Tuesday, July 27, 2021

Langit Gelap, Tanpa Bintang

Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com
 
“BU, Bapak mana?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir mungilmu, malam-malam sebelum tidur.
“Bapak ke surga.”
“Kenapa tak pulang-pulang?”
“Nanti, kalau sudah punya banyak duit. Bapak kerja keras di sana, cari duit buat kamu dan adik-adikmu.”
“Surga jauh, Bu?”
“Jauh, sangat jauh. Tidurlah, sudah malam.”
“Bapak pasti pulang, Bu? Naik pesawat?”
“Iya, naik pesawat. Doakan saja Bapak selamat dan pulang bawa banyak duit.”
 
Setelah itu, biasanya kamu menggumamkan doa. Entah apa. Aku tak benar-benar mendengarkan karena diam-diam sedang menekap kepedihan. Lalu, agar kamu segera tidur, kudongengkan segala kisah yang kupungut dari tebing ingatan: tentang kamu, tentang adik-adikmu, saat bapakmu masih hidup.
Kamu tak pernah tahu, saat itu aku selalu menangis. Tanpa suara, tanpa isak, sampai kamu terpejam dalam tidur yang tak pernah nyenyak.
Pertanyaan itu kamu lontarkan setiap malam. Tak bosan-bosan. Dan, setiap kali, aku pun mengulang jawaban yang sama seraya menekan kejenuhan. Sampai kamu masuk taman kanak-kanak. Entah kenapa, setiap malam sebelum aku mendongeng, kamu tak lagi menanyakan kenapa bapakmu tak segera pulang dari surga.
 
Ah, kalau saja kamu tahu, sejak malam itu aku bersyukur tak perlu lagi mengulang-ulang jawaban. Sejak saat itu pula aku meyakinkan diri sendiri: bapakmu memang berada di surga. Harapan itu sesekali berpilin-berkelindan dengan rasa iri. Ya, betapa enak dia: tinggal ongkang-ongkang kaki, tak lagi direcoki segala tetek bengek agar kamu serta adik-adik dan mbakyumu tetap bisa makan dan bersekolah. Dan, terutama, bisa menikmati masa kanak-kanak kalian sebagaimana anak-anak lain. Acap kali, diam-diam, aku menyalahkan bapakmu: kematiannya, entah di tangan siapa, telah membebaskan dia dari tanggung jawab membesarkan kalian, dan menimpakan sepenuh seluruh kewajiban itu kepadaku. Seorang diri. Mengasuh dan membesarkan kalian, lima orang anak, menjalani masa pertumbuhan.
 
Tanpa sepenuhnya kusadari di dasar hati muncul benih-benih kebencian pada bapakmu. Makin hari benih itu kian besar. Mengecambah, meracuni darah. Membarah. Jika mungkin, ingin kuhapus segala ingatan tentang bapakmu. Namun, tentu saja, itu mustahil. Dia telah maujud pada diri kalian berlima. Kalian sepenuhnya penjelmaan dia. Maka, jika muncul sekelebat kenangan bersama dia, segera kucungkil dari benak. Aku khawatir kebencian yang meruyak beralih pada kalian. Karena itulah aku bersyukur, benar-benar bersyukur, kamu tak lagi nyinyir bertanya apa yang sedang bapakmu perbuat di surga. Sampai sekarang.
***
 
KAU keliru membenci Bapak. Bapak amat-sangat mencintai Ibu. Begitu besar cinta Bapak sehingga tak pernah melarang apa pun yang diperbuat Ibu dalam organisasi Gerakan Perempuan Indonesia. Dia khawatir, sekali melarang, Ibu bakal pergi. Lantaran Bapak tahu Ibu tak mencintainya. Ibu cuma punya respek, rasa hormat. Perhatian Ibu lebih tercurah untuk mewujudkan cita-cita: membangkitkan kesadaran perempuan agar hidup secara mandiri. Bebas dari penindasan dalam segala bentuk, dalam aneka wujud.
 
Apalagi Bapak pun sepakat, tak semestinya perempuan dikurung dan ditelikung urusan dapur, kasur, pupur. Justru aktivitas Ibu itulah, antara lain, yang membuat Bapak kesengsem. Dia, lelaki pendiam dan introvet itu, diam-diam mengagumi Ibu ? adik kelas dan kemudian menjadi kawan sekerja sebagai guru. Lama-kelamaan kekaguman itu berubah menjadi rasa kasih, menjadi rasa sayang.
 
Bapak pun melamar Ibu. Ibu, yang barangkali sudah terlalu capek menolak lamaran beberapa kawan pria, akhirnya menerima pinangan Bapak. Mereka menikah dan lahirlah kita, anak-anak mereka. Kehadiran kita tak pernah menghalangi Ibu untuk tetap aktif berorganisasi. Untunglah Bapak tipe orang rumahan; dialah yang lebih sering momong kita sembari menjalani kegemaran membuat sangkar bagi burung-burung perkutut piaraan.
 
Menyenangkan bukan? Tak ingatkah kau, sesekali pada malam hari Bapak dan Ibu mengajak kita berjalan-jalan, menyusuri jalanan kota kecil di tepian bengawan, tempat kita tinggal saat itu? Sesekali pula mereka menggiring kita ke pasar malam menjelang lebaran. Amboi, betapa senang, betapa riang!
Lalu, datanglah petaka itu. Prahara membadai. Acap kali, pada malam-malam gelap tanpa bintang, banyak orang menggedor-gedor rumah kita. Mereka berteriak-teriak dengan suara parau penuh amarah. Beringas, berseru-seru bersahut-sahutan, “Bakar, bakar saja! Jangan kasih ampun! Pengkhianat bangsa, penghujat agama!”
 
Batu-batu pun beterbangan. Menghancurkan genting rumah kita, meremuk kaca jendela.
 
Bapak dan Ibu mengungsikan aku dan Lilik ke B, ke rumah Eyang. Tinggal kau dan Yoyok. Sri masih dalam kandungan Ibu.
 
Kau tentu ingat, beberapa kali kalian disembunyikan ke rumah para tetangga ketika orang-orang itu menyerbu rumah kita. Penyerbuan berlangsung berulang-ulang.
 
Akhirnya, setelah beberapa waktu, tentara menahan Bapak dan Ibu. Mereka membawa Yoyok dalam tahanan karena masih terlampau kecil untuk tinggal di rumah bersamamu dan Mbok Nah, pembantu kita.
 
Beberapa bulan kemudian, aku tak ingat lagi, Ibu keluar dari tahanan. Aku dan Lilik sangat gembira ketika suatu hari melihat Ibu, kau, dan Yoyok turun dari dokar di depan rumah Eyang. Namun Bapak tidak. Bapak tak pernah kembali. Sampai kini.
 
Kata orang, tentara membunuh Bapak dan mengubur mayatnya di tengah hutan di kawasan selatan C ke arah N. Orang-orang juga bilang, Bapak mengajukan diri sebagai pengganti Ibu yang jadi target eksekusi. Entah dengan cara apa, Bapak mampu meyakinkan tentara bahwa membunuh Ibu sama saja dengan membunuh tujuh nyawa sekaligus: nyawa Ibu, nyawa Bapak, dan nyawa kita berlima.
 
Begitulah kejadian sesungguhnya. Kini, tak sepatutnya kau masih menyimpan dendam pada Bapak yang kauanggap telah menelantarkan keluarga kita. Kau keliru menilai Bapak tinggal glanggang colong playu ? lari, meninggalkan gelanggang – dengan memilih kematian ketimbang membiarkan Ibu terbunuh. Kematian Bapak sesungguh benar adalah alas bagi keselamatan kita. Tumbal bagi hidup kita.
***
 
AKU termangu seusai menonton film The Mass Grave Indonesia (2001) besutan sutradara Lexy Junior Rambadeta. Film itu mendokumentasikan penggalian kuburan korban pembantaian pasca-1965 pada 16 November 2000. Ke-21 jasad korban ditanam di satu liang di bawah pohon kelapa di Hutan Siturup, Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah.
 
Penggalian itu difasilitasi YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa atas permintaan Sri Muhayati, ahli waris salah seorang keluarga korban. Dalam film itu, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang pernah dijebloskan ke berbagai penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, menyatakan, “Pers Barat menyebutkan antara 500.000 dan sejuta orang dibunuh. Kata Domo dua juta. Dan Sarwo Edi yang menjalankan pembantaian itu atas perintah Harto mengatakan dengan bangga telah menghabisi tiga juta nyawa.”
 
Ingatanku melejing ke sosok Bapak, yang samar tergambar dalam benak. Benarkah dia merupakan salah seorang di antara korban pembantaian itu? Bukankah sebaiknya aku meminta tolong pada YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa agar merunut kuburannya? Lalu, berupaya menggali dan memindah kerangka Bapak agar bisa dikuburkan kembali secara semestinya?
 
“Jangan punya pikiran macam-macam, Mas!” ujar Ita, istriku.
Tiba-tiba saja dia telah berada di belakang punggungku. “Apa kau tak melihat resistensi yang muncul? Orang-orang mengaitkan penggalian jasad itu dengan kebangkitan komunisme segala. Ingat Kinan, Mas. Dia bakal menyandang tiga stigma sekaligus: beribu Cina korban pemerkosaan, berbapak keturunan komunis…”
 
Cina, pemerkosaan, komunis. Ketiga kata itu mendenging dalam kuping, merujing-rujing. “Kalau kau Cina, lantas kenapa?”
“Lantaran Cinalah yang membuat aku diperkosa bukan?”
“Dan, tuduhan komunis pada bapak dan ibuku? Bukankah tak pernah dibuktikan?”
 
“Jangan berlagak bodoh! Perlukah semua itu kaujelas-jelaskan pada setiap orang? Omong kosong! Aku bersyukur kau mau menikahiku. Siapa mau mengawini perempuan Cina korban pemerkosaan, jika bukan orang gila pula? Dan, kedua orang gila itu masih dilekati stigma tambahan: anak turun komunis. Anak kita, Mas,… tak perlu memikul beban warisan semacam itu. Terlalu berat bagi kita, terlalu menyakitkan bagi dia…”
 
Tiba-tiba Ita bangkit dan masuk kamar tidur, membiarkan aku sendirian menatap layar monitor yang berkeredip tanpa gambar. Sekilas kulihat dia menghapus air mata dari pipinya.
 
Aku tergeragap ketika mendengar tangis Kinan, anakku. Ah, haruskah aku mengubur impian untuk suatu saat bisa menziarahi pusara Bapak? Pusara yang benar-benar kuyakini sebagai persemayaman jasad bapakku? Bukankah penggalian kubur Bapak bakal melengkapi guratan sejarah keluargaku? Meski memang berisiko bakal mempergelap atmosfer kehidupan Kinan untuk tumbuh dan kembang secara sehat. Raga dan jiwa? Di negeri yang terus-menerus mewariskan kebencian, dendam, dan kekerasan ini? Negeri yang terus dibasahi darah yang tertumpah? Darah yang membarah?
 
Aku bangkit, bersijingkat memasuki kamar. Kulihat Kinan lahap menyusu sang ibu. Mata sipitnya berkedip-kedip lucu ketika aku hendak mencium pipinya. Jemari kecilnya menarik-narik rambutku. Saat itu, jauh di dasar hati, ada sesuatu yang terasa terenggut. Entah apa. Entah oleh siapa.
 
Aku tersadar, ternyata Ita menyusui sambil menahan isak. Aku tak tahan, keluar, ke pekarangan rumah. Merokok sembari mengeliarkan pandangan. Langit gelap, tanpa bintang. Hawa dingin menusuk tulang. Bakal hujan? Tengah malam?
 
Aku tergugu, terduduk di rerumputan. Ah, Kinan, Kinanti Gurit Wening, haruskah aku memperlebar kemungkinan bagi orang lain untuk merenggut kemanisan hidupmu? Kemanisan yang sesungguh benar masih berupa kemungkinan pula, Anakku?

Gebyog, akhir April 2009. http://sastra-indonesia.com/2010/03/langit-gelap-tanpa-bintang/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar