Tuesday, September 8, 2020

BAGAIMANA MEMBACA TEKS (SASTRA)

Ardy Kresna Crenata *

Membaca sebuah teks (sastra) semestinya seperti ini. Pertama-tama, kita melihatnya sebagai sebuah komposisi. Itu artinya, kita memosisikan teks tersebut sebagai bentukan dari berbagai unsur yang saling berelasi dan berinteraksi satu sama lain. Di sini kita bicara soal posisi, porsi, bahkan hierarki--jika ada. Bermodal ketekunan kita pun akan tergoda untuk mencurigai setiap bentuk relasi dan interaksi yang kita temukan itu.

Dan kita pun tentu akan tergiring juga untuk menilai komposisi itu, bentukan atau sajian itu, apakah ia telah cukup "estetis" atau belum. Dan jika belum, kita terdorong untuk bertanya-tanya apakah itu semacam kesengajaan yang berpotensi mengusik konsepsi yang kadung kita miliki soal estetika, dan mungkin berpeluang juga menawarkan sebuah estetika baru. Yang terakhir ini, umumnya, kita hadapi saat melakukan pembacaan atas sebuah teks (sastra) yang tak biasa, eksperimental, nyeleneh, dan yang semacamnya.

Kemudian, kita memasuki tahap kedua pembacaan, yakni mencari keterhubungan si teks dengan konteks yang melatari kelahirannya. Di sini, kita mulai menggunakan pisau-pisau bedah di luar teks, entah itu psikoanalisis, antropologi, psikologi, sosiologi, filsafat, seni rupa, sejarah, politik, teologi, sains; yang mana pun itu sesuai kebutuhan kita dalam membedah teks untuk menemukan--dan mengemukakan--"makna" yang mungkin dikandungnya. Bahkan bisa juga kita menggunakan biografi pengarang, jika itu dirasa akan membantu. Dalam hal ini, kita memosisikan--juga memperlakukan--si teks sebagai "Dasein", sebagai sesuatu-dengan-konteks, bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa sejarah dan tanpa konteks. Dan ini baik, salah satunya untuk menghindarkan si teks dari terjebak pada semacam alienasi yang cenderung membuatnya statis dan mati--padahal ia sejatinya hidup dan dinamis. Ia, teks sastra itu, tak ubahnya kita, si pembacanya.

Tahap berikutnya dari pembacaan sebuah teks (sastra) adalah mencoba memosisikannya dalam konteks saat ini, yang lebih kekinian, yang secara langsung terhubung dengan kita. Ini dilakukan supaya pembacaan atas teks tersebut tidak terasa sia-sia atau nirguna. Tentu saja, ketika kita bicara soal konteks, kita bicara juga soal realitas kesusastraan di mana teks tersebut beredar--atau diedarkan--kembali. Membaca sebuah teks dengan demikian adalah membaca juga keterhubungan si teks dengan waktu. Ini setidaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan David Damrosch dalam How to Read World Literature.

Dan selanjutnya, ini jika kita tergerak untuk menjadikan pembacaan kita atas si teks menjadi lebih komprehensif, dan karenanya lebih adil (baik bagi si teks, penulis, maupun pembaca), yang perlu kita lakukan adalah mencari pembanding, melakukan pembacaan lewat strategi perbandingan. Ada baiknya lingkup yang kita tetapkan tidak hanya "lokal", melainkan juga "global". Dengan begitu, kita pun telah memosisikan teks yang kita baca itu dalam semesta yang lebih luas lagi, yang mestilah lebih kaya dan menantang lagi, dan karenanya baik bagi si teks. Dan kita pun, sebagai si pembaca, kemungkinan besar akan terselamatkan dari melontarkan klaim-klaim yang memalukan--jika tidak memilukan. Namun tentu, di sini, kita harus senantiasa berhati-hati agar sudut pandang yang kita gunakan untuk menjalankan strategi pembacaan ini tidak berbau orientalisme, chauvinisme, rasisme, atau yang semacamnya. Satu hal yang harus kita ingat adalah kita melakukan pembacaan atas si teks sebagai manusia pascamodern, di sebuah realitas pascamodern.

Seperti itulah semestinya kita membaca sebuah teks sastra. Urutannya mungkin relatif cair, tapi tahap-tahap tersebut mesti ditempuh--setidaknya hingga tahap ketiga yang dipaparkan tadi. Dan sayang sekali, ini jika kita bicara soal kesusastraan kita dalam beberapa tahun terakhir, kita seringkali mendapati pembacaan komposisi diabaikan; sehingga, dengan sendirinya, teks tersebut, setelah pembacaan dilakukan atasnya, tidaklah ternarasikan sebagai dirinya, tetapi perpanjangan-perpanjangannya saja, atau bayangan-bayangannya saja. Saat Goenawan Mohamad membaca Maryam-nya Okky Madasari di dalam salah satu Caping-nya, misalnya, ia tidak membahas komposisi Maryam. Ketika Katrin Bandel melakukan pembacaan kritis atas Saman-nya Ayu Utami, misalnya, tidak dibahas komposisi Saman secara keseluruhan--hanya sebaian kecil saja yang berkaitan erat dengan apa yang dipermasalahkan Katrin dalam pembacaannya itu. Atau, ketika sejumlah orang melakukan pembacaan atas fiksi-fiksi Faisal Oddang, sastrawan muda kita yang tengah naik daun ini, kita mendapati bahwa persoalan komposisi, yang justru sangat mencolok dan mengganggu, seperti dianggap sesuatu yang tak penting dan tak perlu.

Di tengah realitas kesusastraan seperti ini, saya kira, kita sebenarnya patut cemas. Barangkali ini adalah efek samping--jika bukan warisan--dari begitu merajalelanya Seni Rupa Konseptual (Conceptual Art) dalam beberapa dekade terakhir. Katakanlah, sastra adalah bagian dari seni. Dan ketika seni sudah terlampau menekankan kekuatan atau kualitas karya pada konsep si seniman, dan cenderung permisif bahkan abai terhadap eksekusi bentuk, maka begitulah sebuah teks (sastra) pun seolah-olah dimaafkan begitu saja kendati ia, jelas-jelas, dalam hal eksekusi bentuk, masih sangat lemah--untuk tidak mengatakan mentah. Nirwan Dewanto dalam salah satu esainya di Senjakala Kebudayaan mengatakan bahwa metodologi adalah sesuatu yang penting (baca: perlu ada) dalam proses penciptaan sebuah karya (baca: teks), sebab jika ia tidak ada maka proses penciptaan tersebut cenderung mengarah kepada mannerisme, peniruan demi peniruan bentuk yang dangkal, dan pada akhirnya akan membuat kita--penikmat maupun pencipta--lelah. Saya sependapat dengan Nirwan. Dan itu artinya, ketika seseorang melakukan pembacaan atas sebuah teks (sastra), tak pelak lagi, ia pun harus memberi perhatian yang paripurna terhadap bentuknya, terhadap komposisinya. Sebab sebuah teks tanpa komposisi adalah kesewenang-wenangan belaka. Ia tak ubahnya sebuah lukisan bergaya Dada yang dibuat ketika Surrealisme telah melamlauinya.

Bekasi-Bogor-Jonggol, 24 Juni 2018

*) Ardy Kresna Crenata dilahirkan di sebuah desa di Cianjur pada 16 Desember 1986. Ardy kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan studi Matematika, yang menyenangi sastra sejak di bangku sekolah menengah, terutama cerita dan puisi.

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar