Perang prajurit Kurawa dengan prajurit Atasangin masih berlangsung ketika Puntadewa dan adik-adiknya menuju arena perang. Debu yang muncul dari kereta dan derap kaki kuda memenuhi arena perang membuat pandangan sedikit terganggu. Namun, dari kostum yang mereka pakai, terlihat mana prajurit Kurawa mana prajurit Atasangin. Ringkik kuda, teriakan prajurit, dan denting senjata beradu senjata terdengar jelas. Sorak sorai pun membahana ketika ada sosok prajurit yang tertebas senjata, juga jeritan orang menahan sakit akibat sabetan senjata. Bima sudah tak sabar dalam menanti aba-aba kakaknya. Kurang dari lima puluh meter dari palagan, Puntadewa menahan langkah adik-adiknya. Ia dan keempat adiknya berhenti.
"Kakang Pambarep, kenapa kita berhenti. Lihat, Sengkuni jadi bulan-bulanan musuh. Apa kita tak menaruh kasihan kepadanya. Sampai kapan ia kita biarkan jadi bola bagi musuh. Aku sudah tak sabar," ujar Bima.
"Sabar dulu. Jangan grusa-grusu. Orang yang terbiasa grusa-grusu akan membuat kesalahan melulu. Kita harus tahu dulu apa kehendak mereka sebelum kita bertindak," Puntadewa menjawab.
"Semua sudah jelas. Kenapa mesti ditahan-tahan. Mereka datang ke Hastina membuat rusuh. Menjadi kewajiban kita untuk menghalau mereka. Mereka ke sini untuk merusak. Ya harus kita tindak."
"Sebentar. Coba perhatikan yang bertempur di ujung sana. Perhatikan baik-baik. Mereka kelihatannya bukan prajurit dari Atasangin. Kita menghadapi kekuatan pasukan yang tak bisa kita pandang enteng," kata Puntadewa seraya mengarahkan telunjuknya ke arah tempat yang dimaksud.
Mendengar kata-kata Puntadewa, Pamadi mengalihkan pandangannya ke sudut palagan. "Tampaknya ada kekuatan lain selain pasukan dari Atasangin yang turut menggempur Hastina. Kita tak boleh lama tinggal diam, Kakangmas," ujar Pamadi.
"Nanti dulu, kamu jangan ikut-ikutan tak sabar seperti Bima, Pamadi," tegur Puntadewa.
"Waaaaaa, sampai kapan kita akan diam saja, Pambarep. Cepat katakan apa tindakan kita," Bima kembali mendesak Puntadewa.
Sejenak Puntadewa berpikir. Sebentar-sebentar pandangannya diarahklan ke palagan yang satu, lalu berpindah ke palagan yang lain.
"Bima, Pamadi, dan Kembar, sekarang dengarkan aku baik-baik," Puntadewa mengawali pengarahannya. "Dari wawasanku, tampaknya ada dua pasukan yang menyerbu Hastina. Kita belum tahu mereka itu siapa. Kita harus membagi tugas untuk mengetahui siapa mereka. Bima dan Pamadi harus bisa menemui pemimpinnya. Bima ke palagan yang sebelah kiri, Pamadi ke palagan yang di sebelah kanan. Temui pemimpinnya, lalu ajak mereka kemari untuk menemuiku. Katakan kepada mereka bahwa aku ingin mengirimkan salam perdamaian kepada raja mereka."
Tidak minta penjelasan lebih lanjut, Bima dan Pamadi langsung bergerak. Bima dan Pamadi dengan cara masing-masing menembus prajurit yang sedang bertempur. Meskipun agak susah menembus barikade prajurit, akhirnya Bima dan Pamadi berhasil menemui pimpinan pasukan. Tidak butuh waktu lama untuk membujuk mereka agar mau menemui Puntadewa.
Di hadapan dua orang pimpinan pasukan, Puntadewa memperkenalkan diri.
"Maafkan atas kelancanganku meminta Ki Sanak untuk menemuiku di sini. Aku tempuh cara itu agar pertumpahan darah ini segera diakhiri. Oh ya, perkenalkan, namaku Puntadewa. Aku dan keempat adikku ini adalah putra Pandu Dewanata. Siapakah sesungguhnya Ki Sanak?"
"Aku Andanawarsa, patih dari kerajaan Atasangin."
"Aku Kerpa, putra Prabu Kerpaya, raja Timpurusa."
"Bolehkah kami tahu, apa yang menjadi alasan Ki Sanak berdua menggempur Hastina? Apa kesalahan Hastina?"
"Jangan pura-pura tak tahu," ujar Andanawarsa.
"Aku juga ingin mengucapkan kalimat yang sama. Kiranya kata-kata patih dari Atasangin itu juga mewakili pikiranku."
"Waaaaaaa, kakakku tanya baik-baik. Kenapa kalian jawab macam itu. Jangan menyesal kalau aku nanti bertindak kasar kepada kalian," ancam Bima.
"Kuharap Bima bisa menahan diri. Biarlah aku yang berdialog dengan mereka," tegur Puntadewa kepada Bima.
"Ki Sanak, kalau aku tahu, tak perlu aku bertanya seperti itu. Katakan apa sesungguhnya yang membuat Ki Sanak mengerahkan pasukan besar-besaran untuk menyerbu Hastina. Apa salah rakyat Hastina? Jika ada rakyat Hastina yang salah, aku ingin minta maaf."
"Tanpa tedeng aling-aling, kukatakan bahwa aku datang ke sini tidak untuk merampok kekayaan Hastina meskipun aku tahu kerajaan ini kaya raya," kata Andanawarsa.
"Sama, aku dan pasukanku kemari bukan untuk menjarah harta Hastina," tegas Kerpa.
"Ya, aku mengerti, tapi Ki Sanak belum menjawab pertanyaanku. Maukah Ki Sanak berterus terang. Negeri kami mencintai perdamaian. Kalau ada masalah, bisa kita bicarakan dan pecahkan bersama. Kalau dengan perundingan dan musyawarah masalah itu bisa kita selesaikan, kenapa harus menggunakan kekerasan? Kasihan rakyat, mereka tak tahu apa-apa, tapi menjadi korban," ujar Puntadewa. "Marilah kita bicara baik-baik agar kita sama-sama menang, tak ada pihak yang direndahkan."
Kerpa dan Andanawarsa terdiam sejenak, sementara Bima getam-getam. Ia seperti tak sabar menunggu akhir dari pembicaraan kakaknya dengan dua orang pimpinan pasukan. Demikian juga Pamadi. Ia tak yakin kakaknya dapat menghentikan perang dengan perundingan. Kembar meskipun masih tergolong remaja, bahkan masih anak-anak, ikut merasakan kegelisahan kakak-kakaknya.
Bersambung...
*) Dr. Sunu Wasono. M. Hum. lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Buku terbarunya "Seks sebagai Rempah dan Masalah serta Beberapa Kritik Lainnya". https://sastra-indonesia.com/2020/10/lenga-tala-betis-dan-kutukan-98/
No comments:
Post a Comment