Thursday, June 17, 2021

D.N. Aidit dan Sastra (Sajak Pamflet Sang Ketua)

D.N. Aidit berhasrat juga menjadi penyair. Tapi puisinya pernah ditolak HR Minggu
 
majalah.tempointeraktif.com
 
TELEPON kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta Pusat, meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia, mencari “orang yang bertanggung jawab” atas seleksi puisi di HR Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan Harian Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan, redaktur yang memang ditugasi menyeleksi kiriman puisi.
 
“Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?” terdengar Aidit di seberang telepon.
“Sudah.”
“Jadi, dimuat dalam edisi besok?”
Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, “Tidak.”
“Maksudnya?”
“Ya, tidak dimuat.”
“Mengapa tidak dimuat?”
“Menurut saya, belum layak dimuat.”
Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.
 
Amarzan, ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali berdering, masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya apakah benar Amarzan menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan membenarkan.
 
“Bung yakin akan pendapat Bung?” Njoto bertanya.
“Yakin.”
“Tak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?”
“Tidak.”
“Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung.”
 
Plong. Tadinya ia menyangka Njoto bakal memaksanya memuat sajak-sajak Aidit itu. “Jika itu terjadi, saya akan keluar,” katanya mengenang “insiden telepon” itu, tiga pekan lalu. Ketika itu, gajinya Rp 525 per bulan, cukup untuk makan dua pekan di masa beras sulit dan apa-apa harus mengantre.
 
Menurut Amarzan, kini 66 tahun, ia menolak puisi Aidit justru karena ingin menyelamatkan “martabat” sang Ketua. “Puisinya sejenis puisi poster,” katanya. Sayang, Amarzan lupa puisi Aidit mana yang ia tolak ketika itu.
 
Aidit lumayan banyak menulis puisi, dari 1946 sampai 1965. Sajak-sajaknya hampir seluruhnya berisi puji-pujian kepada partai, atau anjuran revolusi, bahkan dalam sajak yang sangat personal sekalipun. Selain di Harian Rakjat itu, sajak Aidit kerap muncul di Suara Ibukota, sebuah koran politik Jakarta yang diasuh seorang aktivis PKI, Hasan Raid.
 
Aidit menggunakan puisi sebagai media untuk berkomentar atas peristiwa aktual yang ia lihat dan dengar, dengan gaya menyeru dan berpe_tuah. Sajak-sajak di kedua koran itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam antologi Lumpur dan Kidung.
 
Baca, misalnya, sajaknya Raja Naik Mahkota Kecil, yang ditulis pada 23 Juni 1962 untuk menyindir pengangkatan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, menggantikan Jenderal Abdul Harris Nasution.
 
Udara hari ini cerah benar pemuda nyanyi nasakom bersatu gelak ketawa gadis remaja mendengar si lalim naik takhta tapi konon mahkotanya kecil
 
Sajak empat kuplet ini ditutup dengan stanza: Ayo, maju terus kawan-kawan/ Halau dia ke jaring dan jerat/ tangkap dia dan ikat erat/ hadapkan dia ke mahkamah rakyat!
 
Atau baca: Yang Mati Hidup Kembali, yang ditulisnya pada 14 Februari 1961, sebulan setelah Patrice mery Lumumba, pemimpin gerilya rakyat Kongo, mati dibunuh agen rahasia Amerika, CIA. Butir-butir airmata membasahi koran pagi/ Orang hitam berhati putih itu/ dibunuh siputih berhati hitam!
 
Aidit sendiri pernah sekali menulis pada 1964 bahwa sastra itu harus bertanggung jawab, berkepribadian nasional, dan mengabdi kepada buruh dan rakyat. Kredo ini menjadi semacam tren yang dianut para penulis “berhaluan kiri”. Amarzan, sebagai redaktur HR Minggu, secara pribadi menganggap puisi tak selalu harus begitu. Ia sendiri, sebagai penyair, bisa saja menulis puisi tentang cinta, kebimbangan, bulan, dan laut.
 
Tak hanya Amarzan yang menganggap puisi-puisi Aidit jelek. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga berpendapat demikian. Bekas pejabat PKI itu mengenang, ia sering dikirimi sajak oleh Aidit untuk dimintai pendapat. Tapi laki-laki yang masih gesit di usia 78 tahun itu mengaku tak pernah menggubrisnya. “Buat apa? Jelek,” katanya. Hay Djoen sendiri menulis prosa memikat dengan nama samaran Ira Iramanto atau Samandjaja.
 
Sobron Aidit?adik D.N. Aidit -sekali waktu pernah bercerita bahwa abangnya sesungguhnya mengagumi sajak-sajak Chairil Anwar. Chairil dan Sobron pada 1949 pernah satu kos di Jalan Gondangdia Lama Nomor 2, Jakarta Pusat. Mengetahui adiknya berkawan dengan penyair terkemuka Indonesia itu, Aidit membual: “Chairil itu, kalau masih hidup, pasti berpihak pada PKI, meski tak mau jadi PKI.”
 
Sobron sendiri saat itu kerap mengirim cerpen ke beberapa koran dan majalah sastra. Aidit kerap mengkritik cara adiknya itu menulis. “Abangku ini ternyata banyak tahu soal-soal teori sastra mutakhir,” tulis Sobron dalam Aidit (2003). Aidit kemudian kerap meminjamkan buku-buku penulis Rusia seperti Tolstoi, Dostoyevsky, dan Chekov kepada Sobron.
 
Barangkali menulis puisi, bagi Aidit, hanya semacam gaya seorang pemimpin partai. Sebab, banyak pemimpin partai komunis di Asia yang pandai menulis sajak. Mao Zedong menulis sajak. Ho Chi Minh malah punya kumpulan sajak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa, Prison Diary. Para pemimpin PKI lainnya -Njoto, Sudisman, Alimin, dan M.H. Lukman -juga menulis sajak.
 
Ketika tersebar kabar Aidit meninggal, 23 November 1965, Mao Zedong menulis sajak belasungkawa yang dimuat di sebuah koran Tiongkok, yang terjemahan Indonesianya kira-kira:
 
Di jendela dingin berdiri reranting jarang beraneka bunga di depan semarak riang apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama di musim semi malah jatuh berguguran.
 
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/dn-aidit-dan-sastra-sajak-pamflet-sang-ketua/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar