Tuesday, January 19, 2021

Demokratisasi dan Problem Kompleks Kuratorial

Satmoko Budi Santoso
 
EKSISTENSI kurator dalam khazanah dunia seni rupa kini dipertanyakan. Hal itu mencuat dalam diskusi yang tergolong fenomenal pada pertengahan bulan Mei 2008 lalu di Bentara Budaya Yogyakarta. Diskusi yang diprakarsai Makna sebagai media yang mengkhususkan diri mengulas persoalan seni rupa tersebut mengambil tema “Kurator di Mata Perupa”. Bagi saya yang sama sekali tidak berkecimpung di dalam praktek ilmu seni rupa kecuali hanya mengikuti perkembangan wacana dan menikmati karya-karya seni rupa yang saat ini sedang booming, momen diskusi tersebut sangatlah mengejutkan. Secara tegas forum tersebut mempertanyakan peran signifikan dalam proses kuratorial: apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh para kurator dan output-nya seberapa jauh?
 
Jelas, adanya momentum diskusi itu seperti sidang pengadilan bagi para kurator di Yogya khususnya yang memang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perupanya. Oleh karena itu, pro dan kontra pun bermunculan. Sejumlah pembicara yang ditampilkan dengan maksud mewakili komponen seni rupa, misalnya Suwarno Wisetrotomo (kurator/kritikus seni), Wahyudin (kurator), Mikke Susanto (kurator), Ali Umar (pematung), Eko Nugroho (perupa), dan Yuswantoro Adi (perupa) berhasil merangsang diskusi dalam telikung dan kompleks persoalan yang sungguh problematis.
 
Suwarno Wisetrotomo, misalnya, melihat peran kurator salah satunya sebagai pemicu produksi wacana di seputar seni rupa, Wahyudin tak begitu jauh berbeda dengan Suwarno, Mikke Susanto memaparkan argumentasi tentang proporsionalitas sinergi antara perupa dan kurator sehingga semestinya tetap mendudukkan kurator sebagai obyek yang sama dengan perupa terutama dalam konteks kesebadanan perspektif ilmu, dan selebihnya tentu saja Ali Umar, Eko Nugroho, serta Yuswantoro Adi berkehendak mengritisi (sekaligus menggugat) peran kurator berdasarkan kinerja dan signifikansinya.
 
Jika di dalam analisis sepak terjang partai politik yang belakangan ini memanas, adanya forum tersebut mungkin saja bisa ditafsirkan secara ekstrem sebagai media pengganyangan peran kurator. Tidak perlu lagi adanya kurator karena keberadaan kurator mungkin saja diam-diam dianggap tidak kapabel, meragukan, ndompleng eksis, makelar lukisan, dan sebagainya, dan sebagainya. Terus terang, saya sendiri melihatnya dengan sudut pandang kenapa tiba-tiba saja terjadi seperti itu? Kenapa Eko Nugroho memaparkan argumennya bahwa dalam dua atau tiga tahun terakhir ini peran kurator kurang bisa menghasilkan isu atau wacana yang menarik dan seabrek argumentasi lain yang sifatnya menihilkan peran kurator? Apakah ketika dunia seni rupa sekarang sedang berjaya (banyak jenis lukisan laku keras dan para perupa mulai dari yang muda sampai senior panen habis-habisan) lantas peran kurator yang barangkali memang sepele haruslah diabaikan bahkan didepak?
 
Saya tidak sedang berposisi membela kurator ataukah tidak jika kemudian menuliskan opini ini, tetapi bagi saya letak persoalannya adalah bagaimana pola komunikasi yang telah terbangun selama ini? Apakah kondusif? Tentu saja, dalam perspektif sederhana saja pada awalnya pasti ada deal-deal antara kurator dan perupa: kamu ngapain, gue ngapain. Deal ini tentu saja tidak selalu secara eksplisit, memang. Jadi, saya kira bagaimana mengomunikasikannya. Sinergi seperti apa yang diidealisasikan jika memang ada maksud di luar deal-deal tertentu yang sudah menjadi kesepakatan tersirat maupun tersurat di antara kurator dan perupa. Jadi, konsep islah atau rekonsiliasi dengan perspektif sederhana (tanpa politisasi apalagi gerakan “grudak-gruduk”) masih mungkin dikondisikan. Jika memang dianggap salah satu pihak seperti kurator atau perupa dianggap bodoh ya mbok belajar lagi. Kan gitu, misalnya.
 
Tapi, mungkin memang persoalan yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Oleh karena itu, ruang dialog pada rubrik ini toh masih memungkinkan juga. Hanya saja, dalam konteks ini saya hanya ingin memberikan paparan ringan, soal urun rembug sepele yang barangkali membantu menjernihkan persoalan tersebut.
 
Sebagaimana diungkapkan Wahyudin bahwa dunia seni rupa toh juga merupakan dunia yang demokratis dengan muatan liberalisasi pikiran yang konstruktif. Dalam pandangan saya, sebenarnya memang perlu dipatenkan peran sosial dan kultural kuratorial semacam ini. Suwarno sudah menyebut di dalam konteks dokter ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sehingga jika ada pelanggaran etika ada sangsi yang jelas dari pihak organisasi. Sebagaimana yang juga pernah diungkapkan kritikus seni rupa kondang Jim Supangkat dalam Majalah Gong Edisi April 2008 bahwa sudah selayaknya ada Undang-undang Kebudayaan yang mengatur peran sosial dan kultural kerja kuratorial sehingga hak-hak serta kewajiban kurator pun terlindungi undang-undang.
 
Jika hak milik kekayaan intelektual saja digembar-gemborkan kenapa hak peran sosial dan kultural kurator menjadi terabaikan? Oleh karena itu, forum semacam itu selayaknya bisa saja menjadi ajang penjernihan persoalan yang ke depannya sebagai semacam rekomendasi bagi penguatan hak-hak kurator sekaligus perupa dalam peran proporsionalnya. Jim Supangkat memang berpendapat bahwa menjadi kurator dituntut adanya kualifikasi tertentu seperti pemahaman ilmu kurasi yang di dalamnya meliputi profesionalisme penguasaan database karya seni rupa dan lain sebagainya.
 
Oleh sebab itu, forum itu sebenarnya bisa menjadi langkah konkret untuk mempertegas tuntutan peran sosial dan kultural yang selayaknya menjadi tanggung jawab kurator maupun perupa. Jadi, gimana selanjutnya, bukan malah dibubarkan begitu saja. Selain itu, bisa juga dipikirkan bagaimana caranya agar institusi pendidikan seperti Institut Seni Indonesia Yogyakarta mau membuka program studi dengan minat utama kuratorial. Sehingga problem semacam ini sungguh bisa terpecahkan dalam koridor ilmiah, tentu saja sebagai konsekuensi cara berpikir intelektual, bukan malah cenderung nirlogika. Toh kita tahu, bidang studi perihal kuratorial juga merupakan bagian dari ilmu yang bisa digeneralisasi berdasarkan metodologi konsep pembelajaran tertentu.
 
Wah, saya sendiri hanya bisa termangu, ini adalah persoalan paradoksal tetapi saya kira analoginya bisa sama dengan kenapa jalan yang dilewati Sophan Sophiaan di daerah Ngawi Jawa Timur kemudian diperbaiki setelah ada yang benar-benar tewas yakni si Sophan Sophiaan yang kebetulan seorang tokoh publik? Kenapa Galeri Nasional di Jakarta yang notabene milik pemerintah tetap membutuhkan kurator independen dari pihak luar yang bukan pegawai negeri? Kenapa kita terlalu mudah menggusur peran-peran yang sekecil apa pun telah/pernah dilakukan komponen pendukung keberadaan subyek budaya massa tertentu?
 
Memang, buruh sering tidak memberikan kontribusi konkret pada majikannya karena sesuatu hal, tetapi buruh mungkin akan menyelamatkan majikannya di saat-saat yang justru hanya dengan penggunaan peran-peran kecil namun toh tetap substansial saja adanya. Barangkali saja begitu, bukan?
***

http://sastra-indonesia.com/2008/08/demokratisasi-dan-problem-kompleks-kuratorial/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar