Tuesday, May 11, 2021

Kristenisasi dalam Sastra Anonim Kejawen

Arif Wibowo *
islampos.com
 
MENJADIKAN Islam sebagai bahan olok-olokan adalah ciri utama dalam serat Darmagandul, sebuah sastra anonim yang ditulis saat abad Misi, sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik kristenisasi berjalan sangat intens.
 
Istilah-istilah kunci dalam agama Islam, diputar balikkan maknanya oleh Darmagandhul dengan metode othak-athik gathuk seperti istilah sadat sarengat (syhadat dan syari’at) di artikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya berdiri), tarekat itu taren kang estri (mengajak istri bersetubuh), sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah Arab.
 
Dallikal, yen turu nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi, tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala (Darmagandhul).
 
Dzalikal : jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit), kitabu la: kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi: perempuan yang pakai kain, hudan : telanjang (wuda), lil muttaqien : sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita (diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam Islam dan Kebatinan, hal. 17)
 
Selain Darmagandul, juga ada serat Gatoloco, dimana dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul.
 
Seperti kata Allah diartikan ala, yang rupanya jelek, yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki, sedangkan naik haji ke Mekah diartikan sebagai proses persetubuhan dimana poisisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967 : hal. 9-39). Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830.
 
Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut. Karenanya, untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam paksa mengharuskan para menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda.
 
Untuk menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati mejadi ningrat, dengan syarat para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013 : 12).
 
Belanda menangguk untuk yang besar dengan politik tanam paksa ini, utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.
 
Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi juga orientasi spiritualnya.
 
Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995 : 56).
 
Benih-benih sentimen anti Islam pun muncul. Para priyayi tersebut menganggap peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam adalah kesalahan peradaban dan kunci modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern a la eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa.
 
Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje. Menurut Snouck, dengan penetrasi pendidikan model Barat pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi.
 
Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, membuat para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab, 1998 : 86).
 
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam.
 
Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).
 
Pemilihan Kejawen dan bukan Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan pandangan masyarakat Jawa tentang kekristenan yang pada umumnya identik dengan penjajahan dan kesengsaraan rakyat banyak.
 
Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan londo wurung jowo tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa), lali jawane (orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan sebagainya.
 
Mereka juga sering dijuluki toewan gendjah (tuan yang belum matang) (Aritonang, 2006 : 99). Agar tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs,
 
“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, bilakan ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen. Bupati tersebut menjawab, “Ah, ….. sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan dariapada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012:52)
 
Sastra Kejawen, Penginjilan Jalan Memutar
 
Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupaka ketua di Nederland Bijbelgenootschap.
 
Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). pada 27 Februari 1832. Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007 :127).
 
Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa.
 
Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu.
 
Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 : 7-9). Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum, pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Erward Said, dalam magnum opusnya, Orientalisme.
 
Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si pelacur, tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert.
 
Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya. (Said, 2010 : 8) Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di Eropa.
 
“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halusm mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998 : 96).
 
Dan arah dari sastra anonim seperti Darmagandhul ini, Susiyanto, dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmagandul, menunjukkan beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.
 
“Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi,Isa Rahu’llahu.”(Anonim, 1955:6) yang artinya “Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah.”
 
”Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ….”(Anonim, 1955:93), yang artinya, “Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, nasrani)”.
 
Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX yang didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad- oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka.
 
Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan, dengan hukuman tubuhnya terus menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek. (Said, 2010 : 101-102).
 
Penutup
 
Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmagandul maupun Gatoloco masih terus direproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak.
 
Perbenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut, menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono.
 
Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995 :xxii).
 
Namun, sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan, menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal, ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya.
 
Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin, sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen.
 
Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg, Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.
 
Daftar Pustaka:
Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung : Mizan, 1998)
Anonim, Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri : Penerbit Tan Khoen Swie, 1955)
Erdward Said, Orientalisme, Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010).
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)
H.M. Rasjidi, Prof. Dr, Islam dan Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967)
Jans Aritonang, Pdt. Dr, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006)
Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan, 1995)
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013)
Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 20017)
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995)
Susiyanto (Tesis), Misi Kristen dan Orientalisme dalam Serat Darmagandhul, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010).
Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997).
***
 
*) Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI), rifwibowo@yahoo.com
http://sastra-indonesia.com/2016/03/kristenisasi-dalam-sastra-anonim-kejawen/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar