Friday, July 30, 2021

Koleksi yang Sunyi dan Pencuri

Agus Dermawan T.
Seputar Indonesia, 16 Des 2007
 
HILANGNYA sejumlah patung klasik koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, ternyata sanggup menciptakan kejutan yang menawarkan eskalasi ketegangan dan daya tarik. Kejutan pertama yakni ditemukannya sejumlah patung replika di museum itu.
 
Patung-patung tiruan tersebut diduga sebagai kamuflase atas sejumlah patung yang diperkirakan diraibkan. Kejutan kedua, ternyata dugaan itu benar. Sebanyak 11 patung klasik koleksi museum hilang! Kejutan ketiga, ternyata yang disangka dalang pencurian adalah Kepala Museum Radya Pustaka, KRHT Darmodipuro atau Mbah Hadi, yang kini berusia 69 tahun. Kejutan keempat, ternyata patung-patung itu telah dijual lewat seorang makelar.
 
Kejutan kelima, ternyata sebagian patung yang hilang itu ditemukan di kediaman Hashim Djojohadikusumo! Hashim adalah seorang pengusaha besar, putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, donatur museum itu. Kejutan keenam, menurut penjualnya, Dr. Hugo Kreijger, patung-patung itu diklaim sebagai milik Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono VIII Hangabehi yang dilego, dan ada sertifikat dari Keraton. Kejutan ketujuh, ternyata pihak Keraton merasa tak pernah mengeluarkan sertifikat, sehingga bisa dipatikan sertifikat itu palsu. Maka, lengkaplah peristiwa colong-mencolong ini untuk disebut “tujuh kejutan patung Radya Pustaka”.
 
Berawal dari Kesunyian
 
Bagi masyarakat luas, hilangnya koleksi benda-benda seni dari sebuah museum mungkin merupakan “berita besar” yang layak dimuati rasa penyesalan. Karena semua itu masuk dalam kategori kisah kriminal berplot eskalatif, bagai film Hollywood. Namun bagi masyarakat budaya, lebih spesifik masyarakat seni rupa museum Indonesia, raibnya aneka koleksi itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dimaklumi sebagai sesuatu yang akan gampang terjadi.
 
Kenapa? Karena museum di Indonesia, akibat dari kurangnya political will pemerintah, adalah sebuah institusi yang sejak jauh hari terposisikan sebagai anak tiri. Dengan posisi itu, sebuah museum akan hidup compang-camping dalam segala aspeknya. Dan sebuah institusi miskin, yang berarti tak mampu menyosialisasi diri, memfasilitasi diri, mengemas diri, menjaga diri, membanggakan diri dan mempromosikan diri, akan ditinggalkan banyak orang. Ketika semua meninggalkan, bukankah kesunyian pun datang? Kesepian sebuah museum adalah awal dari malapetaka.
 
Lantaran benda-benda seni yang berdiri kesepian di situ sungguh menggoda untuk disapa dan diajak jalan-jalan. Pun oleh pengelolanya sendiri yang ternyata juga butuh hiburan. Ada kabar, Museum Radya Pustaka hanya sanggup merengkuh 10–15 pengunjung sehari! Namun, kasus hilangnya koleksi museum milik pemerintah sesungguhnya sudah berbilang kali terjadi. Penyebabnya kira-kira sama saja. Dan ini dongeng lain dari dunia hilang-menghilang itu.
 
Koleksi Istana Presiden
 
Syahdan, dalam lelang Christie’s Singapura edisi 6 Oktober 1996 muncul lukisan Raden Saleh dan Basoeki Abdullah, yang ternyata milik Museum Nasional Indonesia. Setelah diselidik, dua lukisan itu hanyalah sebagian dari belasan lukisan koleksi Museum Nasional yang dicuri dan lantas dijual oleh “orang dalam” museum. Kenapa lukisanlukisan itu gampang dicuri?
 
Karena selama itu lukisan-lukisan tersebut cuma teronggok sepi di gudang. Pemerintah tidak memfasilitasi display agar publik umum bisa secara terbuka memandang-mandang. Kasus ini mengingatkan kita kepada beberapa lukisan Hendra Gunawan yang raib dari Museum Juang, Jakarta, hampir 20 tahun lalu. Dari cerita Museum Nasional dan Museum Juang itu kita segera dibawa ke panggung keriuhan politisi Istana Presiden belum lama ini. Para penasihat Presiden SBY sekonyong-konyong menurunkan ratusan lukisan berharga dari dinding gedung Binagraha, yang sejak 2005 digubah jadi Museum Seni Rupa Istana Presiden.
 
Konon karena gedung eks Binagraha itu akan dipakai sebagai kantor mereka. Koleksi peninggalan Bung Karno sampai Megawati itu lalu “dilempar” keluar dan disebar di empat Istana Presiden lain di daerah. Ah, begitu nista eksistensi Seni si anak tiri di mata politisi Indonesia. Kisah kediaman pelukis Belgia Le Mayeur de Merpres di Bali adalah contoh lain lagi. Rumah seni ini mulai dikunjungi orang sejak awal tahun 1950-an. Kedatangan para turis ke kediaman Le Mayeur bahkan merupakan berkah bagi Sanur, sehingga Sanur akhirnya menjadi pantai primadona.
 
Ketika Le Mayeur wafat 1958, Ni Polok, istri Le Mayeur, mengelola studio dan tempat tinggal suaminya resmi sebagai museum, dan jadi obyek wisata. Museum Le Mayeur berkibar harum berkurun tahun dan menjadi maskot wisata Bali. Ni Polok meninggal pada 1985. Pada tahun itu juga, tepatnya tanggal 28 Agustus, Museum Le Mayeur diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Banyak orang sudah memprediksi, marabahaya pelan-pelan akan mendatangi museum ini.
 
Dugaan itu benar. Sejak 10 tahun lalu Museum Le Mayeur cukup sengsara nasibnya. Puluhan lukisan sang maestro yang berharga puluhan juta sampai 3 miliar rupiah itu mulai lapuk. Bangunannya yang tanpa proteksi mulai rusak terancam angin laut. Menurut penjaga museum, pemerintah tak punya duit untuk membiayai perawatan. Lha harga tiketnya cuma Rp. 750. Dan lantaran tak ada promosi, dalam sehari paling banyak 15 orang yang mengunjungi. Penjaga museum pun kesepian. Persis seperti bendabenda seni di museum itu, yang merindukan perhatian dan “sapaan” orang.
 
Padahal, museum ini pada 50 tahun silam dipromosikan dengan susah payah, di antaranya,menurut catatan William AJ Vroegroep, dengan sebuah film berdurasi lima menit yang menceritakan Ni Polok menari di tepi pantai, dekat kediaman Le Mayeur. Film ini diputar berulang kali di sekujur Eropa, dan menjadi reklame luar biasa bagi Le Mayeur, Ni Polok, Pantai Sanur dan Pulau Dewata.
 
Ujung kalam, akankah koleksi Museum Le Mayeur sama nasibnya dengan koleksi Museum Radya Pustaka? Adakah koleksi museum-museum lain sama merananya dengan Museum Le Mayeur? Dan, akankah museum-museum di Indonesia menanti “kedermawanan” Pak Harto, yang meski sudah pikun ternyata tahu belaka nasib jeblok museum di negerinya?
***

*) Agus Dermawan T., Kritikus, penulis buku-buku seni rupa. http://sastra-indonesia.com/2011/04/koleksi-yang-sunyi-dan-pencuri/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar