Monday, May 31, 2021

Ketika Gerimis Jatuh

Sapardi Djoko Damono *
Koran Tempo 11/05/03
 
Gadis kecil itu berpikir begini, nanti kalau ayah pulang kehujanan, kasihan. Tadi lupa bawa payung. Ia sendiri di rumah, seperti biasa. Pembantu bertugas mencuci dan menyeterika, selesai itu pulang-sesudah, tentu saja menyiapkan makan untuknya. Gadis kecil itu biasa dipanggil Rini. Lengkapnya, Satyarini Endah Kurnianingrum. Biasanya beberapa temannya di sekeliling rumahnya suka bermain macam-macam karena orang tuanya Rini suka membelikannya mainan, mulai dari alat masak-memasak sampai mobil-mobilan, meskipun dia anak perempuan. Hari ini gerimis turun sejak pagi, dan teman-temannya tidak ada yang datang. Tidak seperti biasanya waktu mereka teriuak-teriak, bekerjaran, atau nonton VCD dongeng anak-anak yang dibelikan orang tuanya untuk menemaninya sendirian di rumah, selalu saja ada temannya bermain.
 
Tapi hari ini gerimis jatuh sejak pagi, diselingi hujan agak deras sekali, dan gadis kecil itu sendirian saja di rumah. PR sudah selesai dikerjakannya, semua VCD sudah ditontonnya, semua mainan sudah membosankannya, maka dalam kesendiriannya ia tiba-tiba saja terasa rindu pada ayahnya. Nanti kalau ayah pulang kehujanan, kasihan. Ia lupa bawa payung. Ayahnya biasa pulang sekitar magrib, angkot nomor 105 yang dinaikinya berhenti di jalan seberang sana, tepat di sebuah pohon asam yang entah sudah beberapa puluh tahun umurnya. Penumpang biasa teriak asem, asem dan angkot pun berhenti tepat di bawah lindungan pohon yang rindang itu.
 
Keluarganya mendapat ruah perumnas beberapa tahun yang lalu, tepat di pinggir kompleks, berbatasan dengan kampung. Itulah sebabnya anak-anak yang suka main di rumahnya tidak hanya anak-anak perumnas-yang oleh sementara orang kampung dianggap gedongan-tetapi juga anak-anak dari kampung di depannya. Ibu dan ayahnya sama sekali tidak pernah mengatakan, jangan bergaul dengan anak kampung-seperti yang sering didengarnya dari beberapa tetangga jika anak mereka kelihatan bermain dengan teman-teman Rini.
 
Ibu Rini seorang pegawai Pemda, gajinya kecil dan praktis hidup dari uang rapat. Ia bisa pulang pukul tiga atau empat sore, tetapi sudah seminggu ini ia harus menjadi panitia penataran pegawai di luar kota, di daerah Puncak. Seandainya libur kau boleh ikut, Rin, kata ibunya sebelum berangkat. Gadis kecil itu membayangkan sebuah hotel di Puncak, sebuah kamar yang nyaman, dan pemandangan yang indah. Tapi ia harus sekolah, harus mempertahankan ranngkingnya yang lumayan tinggi. Dan lagi, ia suka ke sekolah, hampir tidak pernah bolos, hanya minta izin kalau sakit. Ia sayang pada guru-gurunya, juga kepada taman-teman sekolahnya.
 
Dan sore ini gerimis, yang sekali diselingi hujan, belum juga reda. Padahal ibunya, yang suka menjemput ayahnya, jika kebetulan lupa membawa payung, sedang diluar kota. Magrib hampir tiba. Kasihan Ayah. Ia akan kehujanan nanti. Lupa bawa payung. Anak itu pun mencari-cari sepatu hujan yang pernah dibelikan pamannya yang kerja sebagai wartawan, ini sepatu anak-anak jepang jika musim dingin tiba, katanya ketika kembali tugas dari negeri di utara itu. Negerinya Oshin, pikirnya. Paman itu tidak juga mau kawin meskipun suka didesak kakaknya, ibu gadis kecil itu, kau ini nunggu apalagi. Tampangmu tidak jelak-jelek amat, koranmu laku, gajimu besar. Dan gadis kecil itu cekikikan kalau lelaki lajang itu menjawab seenaknya, hla aku terlanjur sayang sama Rini, gimana? Ibunya kemudian menjewer kuping atau menabok kepala atau meninju perut adik satu-satunya yang sontoloyo itu.
 
Dan sebenarnya diam-diam itu beruntung juga adiknya belum kawin, ia suka menemani suaminya nonton bola di Televisi sampai larut malam kalau sedang ada Piala dunia. Masak indomie atau goreng pisang atau nyegat tukang sate yang suka sengaja dagang malam-malam kalau ada bola. Ayah gadis itu sangat diam sehingga isterinya sulit menebak apa suaminya sedang marah atau tidak. Tapi, dalam bayangan gadis kecil itu, hubungan antara ayah dan ibunya tidak pernah tidak beres. Mereka bertiga keluarga yang sederhana, tidak pernah macam-macam, dan menganggap masalah keluarga sebagai ajinomoto dalam kehidupan berkeluarga. Gadis yang pertengahan tahun ini akan naik ke kelas enam diam-diam menyayangi kedua orang tuanya meskipun tidak pernah meperlihatkannya secara berlebihan-itu mungkin watak yang diturunkan ayahnya.
 
Dan masih juga gerimis. Sesekali hujan. kasihan ayah, nanti basah kuyup. Nanti pilek lagi seperti tempo hari. Gadis kecil itu mulai gelisah. Ia pegang payung yang ia di bawa ayahnya. Di bukanya, lalu ditutupnya kembali. Dibukanya, diputar-putarkannya. Lalu ditutupnya kembali dengan sangat hati-hati. Di taruhnya dekat pintu depan. Ia membayangkan angkot yang berhenti di bawah pohon asam, gerimis masih jatuh, ayahnya turun, lari-lari berteduh di bawah pohon, lalu lari-lari menteberang lapangan yang tentunya sudah ditinggalkannya anak-anak yang main bola karena yang sudah hampir magrip. Ibunya tidak juga menelepon padahal biasanya jam-jam begini suka menelepon dari hotel menanyakan apa semua sudah makan, makan apa, atau menyuruh masak indomie jika ayah gadis itu tidak sempat beli makanan di jalan.
 
Gadis itu mulai merasakan sepi yang muncul dari sela-sela cahaya sore yang redup dan gerimis. Ia akhirnya berketetapan untuk menjemput ayahnya, membawakan payung untuknya. Ia tak mau melihat ayahnya selesma dan demam kalau kena gerimis senja. Ia lihat jam dinding, lalu langsung mengambil payung yang tersandar dekat pintu itu, keluar rumah setelah menutup pintu dengan hati-hati dan menguncinya. Beberapa kali dicobanya handelnya. Sudah aman terkunci.
 
Sambil melewati pagar tanaman rumahnya, payung itu dibukanya. Sepanjang jalan semakin terasa suasana sepi itu-rumah tetangganya ditutup, tampaknya mereka menyekap anak-anak agar tidak main. Lagi pula sudah dekat magrip. Sampai di ujung jalan perumnas tampak lapangan yang luas itu. Becek. Bekas anak-anak main bola, ada beberapa kubangan. Ia menghindarinya. Gerimis jatuh semakin deras. Ia berjalan sangat hati-hati, payung bergoyang-goyang, air menetes-netes dari pinggirnya. Ia suka butir-butir air itu, yang semakin lama semakin cepat tergelincir karena gerimis semakin deras. Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting-tetapi ini bunyinya lain. Di atas payung. Ia sayang pada gerimis, pada titik-titik air yang jatuh ke payung, pada butir-butir air yang tergelincir.
 
Untuk kesampai pinggir jalan yang ada pohon asam itu ia harus melewati turunan dulu, yang sekarang berubah menjadi selokan dangkal, lalu menaiki beberapa anak tangga tanah yang dibuat orang kampung. Ia ragu-ragu menyeberangi selokan dangkal itu, berdiri saja di pinggirnya, kasihan ayah, lupa bawa payung. Kembali lagi lapangan rumput yang basah itu ia memutar-mutar payungnya maju-mundur seperti layaknya penari payung. Lalu melangkah lagi ke selokan. Airnya coklat. Tampaknya licin, tapi ia harus melewatinya. Ayah, kenapa tadi lupa bawa payung? Mikir ibu tidak menelepon, ya? Ayah nggak suka nelepon, sih. Akhirnya ia berhasil menepis kekhawatirannya kalau terpeleset: kemudian tanpa ragu-ragu menyeberangi selokan dangkal itu. Air masuk sepatu jepangnya.
 
Sampai di pinggir jalan di bawah pohon asam yang umurnya sudah puluhan tahun itu ia berhenti. Menunggu. Ada suara cericit burung disela-sela daun yang basah. Tak tampak yang bercicit itu. Ia masih anak-anak, pikirnya mendengar cericit itu. Mungkin induknya belum pulang. Ia menunggu sambil terus memutar-mutar payungnya. Tak banyak air menimpa payung karena terlindung pohon asam. Sudah empat atau lima angkot lewat, ayahnya belum tampak juga. Angkot ke enam menurunkan seorang perempuan muda, tetengganya, kerja di supermarket.
“Ada apa di sini, Rin?”
“Nunggu Ayah. Tadi lupa bawa payung.”
 
Perempuan itu tak mendengar jawabannya karena langsung berlari sambil menggunakan tangannya sebagai penutup kepala. Gadis kecil itu meliriknya, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke ujung jalan. Burung kecil itu, bercicit lagi. Kasihan mungkin ia belum makan. Ibunya ke mana? Beberapa angkot lewat, terus saja tidak ada yang turun. Kasihan Ayah. Kenapa lupa bawa payung, yah? Ayah mestinya tidak usah bingung, dan kalau ibu nggak nelepon. Suara cericit burung. Semakin sering dan nyaring. Gadis kecil itu mendangak, mencari-carinya di atas daunan yang rimbun dan basah. Matanya kena air, diusapnya. Seperti mengusap air mata. Angkot lewat saja. Cericit burung. Gadis itu mendongak lagi, mengusap lagi air matanya yang kena air. Suara azan magrip.
 
Di rumah, beberapa kali telepon berdering.
***

*) Sapardi Djoko Damono, karya yang mutakhir adalah kumpulan cerita pengarang telah mati (2001) dan kumpulan puisi Ada Berita Apa Hari Ini. Dan sastra 2002. http://sastra-indonesia.com/2011/09/ketika-gerimis-jatuh/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar