua dewan Hindia Belanda (Raad van Indie), akan disidangkan dan dikenai hukuman mati.
 
Sayangnya, masa pemerintahan Daendels tak terlalu panjang, hanya sekitar lima tahun. Setelah itu, kekuasaan Hindia Belanda sempat dikuasai Inggris meski hanya dalam waktu singkat. Akibatnya, penyakit korupsi semakin berkembang biak, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.
 
Melihat kenyataan itulah, sosok peneliti sejarah seperti Batara Hutagalung berang ketika banyak orang Belanda menilai zaman VOC sebagai zaman keemasan (de gouden eeuw). Celakanya lagi, ada juga sejarawan Indonesia yang mendukung pendapat kalangan konservatif Belanda yang menyatakan VOC adalah perusahaan dagang, bukan penjajah.
 
“Padahal, efeknya terasa sampai sekarang. Apa yang kini terjadi, benar-benar sejalan dan sebangun dengan suasana zaman VOC. Bagi kami, jelas VOC adalah benar-benar sebagai penjajah. Apalagi, di Belanda, terutama kalangan sosialis dan komunis, menyatakan bahwa VOC adalah penjajah. Anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis pernah mengecap Perdana Menteri Belanda memiliki mental VOC,” katanya.
 
Yang paling menyedihkan, lanjut Batara, kalangan pejabat pemerintah juga tak terlalu tanggap atas persoalan ini. Pada 2002, misalnya, ketika di Belanda ada peringatan 400 tahun VOC, mereka hampir-hampir saja tak peduli.
 
“Bayangkan, saat itu perjalanan replika kapal VOC yang dimulai dari Australia hingga ke Belanda masih diizinkan singgah, bahkan disambut meriah di Jakarta. Padahal, kedatangan mereka di Kalkuta, India, ditolak mentah-mentah. Ini sangat ironis sebab kedatangan bangsa Belanda yang diwakili VOC justru menjadi awal kesengsaraan bangsa Indonesia ini,” tegas Batara. Nah, kalau begitu, siapa sekarang yang masih berani melupakan warisan sejarah itu?
 
***
http://sastra-indonesia.com/2011/07/sistem-korup-yang-terwariskan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar