Tidak akan ada yang mengatakan tokoh Semar itu kurang penting dibandingkan mungkin ada tokoh wayang lain yang lebih penting. Saking pentingnya Semar, ia tidak hanya menjadi tokoh mayor dalam berbagai versi wayang, mitos, sejarah, dan sebagainya. Ia juga hadir dalam novel sastra Indonesia modern, dalam ratusan atau ribuan puisi. Semar hadir dalam berbagai diskusi di angkringan hingga tempat-tempat mewah.
Semar dibicarakan di ruang-ruang ramai dengan gegap gempita hingga ke ruang-ruang yang sunyi. Semar ditulis ulang dalam berbagai cara dan versi, dalam berbagai kebutuhan, dalam berbagai kepentingan dan tujuan. Semar dibicarakan dan ditulis dalam suasana gembira dan sedih, dalam suasana bahagia dan duka. Semar terlibat dalam berbagai pertarungan wacana, dalam rezim diskursif yang berbeda-beda.
Semar ada di mana-mana dan menjadi siapa saja. Kadang ia disosoki kembali sebagai dewa sungguhan yang mandraguna tanpa tanding, tetapi ia juga seperti sosok manusia yang biasa-biasa saja, yang kadang ketawa dan sedih, yang kadang harus tetap sabar menahan kemarahan melihat sesuatu kurang ajar. Ia sosok yang tinggi dan mulia. Padahal, ia juga sosok yang tidak lebih sebagai pembantu atau pelayan (batur) bagi tuan-tuannya.
Yang sedikit “seragam” tentang Semar adalah sosoknya yang berperut gemuk dan berbokong gempal. Sebenarnya, sosok fisik tersebut lebih sebagai batasan dan paradoks fantasi itu sendiri. Artinya, manusia dan kebudayaannya memilih bukan sebagai sosok berfisik ideal, tetapi berfisik “yang kita tidak mau”, sehingga kondisi fisik itu menyebabkan keberadaan Semar terbuka untuk dikerjain, diganyang, dirampas, dimanfaatkan, dipuja, dan dimuliakan dengan perasaan nyaman, gembira, dan bahagia.
Terkait dengan kondisi paradoksal tersebut, Semar menjadi ada di mana-mana dan menjadi apa saja. Saking terlalu luas dan besarnya keber-ada-an Semar, saya (mungkin kita) menjadi tidak tahu lagi Semar itu apa dan siapa. Ketika seseorang mengatakan Semar itu A, ternyata yang lain mengatakan B, C,D, dan seterusnya. Tidak ada yang keberatan bagaimana Semar ditandai dalam rangkaian penanda yang kita tidak tahu di mana titik simpulnya. Ketika seseorang mengatakan Semar itu di suatu ruang, tetapi tidak ada yang protes ia juga hadir di ruang yang lain.
Dalam berbagai cara Semar diidentifikasi, tetapi sekaligus ia tidak teridentifikasi. Dalam berbagai cara Semar dikonstruksi oleh berbagai tatanan simbolik masyarakat yang berbeda-beda, tetapi sekaligus ia seolah terlepas dari tatanannya. Di satu sisi Semar diposisikan sebagai penjaga etik, tetapi di sisi lain dia tidak lain representasi dari sosok yang hidup bebas tanpa beban dan aturan etik.
Saking kita tahu banyak tentang Semar, di balik itu justru membuka peluang yang semakin besar mencari-celah hal apa dan yang mana yang belum diketahui untuk “ngerjain” dan mengeksplorasi Semar. Dalam kondisi dan posisi ini, Semar telah menjadi ujung fantasi dan batas simbolik yang kita tidak/belum tahu di manakah dan apakah itu.
Namun, secara kontradiktif pula, saya (mungkin kita), kayaknya tidak pernah berniat menjadi Semar, atau seolah-olah mempraktikkan hidup seperti Semar. Semar itu, dalam konotasi simboliknya, terlalu licin dan menggelincirkan. Sementara itu, batas simboliknya yang berdimensi etik, karena terlalu halus, lembut, dan cair, ia menjadi tidak memiliki posisi yang tajam dalam mengelola hasrat-hasrat manusiawi.
Karena licin, mungkin sosok Semar merupakan representasi demokrasi dan kemerdekaan paling murni. Semar tidak lebih hanya dimanfaatkan sebagai peluru etik, kadang-kadang ditembakkan, kadang-kadang dipakai sendiri, kadang-kadang dilupakan, kadang-kadang disalahtafsirkan, kadang-kadang dijadikan hukum. Kalau tidak paradoksal, dia bukan Semar. Sebaliknya, kalau bukan paradoksal, dia pun bisa disemarkan.
Muaranya, sosok Semar bukan saja dimanfaatkan sebagai proses subjektivasi, tetapi sekaligus sebagai medan dan ruang negosiasi. Posisi sosial, ekonomi, politik, dan kultural seseorang akan sangat menentukan bagaimana “memberdayakan” Semar dalam memposisikan dirinya sendiri secara relatif. Kerelatifan tersebut karena Semar tidak dapat dipakai sebagai alat politik identitas. Semar hanya bisa menjadikan saya menjadi kita, tetapi tidak mengeluarkan kita karena berbeda petanda. Kita bisa dan boleh berbeda di dalam kekitaan itu.
4 Des 2020
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). https://sastra-indonesia.com/2020/12/semar/
No comments:
Post a Comment