Tuesday, December 29, 2020

Abu Zardak *

Fahrudin Nasrulloh
Surabaya Post, 12 JUli 2009
 
Di dusun Tis di wilayah Qulaiwah, dalam kenangan Abu Zardak, adalah tilas gaib Banul Jan. Dengan hamparan gurun yang kuasa menghisap iman dan ingatan bagi orang yang nekat merambahnya. Dengan pemandangan bebukitan berbatu yang, konon, kilau putihnya, kerap memancarkan sinar berasap pilu-kalut dari airmata Adam dan Hawa. Betapa nelangsa lanskap ini bila diriwayatkan penyair pendusta atau si dukun peramal yang culas. Dan hanya Abu Zardaklah, satu-satunya perambah yang pernah tersesat di sana hingga bukan kematian-kehidupan: satu-satunya pancaran khayali tergelap yang dapat merenggutnya. Tapi sepercik keabadian ternoda yang mrucut dirancang Tuhan. Kisah ini merupakan petilan berkabut hijab yang termaktub dalam Akhb’rul Ghurab’ inda al-Ghurab’ karangan Ibnu Murad al-Khurasany.
 
Dalam Selubung Bebayang Maya
 
Suatu hari di tengah perjalanan dari kota Hisnapur, lima mil jauhnya dari kota Qulaiwah, beristirahatlah Abu zardak di Dusun Tis barang sebentar di selengkung bukit batu yang teduh. Ia minum seteguk air kendi yang ia bawa, dan membaringkan badannya sembari memandang ceruk-ceruk bukit batu putih itu lalu membayangkan segurat lukisan purba dari tangan para nabi yang raib secara misterius yang pernah dibacanya dari selembar manuskrip tua karya pelukis Hijaz, Ziad bin Rabi. Lukisan itu ia suntuki sekian puluh tahun lampau dari kawan belajarnya, Aziz Ibnu Ma’adz, saat mereka bareng berguru pada Syekh Aslah Baibul Haq di kota Hirzin, limapuluh mil di arah utara setelah melewati sungai kecil Qilqil di perbatasan kota Hisnapur.
 
Dari sinilah wabah khayalan itu mengekal dan bermula. Pada sekedip tatapan Abu Zardak yang terakhir. Sebentang lukisan di selengkung batu itu berboreh warna-warni, berlekuk gurat bersilang lingkar, dengan warna memeningkan beraroma kafan yang sengir. Sekilas, sebab pantulan pijar matahari, merambatlah dalam udara ayang-ayang pelangi seperti sesosok makhluk berjanggut putih panjang, bertongkat, dan gundulnya berbalut kain merah; mendadak meliwungkan kesadaran Abu Zardak. Bak dibiluri godaan hidup yang singkat. Seolah lebih nyinyir dari kematian yang memburu memekik membacok dengkulnya. Menggempur kelopak mripatnya. Namun ia tak gentar sedikitpun.
 
Saat itu Abu Zardak merenungkan pertanyaan lawasnya ihwal waktu yang berujud roh-roh berkepala berhala Bahzat, Hujal, Manhat, dan Huzbal, yang menyusup ke belantara lukisan yang ditatapnya itu: jika benar ada khayalan seorang pemahat yang tiba-tiba kesasar ke jejaring khayalan Tuhan, seperti gurauan Ziad bin Rabi yang ceplas-ceplos mengumbar ramal bahwa matanya kelak buta, maka di sanalah sekubang “Cermin Banyu Akhirat” melaknat segala yang kasatmata.
 
Aku tak percaya bayangan berhala ini, bisiknya dalam hati, sebab tak ada khayalan yang utuh yang ditelusupkan dalam tindakan memahat. Dan sedikit demi sedikit kehendak menyerupakan sesuatu yang fana bakal sirna dalam badai waktu. Bahkan lewat khayalan, seseorang bisa terperosok dalam kebimbangan yang mahapanjang. Hanya Tuhan yang Maha Sempurna, kala kesedihan-Nya makin merana lantas tersedak, lalu terdesak sebab entah untuk bersabda: “Di manakah sedesir ruh yang pernah Kubuhulkan menghilang tanpa kehendak-Ku, hingga tanpa sangka ia menjelma cahaya gaib lain yang tiba-tiba menjerumuskan pikiran sang pemahat. Lalu menjelma dewa atau iblis yang berencana keji menggempur khayalan suci-Ku.” Di saat lain, Tuhan dikaburkan kerlap-kerlip warna gosong, yang moncer dari cahaya-Nya sendiri, dan karenanya, segala warna meluruh dalam kegelapan. Maka tercetuslah sebetik bisikan: adakah gerimis airmata Tuhan bersama tahmid-takbir, mewirid khidmat hingga menjadikan semesta mengada? Inilah lukisan maya Allah yang sejatinya tak kuasa ditiru manusia..
 
Riwayat Kaum Pelukis Buta
 
Kisah kuno menyebutkan bahwa Dusun Tis ratusan tahun silam dihuni sekumpulan manusia yang menciptakan Tuhan mereka dari unggunan batu dan api lalu melukiskannya pada kulit-kulit binatang atau pada tatahan-tatahan kayu sebelum kafilah Muslim dari Arabia datang menghancurkan koloni mereka. Kini, kawanan Muslim rahasia ini masih merawat warisan penyembah batu dan api itu.
 
Petaka yang bengis pun terjadi, di suatu fajar yang sawan, dusun itu dilanda kegelapan (mungkin ini kutukan iblis hitam bercula badak) sampai berlarut-larut dalam tahun-tahun yang panjang. Dan para penghuninya sejak itu terkutuk menjadi buta. Mereka bersetubuh dan berpinak sesuka hasrat. Entah pagebluk ini akibat sesumpah dedengkot roh-roh penduduk asli yang terbantai atau dari leluhur dusun itu, atau memang “kegelapan terpahit” telah Tuhan ledakkan untuk menguji iman mereka.
 
Para Muslim yang tersisa mengabadikan kutukan itu dengan melukis dan bersyair, karena bagi mereka hanya dengan cara itulah mereka dapat memaknai kesia-siaan sebelum ajal meringkus. Tersebutlah di antara mereka yang tersisa dan tercacat (di samping mereka juga telah mewarisi tradisi sufi Persia): Ruzbihan Maqli, Umar Kirmani, Abu Musa al-Tustari, Awhad Sana’i, Usman al-Kharhi, Ma’ruf al-Kharaqani, dan Ali Hasan al-Quraisyi.
 
Hikayat Kitab dan Waktu yang Berlelorong
 
Saat itu Abu Zardak sempat menemukan beberapa manuskrip kuno, sebagian tertulis dalam lembaran kulit kayu dan kulit hewan, sebagian lagi tertoreh pada dinding-dinding batu. Ia pun menyimak baris demi baris tulisan-tulisan itu. Di lembaran kulit kayu tertulis begini:
 
Bilamana waktu serupa lingkaran yang digelapkan Dzat Yang Mulia, yang baka atas diri-Nya sendiri, dan tatkala pikiran membayangkan dunia, kulit domba akan jadi sajadah suci bertatah asma Ilahi, dengan perih tangis yang lejar, atas nama Allah, kesedihan menyekap rasa kelam, dan kebahagiaan menetas di ubun-ubun dalam sekedip mata tanpa sadar. Segalanya berjalan dari masa silam menuju masa kini menerawang ke masa depan. Inilah lukisan langit suci yang kuasa melemparkan manusia dari dunia dan waktu. (Di bawahnya tertulis nama Ma’ruf al-Kharaqani, dengan sampiran, mungkin sebuah petanda, Ma’rif al-Kawn fi Syiddati Dzalam).
 
Selanjutnya, pada tatahan batu terpahat seperti ini:
 
Mungkinkah dunia tanpa waktu dan manusia terlempar ke dalamnya? Adakah satu tempat di dunia ini jadi lahatku yang kekal di mana waktu terpecah-pecah dan membuatku sengsara membayangkannya? Seseorang yang ditatah oleh takdir Ilahi akan hidup kekal. Tapi itu dusta, ia dapat mati, saat waktu yang menelan dunia ini hanya berumur satu hari. Andaikan Allah merancang bagi manusia untuk hidup selamanya, maka hidup kami inilah bukti keagungan-Nya. Bila masa silam, bagai goresan indah kesunyian, saat kita memandang pelangi yang dimendungi langit di malam bulan sabit, jadilah waktu serupa kesiur fana yang dihembuskan dukalara. Waktu bagai tipuan cahaya yang dipantulkan cermin maya, lalu memendar dalam kehampaan yang senantiasa menggiring manusia untuk melupakan dunia, namun tak semua manusia menyadarinya. Inilah lukisan khayali dunia. (Di bawahnya tertulis nama Umar Kirmani. Tampaknya, tulisan semacam nubuat ini bermadah, Tadzkir’t al-Man’m fi al-Auq ‘t wa al-Kawn).
 
Kemudian, pada tulisan di selembar kulit, agak kabur, mungkin kulit kidang atau kulit anjing yang jauh lebih tua dari tatapan pertapa suci. Di situ termaktub:
 
Setiap peristiwa adalah hembusan napas yang musykil dihirup lagi saat pencari keabadian musnah oleh kedipan Yang Maha Kuasa. Inilah kuburanku. Sang kelana yang terbuang bagai siang yang menghancurkan fajar, bagai ruh yang diombang-ambingkan jasad, ia terpelanting bak ababil yang berluruhan sayapnya. Jika waktu mengada dalam diriku atau ruang yang rapuh menjeratku, lantakkan aku dalam ada tiada-Mu. Inilah kuburanku. Masa silam mencair dalam bayangan masa depan. Keduanya mengapung-apungkan khayalan lalu mengelabui masa kini seperti gerombolan dedemit yang merintih-rintih di kuil angker mataku. Inilah kuburanku.
 
Orang yang hidupnya direjam nestapa menganggap ruang adalah yang tampak sekejap. Sedang waktu semata igauan sekerumun arwah nabi dan iblis yang bersabung tiada henti. Dan keduanya terjerembab ke padang dunia. Tetapi, lambat laun, kekuatan khayalan dan ketauhidan mereka tak lagi menemukan persemayaman terakhirnya. Inilah kuburanku.
 
Waktu berasal dari pekikan tersangit iblis kala Allah melemparkannya dari surga. Inilah kuburanku. Sebut saja aku Si Raja Rasul berjubah cahaya di mana Allah melepas kasih dariku agar aku dapat bernista-ria dalam bebayang keagungan-Nya. Aku kini mengada dalam rahasia-Nya, yang atas nama segala-Nya aku tak pernah ada. (Di samping kiri nubuat bermadah Ahw’l al-Syua’ar’ fi jaufi al-Qabru itu terboreh nama Abu Musa al-Tustari).
 
Serampung membaca tetulisan itu, perlahan-lahan, Abu Zardak disentakkan selesat cahaya yang tiba-tiba menyergap pandangannya. Serasa hawa dingin berapi menyurupi tubuhnya. Kesadarannya linglung. Dirubung suwung. Ia ingin memekik, namun suaranya serak dan ambyar. Ia seperti melayang-layang bersama aksara-aksara yang barusan dibacanya. Lenyap dalam diam. Mengawang ke dalam dirinya yang remang.
 
Di padang bebatuan itulah ia, tak mati, tak hidup. Mungkin ruang dan waktu melingsirkan kegelapan hasrat: sedesir tatapan tersamar dan khayali manusia. Tidak seorang pun tergerak membayangkan lebih gila akan kisah ini, sebagaimana degup terakhir Abu Zardak sebelum ia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menemukan dirinya mengelam dalam keheningan cahaya Tuhan.

Jombang -Yogyakarta, 2002. http://sastra-indonesia.com/2009/07/abu-zardak/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar