Tuesday, May 11, 2021

PARAKITRI DAN KHO PING HOO

Jansen H. Sinamo
Kompas, 3 Juli 2005
 
Menurut Ali Sadikin buku Cucu Wisnusarman kumpulan kolom Parakitri T Simbolon memiliki nilai edukatif yang tinggi karena mengangkat dan menggambarkan secara baik realitas dan problem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Cucu Wisnusarman juga menjelaskan sebab-musababnya, yaitu kultur dan perilaku budaya yang masih didominasi oleh feodalisme, tingkat kesadaran masyarakat yang relatif masih rendah, dan struktur sosial-politik dan ekonomi yang tidak demokratis dan tidak adil. Jadi, Cucu Wisnusarman perlu dibaca oleh warga dan tokoh masyarakat, tak terkecuali para birokrat sipil dan militer, serta terutama generasi muda.
 
Saya pasti setuju dengan Bang Ali, namun selain itu, Cucu Wisnusarman juga sebaiknya dibaca oleh alumni Kho Ping Hoo karena di sini kita akan bertemu lagi, dalam format yang lebih segar, cerdas, dan kontekstual dengan ujar-ujar khas yang biasa kita temui dulu ketika membaca Kho Ping Hoo.
 
Apa kesamaan Parakitri dengan Kho Ping Hoo? Sedikitnya dua. Keduanya merupakan penulis produktif di bidang yang berbeda. Parakitri itu wartawan kondang, asal Samosir, juga kolomnis, dan pengarang. Sedangkan Kho Ping Hoo pengarang puluhan cerita silat, asal Solo, yang juga amat kondang.
 
Mereka berdua juga penganjur dan penghayat Kebijaksanaan Timur yang berbasis pada Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme dengan cara yang berbeda pula. Bagi Kho Ping Hoo, hal itu umumnya terlihat dengan sangat gamblang dan mencolok dalam semua kisah silatnya. Tapi bagi Parakitri, hal itu khususnya tampak secara halus dan elegan melalui Cucu Wisnusarman. Untuk memastikan hal itu, saya membaca ulang Pedang Kayu Harum (PKH, 49 jilid), salah satu komik legendaris Kho Ping Hoo, serentak dengan Cucu Wisnusarman edisi terbaru.
 
Karya-karya Kho Ping Hoo saya baca di zaman SMP-SMA awal 70-an, sedangkan Cucu Wisnusarman saya baca ketika menjadi mahasiswa pada akhir 70-an sampai awal 80-an, yang terbit sebagai serial kolom di Kompas kala itu. Kini dalam bentuk buku, Cucu Wisnusarman tampil lengkap dan kompak. Tak pelak lagi, roh PKH dan Cucu Wisnusarman memang Kebijaksanaan Timur tadi. Bandingkan misalnya dua kutipan saja. Kho Ping Hoo: ”Siapa mendekati nikmat dan menjauhi derita takkan dapat merasai bahagia ” (PKH j. 18, h. 40). Parakitri: ”Kamu tampak gembira sekali, cucu degil,” sambut si Kakek begitu cucunya tiba. ”Oleh karena itu, bersiaplah untuk sedih.” (Cucu Wisnusarman h. 7). Dan ratusan kalimat bijak begini bertaburan dalam kedua buku.
 
Untuk berkotbah, Kho Ping Hoo suka memakai mulut Ketua Perguruan Silat Siaw-lim-pai atau Kun-lun-pai. Kadang, meminjam mulut tokoh aneh semacam Siaw-bin Kuncu (Budiman Berwajah Ramah). Dan terutama melalui dialog dan renungan batin Cia Keng Hong, sang protagonis utama, pewaris Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), pemilik tunggal ilmu mujizat Thi-khi-i-beng (Mencuri Sukma Memindahkan Nyawa), dan maestro dua ilmu silat paling sakti di dunia kangow: San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan Thai Kek Sinkun (Ilmu Sakti Kakek Tiada Tanding). Kedua ilmu terakhir ini kelasnya bagaikan Teori Relativitas dan Teori Kuantum dalam fisika yang cuma bisa dikuasai tuntas para fisikawan kelas atas saja.
 
Di fihak lain Parakitri memakai dua mulut bijak: Wisnusarman dan Laotan. Dan tentu, para Cucu Wisnusarman yang banyak itu: mahasiswa, petani, pilot, guru atau siapa saja. Tema dialog-dialog Cucu Wisnusarman sendiri klasik, intinya, menentang kejahatan, mengolok-olok fanatisme, mengejek sloganisme, membuka kedok dogmatisme, seraya menertawakan kedangkalan, kebodohan, dan kemunafikan.
 
Ciri utama dialog para tokoh dalam Cucu Wisnusarman cerdas, tajam, dan filosofis. Di jantungnya, terkandung ajaran-ajaran mulia, yang jika dikalimatkan ulang, beberapa ajaran itu bisa berbunyi: (a) Teruslah belajar agar mengerti hakikat manusia dan faham tabiat alam semesta; (b) Kebenaran itu berwajah banyak, maka gunakanlah nalar dengan baik dan teruslah mencari jejaring sebab-akibat ke segala penjuru sehingga wajah kebenaran semakin tersingkap; (c) Manusia bukanlah jabatan atau gelarnya, bukan pula keinginan atau cita-citanya, tetapi apa yang dikerjakannya sesuai jati dirinya, maka mengenal diri adalah permulaan kebijaksanaan; (d) Hidup itu bagaikan musim, datang silih berganti, begitu juga status dan jabatan, tiada yang tetap; maka janganlah bersikap mentang-mentang.
 
Bandingkan dengan Kho Ping Hoo misalnya: (a) Manusia utama mencari kebenaran, manusia rendah mencari keuntungan; Manusia utama menyayang jiwanya, manusia rendah menyayang hartanya; Manusia utama ingat akan dosa-dosanya, manusia rendah ingat akan jasa-jasanya; Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, manusia rendah mencari kesalahan orang lain. (PKH j. 21 h. 50); (b) Selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana, jalan langit lebar dan luas, biar jarang namun tiada yang bocor. (PKH j. 21 h. 35).
 
Ciri khas Cucu Wisnusarman yang lain ialah menggugat, memecahkan kebekuan nalar, liar, serta lucu bukan main. Kita bisa terhenyak campur geli misalnya dalam ”Siapakah Batak?” (h. 197); atau tersedak oleh plesetan ungkapan ”Hati boleh panas, tapi mata jangan melotot.” (h. 10). Atau tertohok oleh ini: ”Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, silakan masturbasi bersama di lapangan. Bila perlu buka baju. Orang lewat, acuhkan. Tak usah ragu, inilah obat mujarab pembebasan.” (h. 243). Dijamin, tak ada pornografi di sini, dan dijamin pula Anda pasti ketawa sampai puas.
 
Sekali lagi, Cucu Wisnusarman pas menjadi bacaan lanjutan bagi para mantan penggemar Kho Ping Hoo untuk bermenung, kadang bingung, tertawa, dan menjadi bijak. Bisa sebijak apa? Tergantung! Jika Anda membawa gentong maka segentong pula bijak yang diperoleh, tapi jika cuma bawa centong, ya secentong pula bijaknya.
 
Menurut Daniel Dhakidae yang menulis epilog buku ini Anda perlu mengosongkon diri dari ilmu-ilmu Anda untuk memahami pesan-pesan Cucu Wisnusarman. ”Singkirkan purbasangka. Jangan curigai kapitalisme. Jangan terlalu ingin disebut radikal, jangan malu disebut konservatif. Jangan malu disebut ’maling’, jangan bangga disebut ’pahlawan’, apalagi ’intelektual dan budayawan’. Baru setelah itu, buka bukunya dan coba simak apa yang bisa diperoleh dari buku ini.” katanya lagi. Jadi, selain daripada yang disebut Bang Ali di atas, buku ini pun baik juga menjadi konsumsi lulusan sekolah filsafat yang faham pikiran Foucault, Erasmus, Nietsche, atau Fuentes.
 
Apakah berarti Cucu Wisnusarman cocok buat semua golongan? Tunggu dulu! Lebih baik bertanya pada penulis. Ditujukannya buat siapa Cucu Wisnusarman ini? Dan dengarlah kata Parakitri, “Saya menulis Cucu Wisnusarman pada saat paling gelap dalam mempertahankan keutuhan nurani. Saya tak boleh merasa pahit terus-terusan. Saya harus memiliki wilayah bebas, betapa sempit pun, di tengah keadaan yang serba mengekang itu. Untuk itu saya perlu mengerti duduk perkara, bukan sekadar isyu. Hanya dengan itu saya dapat tetap setia pada persoalan dasar sekaligus berlapang dada terhadap kekurangan dan keterbatasan berbagai pihak. Begitulah Cucu Wisnusarman menjadi liang perlindungan sekaligus langit pengharapan dan penjelajahan baru.” (h. ix).
 
Ternyata Cucu Wisnusarman tak ditujukan buat siapa-siapa. Penulis hanya memaksudkankannya buat dirinya pribadi yang sedang bergumul dengan berbagai masalahnya sendiri. Kalau toh ada juga pembaca yang ikut-ikutan mendapat manfaat, tertawa lalu menjadi bijak, bahkan mampu berlapang dada terhadap kekurangan dan keterbatasan berbagai pihak, itu namanya unintended consequences. Dan barangkali ini pun gaya Tao seorang Parakitri ”Wisnusarman” Simbolon.
 
Selain karena sejumlah salah cetak yang cukup mengganggu bagi pembaca teliti — maklumlah, Cucu Wisnusarman merupakan produksi perdana Penerbit Nalar, namun karena sudah membaca Cucu Wisnusarman mudah-mudahan Anda mampu berlapang dada seperti Parakitri — keseluruhan dialog dalam Cucu Wisnusarman tetaplah seru dan segar seperti juga komik-komik Kho Ping Hoo.
***

http://sastra-indonesia.com/2021/05/parakitri-dan-kho-ping-hoo/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar