Sunday, June 13, 2021

Moralitas (dan) Kepengarangan

Nelson Alwi *
riaupos.co
 
PENDAPAT mereka yang telah berhasil memberi arti keberadaannya bisa jadi pedoman dalam upaya memformulasikan alternatif-alternatif baru menyangkut hidup dan kehidupan. Atau, setidaknya akan memperluas cakrawala pengetahuan generasi penerus yang tengah menapak mencari (ke)jatidiri(an). Pengertian demikian, tak termungkiri telah mendorong banyak penulis mempublikasikan sebutlah memoar atau (auto)biografi, yang menghimpun gagasan, visi, misi, motivasi dan atau perjuangan publik figur dalam dan luar negeri.
 
Nah, pada gilirannya saya pun merasa terpanggil mengetengahkan catatan-catatan yang pernah saya buat cuplikan wawancara, ceramah serta riwayat hidup berisi proses kreatif yang diperoleh dari pelbagai sumber yang untuk sekian lama tersimpan di arsip pribadi. Adapun catatan-catatan dimaksud mendedahkan moralitas (dan) kepengarangan sejumlah tokoh terkenal yang berkecimpung di arena olah sastra Indonesia.
 
Mochtar Lubis mengungkapkan bahwa dalam berkarya ia lebih fokus pada wawasan sastranya sendiri, masalah sosial-kemasyarakatan serta kemanusiaan zamannya. Hasilnya, secara sadar atau tidak sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh pandangan hidup dan kepekaan hati nurani menangkap aktualitas persoalan-persoalan yang mengemuka.
 
Sedangkan Toeti Heraty menyatakan, eksistensinya membutuhkan kejujuran radikal dan posisi narsistik. Ia selalu bertolak dari berbagai kecemasan, karena merasa disingkirkan lingkungan ke sudut marginal. Rasa-rasa ini kemudian dikuasai oleh sarana pengaman yang lebih menonjol, dunia ilmu dan kepenyairan yang akhirnya, ternyata diterima khalayak.
 
Sementara N.H. Dini mengatakan, pengarang harus toleran terhadap alternatif bersikap yang diambilnya. Tersebab itu ia senantiasa berinisiatif mempertimbangkan segala sesuatu pengertian yang tidak terlalu berjarak dengan realita yang ada demi mencapai sasaran cerpen maupun novel-novelnya: masyarakat pembaca.
 
Tapi menurut Arifin C. Noer, yang penting ialah orientasi sastra itu sendiri. Orientasi dimaksud menyangkut arti serta guna sastra bagi manusia yang bermartabat demi hari depannya. Tak heran, pada gilirannya sebagian besar lakonnya ia stempel sebagai remah-remah masa silamnya, digantikan karya-karya yang ia pandang lebih dan semakin perkasa.
 
Melalui puisi, prosa atau drama W.S. Rendra berkomitmen merefleksikan kehidupan yang dihayatinya. Semua anak bangsa punya hak serta kewajiban untuk ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Justru itu, ia melawan feodalisme dan memberontaki kepincangan-kepincangan yang terjadi di sekitarnya untuk kembali ke asas yang dianut bangsa: demokrasi.
 
Rada-rada senada dengan itu, Chairul Harun menuturkan bahwa cerita-ceritanya bertujuan mengontrol kasus penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi, kemunafikan, penipuan terhadap diri sendiri dan persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan lainnya. Tak pelak, karya sastra ia tahbiskan sebagai cermin diri dan masyarakat, di mana pembaca juga bisa mengenal diri maupun masyarakatnya.
 
Dalam pada itu Kuntowijoyo mengingatkan perlunya sastra transendental. Sastra transendental adalah kesadaran balik melawan arus dehumanisasi dan subhumanisasi. Untuk itu, yang pertama-tama harus dilakukan ialah melepaskan diri dari aktualitas yang dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan yang mengakibatkan umat manusia tercerabut dari autentisitas peradaban dan atau eksistensinya.
 
Sementara Gerson Poyk meyakini bahwa sastra adalah sebuah alternatif bagi kesadaran ketika menghadapi dunia yang semakin penuh beban. Namun sastra harus ditinjau dari kadar atau tingkat integritas dan intensitas artistik yang diusungnya. Karenanya, sastra mesti terbuka untuk refleksi-refleksi Barat yang etis-moderat, agar aktivitas berlabel sastra tidak bersifat absolut kayak sastra LEKRA.
 
Laiknya seorang penyair yang tengah kasmaran menggarap puisi, Taufiq Ismail mengintroduksi kepiawaiannya memainkan kata-kata (bersayap) dan atau berargumentasi. Secara lugas ia mengisyaratkan bahwa urusan syair-menyair bagaikan berdiri di depan cermin goyang; sosok yang terpantul dari cermin ikut bergoyang serta tidak dapat diraba atau diajak ngomong.
 
Idiom paradoksal yang nyaris niskala nyatanya juga mencuat alias tersirat dari perumpamaan yang ditaja oleh seorang novelis seperti Putu Wijaya. Perihal karang-mengarang baginya bahkan jadi begitu menukik mendalam lagi aneh; ibarat menggorok leher sendiri dan atau siapa saja, tetapi tidak menyakiti bahkan kalau bisa tanpa diketahui oleh yang bersangkutan.
 
Lain pula dengan Leon Agusta, yang selalu merasa digerakkan oleh suatu panggilan buat mencipta. Tetapi ia menyadari, karyanya menjelma setelah adanya semacam rentangan benang-benang pengalaman yang saling menjalin. Kalaulah kehadiran puisi atau prosanya punya hubungan tertentu dengan sebuah konsep maka itu hanyalah merupakan faktor kebetulan belaka.
 
Dan persoalan yang kurang lebih sama seolah-olah dipertegas oleh Budi Darma, yang secara terang-terangan mengemukakan kekonvensionalannya. Bahan-bahan karangan, disadari atau tidak telah ada dalam benaknya sebelum dituliskan. Saat menulis bayang-bayang atau kejadian-kejadian sekian tahun yang lalu muncul begitu saja ke permukaan dan berkelojotan, mencari bentuknya.
 
Sedangkan Darman Moenir mengungkapkan, sungguh tak terbilang banyak momen yang bersumber pada suasana (alam) maupun lingkungan (pergaulan) yang membuat ia terangsang untuk berfantasi, dan itu harus diseleksi secara ketat. Karena menurutnya menulis karya sastra membutuhkan penalaran, inspirasi, kemauan serta imajinasi dalam mengonkretkan (ke)hidup(an) yang serba abstrak.
 
Bicara tentang kepenyairannya Rusli Marzuki Saria menengarai, meski merasa dikejar-kejar waktu dan atau dihantui kompleksitas keinginan manusiawi yang berwarna-warni, ia terus belajar, berkontemplasi dan bergulat mengasah kemampuannya. Membuat puisi toh ada suka-duka atau seninya, namun yang paling utama ialah ketekunan serta kesetiaan menggeluti apa yang telah menjadi pilihan hidup.
 
Adapun Umar Kayam justru mensinyalir bahwa pada mulanya, menulis adalah semata-mata menyangkut kemauan yang pribadi sekali sifatnya. Masalah determinasi, dan selanjutnya, apa saja boleh ikut terjadi. Dalam bahasa lain, perihal kepengarangan seseorang tak perlu diutik-utik, sebab kreativitas maupun produktivitas dalam berkarya sama afdalnya dengan situasi kemandekannya.
 
Dan dalam salah satu orasinya Subagio Sastrowardoyo menganalog(i)kan proses mengarang tak ubahnya dengan pengalaman seks atau pengalaman mistik, yang harus dirasakan dan dihayati secara individual untuk benar-benar dapat meyakinkan nikmat atau hambarnya. Pengalaman sejenis (mengarang) boleh jadi dialami oleh banyak orang, tapi intensitas serta cita-rasanya niscaya akan berbeda, tergantung kualitas kepekaan dan kedewasaan masing-masing pribadi yang menjalaninya.
 
Tak terbantahkan, bahwa yang mendasari aktivitas dan atau profesi mengarang adalah kemandirian seorang pengarang. Individualisme murni, yang tak bakalan disertai bayangan atau pengaruh apa dan dari siapapun kecuali ingin berlaku jujur terhadap diri sendiri. Soal penyajian tema, penggarapan tokoh, pemilihan diksi, pembentukan alur berikut lain sebagainya, jelas, merupakan sisi tersendiri yang seyogianya dapat meyakinkan pembaca.
***

*) Nelson Alwi, Pencinta Sastra Budaya, Tinggal di Padang /15 Januari 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/01/moralitas-dan-kepengarangan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar