W.S. Rendra *
HAL yang menarik dari pribadi Dewi Satika, adalah eksistensinya sebagai seorang aktifis. Ia memiliki integritas kepribadian yang tinggi, sekaligus naluri yang tajam dalam membangun strategi dan keseimbangan di dalam totalitas aksi-reaksi-kontemplasi. Jarang aktifis yang memiliki kelebihan sifat seperti itu. Sempat saya saksikan yang punya kombinasi demikan, hanyalah Shoe Hok Gie dan Abdurrahman Wahid.
Dibanding dengan Raden Ajeng Kartini, keduanya amat penting sebagai pelopor kesadaran perempuan akan emansipasi manusia, namun agaknya Raden Ajeng Kartini tidak memiliki naluri seorang aktifis. Ia lebih tepat sebagai sastrawan dari sastra surat. Nilai sastra yang terkandung dalam surat-suratnya sangat tinggi. Ia menguasai metaphora yang mencerminkan kedalaman penghayatan batin dan ketelitian dalam pengamatan terhadap lingkungan. Surat-suratnya adalah kumpulan esai yang indah. Dalam hal ini, hanya Asrul Sani yang bisa menyamainya. Sayang, Asrul Sani tidak mempedulikan bakatnya dalam menulis esai.
Kartini tidak begitu menguasai mobilitas dirinya dibanding Dewi Sartika. Mungkin karena Kartini lahir dari istri ampil. Keningratan Dewi Sartika yang lebih tinggi dari Kartini, cukup besar juga pengaruhnya. Dewi Sartika lebih tegas, berani, dan berwibawa dalam membawakan dirinya yang kontroversial itu.
Yang paling nyata adalah perbedaan kemampuan mereka bersikap dalam soal perjodohan. Meskipun Kartini pernah menulis bahwa dia tidak ingin menikah dan juga mengutuk pernikahan yang jodohnya tidak berdasarkan pilihannya, melainkan berdasarkan pilihan orangtua yang harus diturutnya, tetapi nyatanya Kartini menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya. Sedangkan Dewi Sartika menolak dijodohkan dengan lelaki yang bukan pilihannya, sambil tidak peduli kepada kehebohan yang ditimbulkan oleh sikapnya itu. Pada waktunya, Sartika kawin dengan lelaki duda dari derajat biasa tapi yang pintar, penuh pengertian, dan ia cintai. Tentunya hal ini menimbulkan heboh yang lebih besar lagi. Ternyata Dewi Sartika mampu menghadapi tantangan dari dalam keluarganya, dan dari masyarakat yang luas demi keteguhan akan pendirian dan sikap hidupnya.
Dewi Sartika punya naluri kuat untuk menjadi aktifis. Yang saya maksud dengan aktifis, bukan sekedar orang yang aktif mengerjakan kewajiban sehari-hari di kantor, di tempat bekerja, atau di rumah tangganya, melainkan seorang yang berbuat sesuatu di masyarakat dan untuk masyarakat, dengan tujuan memperbaiki dan memajukan masyarakat berdasarkan idealismenya, serta dalam kegiatannya itu, menyangkut mobilisasi orang banyak.
Dalam usia 18 tahun, Dewi Sartika merasakan keterbatasan eksistensi sebagai seorang perempuan, karena ikatan tradisi masyarakat yang berlaku kala itu. Seakan-akan tujuan hidup kaum perempuan hanyalah untuk menikah, bersuami. Janda dan perawan tua mengalami nasib yang malang. Ia bereaksi terhadap hal-hal ini. Ia pun lalu berkontemplasi. Ia membaca buku-buku, dan daya cerna pikirannya mulai bekerja. Ia berpendapat, kaum perempuan harus bisa mandiri dalam mencari nafkah. Oleh karena itu, mereka harus bersekolah, di sekolah yang khusus menyadari handicap (rintangan) kaum perempuan pada saat itu, maka mereka harus diajari keterampilan, diberi pengetahuan umum yang luas, bahasa asing sebagai jendela untuk melihat dunia luas, dan budi pekerti yang tepat untuk memperkuat ekspresi diri. Begitu ia bisa merumuskan reaksinya di dalam kontemplasi, segera ia memulai aksinya.
*) W.S. Rendra (alm), Budayawan, dalam mengantarkan buku "Biografi Dewi Sartika." Rendra lahir di Solo 1935 - wafat di Depok 2009.
***
Sakola Kautamaan Istri adalah aksi-reaksi Dewi Sartika dari hasil kontemplasinya. Sakola ini didirikan pada 16 Januari 1904, atau ketika Dewi Sartika berusia 19 tahun lewat sebulan. Saat Dewi Sartika berusia 36 tahun, Sakola Kautamaan Istri telah memiliki 15 Cabang di Residen Priangan.
Sedikit yang tahu, bahwa Dewi Sartika juga suka menulis di media massa, dan ia tidak mencantumkan gelar Raden sebagai penulis esai. Dewi Sartika membuat semacam kurikulum yang menjadi tujuan dari pengajaran di Sakola Kautamaan Istri. Tulisan Dewi Sartika dalam bahasa Sunda, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Chye Retty Isnendes dari UPI, dan akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Sanggar Literasi SituSeni.
Perkenankan kami dari sanggar SituSeni, hendak menawarkan buku Kautamaan Istri karangan Ibu Dewi Sartika, kepada Ibu/Bapak. Dana yang terkumpul, adalah untuk melaksanakan acara Dangiang Dewi 2020/2021, yang diselenggarakan oleh Sanggar SituSeni sejak 2014.
Tahun ini, semoga keadaan membaik, ritual Dangiang Dewi akan lebih banyak dilakukan secara daring, misalnya Lomba Video Pertunjukan Puisi Dewi Sartika.
Rp. 50.000,- (belum termasuk ongkos kirim).
Perderan buku ini digalang oleh Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB).
Erni Wardhani, WA: +62 852-2237-0167
M. Saepul Rizal, WA: 0838-2155-6987
https://sastra-indonesia.com/2020/08/menyambut-dewi-sartika/
No comments:
Post a Comment