Wednesday, November 18, 2020

KEPOMPONG

Mardi Luhung *
Koran Tempo, 20 Juli 2008
 
”Sekak! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya,” dan itu kataku. Terus menghisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar. Tapi bau tengiknya tetap bertempat.
 
“Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi,” jawabmu. Seakan menjawab teka-teki silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu. Lelaki ataukah perempuan. Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: “Ingatlah, jika segalanya telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah ditelikung!”
 
Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik padaku. Sergahmu: “Kau ingin menunggang kuda putih itukan? Silahkan. Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!” Akh, sebelum segalanya berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. “Sekak balik!” sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni: amis!
***
 
“Aku raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?” begitu sebuah suara yang aku dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu? Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu. Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti terus-terusan menyesali kekalahan caturku.
 
Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan yang membekas di badan. Melainkan yang memar di kedalaman pikiran. Seperti layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah: “Mangkanya jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!” Dan aku pun jadi bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi kesempatan untuk tetap bertempat.
 
“Kenapa? Aku raja putihmu,” kembali suara itu terdengar. Dan kali ini, jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok. Tapi, irama ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang membawakan sebuah tari keputus-asaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot kemana pun penari klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan kepala. Seperti ingin memluntir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi, jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.
 
Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan, ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya aku lihat pada leher si monster yang ada di ke dalaman lautan. Si monster yang pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu menenggak arak, Lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: “Atasnya jembatan, bawahnya jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau kata!”
 
“Kenapa kau tinggalkan aku?” kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar, mulutnya tetap terkatup. “Tapi, siapa kau bocah?” dan tanyaku balik. Si bocah ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar, jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling. Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah, lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.
 
“Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah. Kenapa kau tinggalkan aku?”
 
Apa?! Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi. Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba, entah darimana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas, apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh bagian tubuhku pun memelar.
 
Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur. Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan. Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
 
“Kenapa? Takut? Bukalah matamu…”
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
“Bukalah lagi…”
 
Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga, aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang berwana merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun. “Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih,” bisik si bocah persis di kupingku.
***
 
Tuan pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: “Aku tak bermaksud mengorbankan pion itu. Pergi! Pergi!” Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu, kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek? Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulu lagi. Tapi semacam lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan ratunya. Tawon ganas yang mengusung penyengat.
 
Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah. Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur, aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku: “Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!” He, he, he, aku memang miring. Miring karena permainan catur.
 
Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok. Kolestrol naik. Darah tinggi naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jahil. Dan aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah cicak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?
 
He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan mengajari Tuan pembaca. Mau kan? Kini, silahkan pergi dulu. Oh ya, lewat jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak ada yang menggangu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: “Kenapa kau tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu,” Dan jangan lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk. Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat. Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil. Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: “Apakah masih ada atau malah sudah jadi kepompong!”
 
(Gresik, 2008)
 
*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik. http://sastra-indonesia.com/2008/08/kepompong/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar