Mardi Luhung *
Koran Tempo, 20 Juli 2008
”Sekak! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang
matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan
bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya,” dan
itu kataku. Terus menghisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke
dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun
membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar.
Tapi bau tengiknya tetap bertempat.
“Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang
ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke
lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi,” jawabmu. Seakan menjawab teka-teki
silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan
raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada
seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu. Lelaki ataukah
perempuan. Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas
lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada
langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota
duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: “Ingatlah, jika segalanya
telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah
ditelikung!”
Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik
padaku. Sergahmu: “Kau ingin menunggang kuda putih itukan? Silahkan.
Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!” Akh, sebelum segalanya
berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang
menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. “Sekak
balik!” sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan
cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan
muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan
menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai
terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni: amis!
***
“Aku raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?” begitu sebuah suara yang aku
dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini
tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu?
Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu.
Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku
rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah
buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti
terus-terusan menyesali kekalahan caturku.
Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan
yang membekas di badan. Melainkan yang memar di kedalaman pikiran. Seperti
layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum
akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah:
“Mangkanya jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!” Dan aku pun jadi
bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan
keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi
kesempatan untuk tetap bertempat.
“Kenapa? Aku raja putihmu,” kembali suara itu terdengar. Dan kali ini,
jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok. Tapi, irama
ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang
membawakan sebuah tari keputus-asaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan
dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot kemana pun penari
klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan
kepala. Seperti ingin memluntir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi,
jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan
menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.
Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik
jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon
yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali
lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan,
ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari
tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya
aku lihat pada leher si monster yang ada di ke dalaman lautan. Si monster yang
pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si
penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu
menenggak arak, Lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau
seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: “Atasnya jembatan, bawahnya
jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau
kata!”
“Kenapa kau tinggalkan aku?” kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan
itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar,
mulutnya tetap terkatup. “Tapi, siapa kau bocah?” dan tanyaku balik. Si bocah
ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar,
jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak
naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling.
Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah,
lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.
“Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi
sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati
sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi
ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah.
Kenapa kau tinggalkan aku?”
Apa?! Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku
tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika
apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi.
Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar
nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba,
entah darimana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa
bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke
kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas,
apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh
bagian tubuhku pun memelar.
Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku
menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat
semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat
yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur.
Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang
berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan
di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan.
Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang
dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum
ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
“Kenapa? Takut? Bukalah matamu…”
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
“Bukalah lagi…”
Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang
sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga,
aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang
berwana merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau
tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau
mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu
sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak
berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke
mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun.
“Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika
di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih,” bisik si bocah
persis di kupingku.
***
Tuan pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini
tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar
yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari
dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: “Aku tak bermaksud mengorbankan
pion itu. Pergi! Pergi!” Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu,
kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek?
Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang
amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang
menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulu lagi. Tapi semacam
lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan
ratunya. Tawon ganas yang mengusung penyengat.
Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini
memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah.
Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur,
aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah
kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau
bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban
yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan
untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku:
“Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!” He, he, he,
aku memang miring. Miring karena permainan catur.
Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di
sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok.
Kolestrol naik. Darah tinggi naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he
jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau
latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jahil. Dan
aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan
yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi
ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah
kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah
cicak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?
He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan
mengajari Tuan pembaca. Mau kan? Kini, silahkan pergi dulu. Oh ya, lewat
jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak
ada yang menggangu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang
merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: “Kenapa kau
tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu,” Dan jangan
lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk.
Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat.
Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil.
Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang
ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: “Apakah masih ada atau malah
sudah jadi kepompong!”
(Gresik, 2008)
*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang
Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik. http://sastra-indonesia.com/2008/08/kepompong/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment