Thursday, May 6, 2021

SUATU MALAM DI NDALEM KIAI SUTARA

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Pada suatu senja, menjelang berbuka puasa di sebuah masjid, datanglah orang asing. Dengan tenang, ia menghembuskan asap rokoknya di antara orang-orang yang tengah kehausan menunggu datangnya waktu berbuka. Si orang asing menghabiskan rokoknya, lalu menghempaskan puntung rokoknya itu ke tanah. Orang-orang yang menunggu waktu berbuka memandangnya kurang suka. Diam-diam di dalam dada mereka mengutuki orang asing tidak sopan, dan tidak puasa.
 
Tak lama kemudian, suara penanda berbuka puasa berbunyi. Orang-orang yang berpuasa buru-buru meneguk es teh atau minuman segar lainnya. Setelah itu, masing-masing pulang. Lalu memakan makanan yang terhidang di meja dengan selahap-lahapnya. Semua jenis makanan tersedia.
 
“Lalu apa gunanya kalian berpuasa jika kepribadian kalian tidak berpuasa? Jika urusan makan dan minum hanya berganti waktu saja?” tanya Kiai Sutara mengakhiri ceritanya.
 
“Ampun, Kiai. Lalu bagaimana dengan orang yang justru tidak berpuasa tadi?” tanya saya.
 
“Goblok! Sebagai santri, kamu harus menyadari kegoblokanmu. Ingat, kalau kamu pintar dan baik, yang akan dipuji adalah dirimu atau orang tuamu. Tapi kalau kamu guoblok, maka yang akan dihina dan dicaci-maki adalah kiaimu. Jadi rubah cara pandang keagamaanmu yang sontoloyo itu. Sebab tidak mudah jadi kiai. Kiai yang sejati itu, kalau ada manfaatnya yang luar biasa, bayarannya hanya terima kasih atau sedekah seadanya. Tapi kalau ada santri goblok kayak kamu, orang akan mengutuk kiainya, dianggap gak becus mendidik santrinya. Tidak gampang jadi kiai. Apalagi jadi nabi, gak gampang! Jadi kalau ada orang yang ngaku-ngaku nabi, suruh ke sini, saya akan perkenalkan sama kamu yang serba goblok dalam memandang kehidupan, saya jamin akan rontok rambutnya! Hahaha!” Kiai Sutara tertawa. Giginya terlihat putih dan tidak rapi.
 
“Ampun, Kiai. Lantas bagaimana seharusnya memperlakukan orang tidak puasa?”
 
“Mau apa kamu? Sudah biarkan saja. Kamu mau puasa terserah kamu, orang lain gak puasa juga terserah dia. Agama itu kepribadian, pakai dan tegakkan sendiri dalam hidupmu.”
 
“Baik, Kiai.”
 
“Pengertian tiap orang itu berbeda. Keimanan tiap orang pun tidak sama. Mau beriman atau tidak beriman, serahkan saja sama pilihan masing-masing. Bahwa yang penting adalah sikap kemanusiaanmu.”
 
“Apakah Tuhan tidak murka sama orang yang tidak beriman, Kiai?”
 
“Santri dengkul! Memang susah memasukkan ilmu pada santri dengkul kayak kamu. Apalagi gak punya “akhlak ilmu”. Ilmumu gak ada apa-apanya, akhlak ilmumu pun gak ada. Kepribadianmu rendah. Kau merasa serba salah, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya kau banyak melakukan kesalahan. Ingat, santri dengkul. Tuhan seperti apa yang kamu imani sampai pakai marah-marah sama makhluk-Nya?”
 
“Tuhan menurut agama yang saya anut, Kiai.”
 
“Lempar sandal mulutmu tahu rasa!”
 
“Ampuuun, Kiai.”
 
“Dengar baik-baik. Pasang kepalamu. Bukan dengkulmu! Menimba ilmu modal dengkul dan rokok, ya kayak kamu itu. Susah jadi manusia. Ada Tuhan-sejarah, yang lalu menjelma Tuhan-bahasa. Tuhan-sejarah itu diurai dari sudut pandang, pikiran, dan fakta-fakta yang diungkap huruf, penanda, dan kaidah. Tuhan yang terjebak dalam sejarah, dalam bahasa manusia.”
 
“Apakah bahasa sebagai alat komunikasi selamanya dapat menegakkan sesuatu yang mutlak dari kehendak dan keinginan manusia dalam perikatan sosialnya? Ketika hidup belaka dimaknai keberkuasaan terhadap yang lain, ikatan sosial itu menjadi rawan. Orang gemar memperkarakan sesuatu yang tak penting dan menyeretnya pada keadaan yang genting. Dunia yang lebay.”
 
“Dalam sejarah, orang tiada henti mengulang-ulang kekejian terhadap kemanusiaan atasnama Tuhan dan agama. Tuhan yang dipuja-puja dalam sejarah selalu luput dari rengkuhan manusia dalam perang, bahagia, bahkan derita. Toh benturan dan chaos tetap terjadi. Bahasa perihal Tuhan, seringkali terjebak "perseteruan" tiada akhir, sejak "transendensi"-nya Habermas hingga "imanensi"-nya Marx dan sang konstruktivis Gilles Deleuze. Sampai di sini, apakah kepalamu masih berada di tempatnya, santri modal dengkul?”
 
“Ampun, Kiai.”
 
Sebagai santri, saya tak berkutik di hadapan Kiai Sutara. Tidak ada pilihan lain selain mendengarkan beliau dhawuh. Sebab saya akui kedengkulan saya sendiri. Kiai Sutara meneguk kopi pahitnya yang kental. Lalu menghempaskan asap rokok dari bibirnya yang tebal kehitaman. Suara-suara surau malam itu terdengar sayup di telinga saya.
 
“Santi modal dengkul tidak akan sampai pada kedalaman. Sebab akhlak ilmunya gak dipakai. Sehingga hanya pandai mengembik kayak kambing. Hahaha!”
 
“Ampun, Kiai.”
 
“Dengar, santri! Pasang telingamu sebelum telinga itu diminta pertanggungjawabannya.”
 
“Baik, Kiai.”
 
“Lalu manusia menanti, juga mencari apa yang tak mungkin selesai. Di tengah setiap penantian dan pencarian sejarah, manusia bercakap-cakap perihal yang dinanti. Tapi ketika komunikasi yang dihantarkan bahasa mengalami keruntuhan, di situlah chaos. Samuell Beckett menulis sebuah dramanya yang mashur "Waiting for Godot". Mungkin ia mau tanya; kenapa Tuhan gak datang dalam penantian-penantian manusia yang panjang, absurd, dan membosankan? Di sisi itu, bahasa tak menjadi mutlak dalam menegakkan kesepakatan atau kehendak-kehendak manusia. Sedang Tuhan yang kamu jelaskan melalui bahasa dan sejarah, tegak dengan keanekaragaman dengan ribuan perbedaan yang mengherankan. Dan bahasa tentang-Nya seringkali memancar bias makna, gampang dibawa dan dipakai ke mana saja dan apa saja. Itu menjadi bukti, betapa rapuh bahasa di hadapan-Nya. Hal ini meniscayakan, bahwa wahyu sejatinya membutuhkan tafsir yang tidak tunggal. Agar manusia menyiasati perjalanan hidup dalam setiap khazanah ruang dan waktu yang selalu berubah, yang kontekstual.”
 
Kiai Sutara melanjutkan dhawuhnya bersama asap rokok yang terus mengepul nikmat dari bibirnya.
 
“Tuhan-sejarah dan kemudian terdefinisikan dalam Tuhan-bahasa, mengharuskan kearifan. Itu puncaknya ilmu, yakni kearifan yang menjelma perilaku yang baik yang memegang teguh nilai kemanusiaan. Sehingga pelbagai ketentuan perihal Tuhan tak menciptakan benturan dan pertentangan dalam segala perbedaan.”
 
“Sejarah, juga bahasa yang menjadi penanda puncak kebudayaan umat manusia, tak mungkin meraih-Nya. Tapi sifat kasih-sayang, cinta, dan kedamaian adalah "bahasa universal" untuk mengenal-Nya, mengarifi-Nya dalam kebersamaan yang hangat dan mesra. Tanpa itu, Tuhan dan agama cuma menjadi alasan perpecahan, kebencian, kecurigaan-kecurigaan, segudang tuduhan, ketegangan sosial yang tidak penting dan percuma! Dalam khazanah Islam, mengarifi-Nya berpulang pada diri. Kesadaran terhadap diri yang tiada daya dan upaya, yang daif dan penuh kekurangan, akan membawa pada kearifan seorang manusia beserta segala perangkat sosial-sejarah yang melekatinya. Inilah “man arafah nafsahu”. Ia terampil melampaui segala perbedaan dan pertentangan demi meraih kebersamaan dalam kasih-sayang dan kedamaian. Mengarifi-Nya dengan segala ilmu dan pengertian memulangkan seseorang pada ketaksanggupannya meraih-Nya, sebab Dia "la-harfin wa la-shautin" (tak berhuruf tak bersuara). Ini, dalam khazanah Islam, disebut "arif billah" (mengenali Tuhan) yang menyimpan keharusan mengarifi atau mengenali kemanusiaan dengan cinta dan kasih-sayang.”
 
Terdiam sejenak. Asap rokok yang wangi. Kiai Sutara meneguk kembali kopi pahitnya.
 
“Apa kepalamu masih di tempatnya?”
 
“Ampun. Masih, Kiai,” jawab saya gugup.
 
“Hahaha!”
 
Kiai Sutara tertawa renyah dan putih sekali.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/05/suatu-malam-di-ndalem-kiai-sutara/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar