Sunday, August 2, 2020

Masokisme Sosial

Aprinus Salam *

Kadang-kadang kita merasa bahwa Indonesia kok tidak maju-maju. Dari dulu kita menghadapi persoalan yang sama, yakni realitas politik yang njelimet, mubazir, dan menyakitkan. Dunia ekonomi yang semakin repot dan menyusahkan sehingga semakin banyak orang Indonesia yang sulit cari makan dan perlahan mati karena penyakit atau kelaparan. Panggung sosial yang semakin berbahaya dan  saling bunuh.

Maka mungkin saatnya kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa kita mengidap penyakit masokisme sosial. Masokisme sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang menyakitkan, tetapi bahkan perlahan-lahan kita mulai menikmatinya. Kita mulai merasakan bahwa berbagai persoalan menyakitkan yang kita hadapi itu, akhirnya, dihadapi sebagai hal yang memang yang menyenangkan, suatu hal yang perlu dinikmati.

Kita mulai menikmati bahwa perang dan pembunuhan massal (di Gaza misalnya), atau gempa bumi, sebagai berita yang perlu diikuti. Berdasarkan berita itu, kita perlu simpati dan terlibat. Kemudian simpati dan perasaan terlibat itu kita sebar ke teman-teman (mungkin melalui SMS, internet, dsb), sebagai tanda bahwa kita sangat bersimpati. Perasaan simpati yang diketahui teman-teman itu kita nikmati dengan penuh kepuasan.

Kita pun mulai menikmati peristiwa-peristiwa politik dan pemilu (2009) yang tampaknya bakal merepotkan. Ada dua kenikmatan yang didapatkan dari kegusaran itu. Pertama, kita yang mendukung “selamatkan pemilu”. Yakni kita yang merasa puas dapat berprilaku sebagai warga negara yang baik dan bertanggung-jawab.  Kita mendapat kepuasan dengan menyalahkan pihak lain yang tidak mendukung pemilu. Kita mendapat kenikmatan berjalan dalam lolong-lorong gelap politik.

Kedua, kita pun juga menikmati menjadi “penggembos-penggembos pemilu”. Ada perasaan heroik yang nikmat bila mendapat predikat sebagai warga yang kritis dan berani. Kemudian, dengan gagah dan lantang kita menyebar wacana bahwa daripada pemilu berjalan dengan tipu-muslihat dan menipulatif, lebih baik tidak perlu ada pemilu. Atau pemilu seperti itu adalah tidak syah. Ada kenikmatan untuk menjadi pelawan.

Tampaknya kita juga menikmati perseteruan dan perkelahian antargang, antarkelompok, antarkampung, antarsuku. Dalam perkelahian yang merusak itu, kita merasakan sebuah kenikmatan, yakni adanya kepuasan berlagak penjadi pahlawan-pahlawan kelompok, kampung, atau suku. Dalam kondisi kenikmatan itu, perkelahian dan perseteruan menjadi sulit untuk dihentikan. Tidak heran, konflik-konflik sosial selalu bermunculan di berbagai tempat.
   
Hal yang parah adalah kenikmatan dalam menghadapi ritus ekonomi, terutama dalam rangka “mencari nafka”. Dalam kondisi yang sulit, ada kepuasan jika persoalan mencari nafka yang semakin berat itu dapat diatasi. Mungkin dengan cara-cara yang halal atau sesuai dengan prosedur yang diakui bersama sebagai absah. Sangat mungkin pula dalam ara-cara yang illegal, tetapi tetap mendatangkan kepuasan dan kenikmatan karena adanya perasaan berhasil mengatasi persoalan hidup.

Hal-hal kecil keseharian pun tak luput untuk mulai dinikmati. Lalu-lintas jalanan yang ricuh dan semrawut sebagai hiburan yang menyenangkan. “Kalau gak kacau malah gak seperti di Indonesia”, jadi nikmati saja. Urusan birokrasi yang tidak teratur dan semrawut sebagai bagian dari prosedur sosial yang harus dilewati dengan penuh kenikmatan. Karena jika tidak dinikmati, maka justru stres yang akan datang.
***

Proses mengidap masokisme sosial itu tentu bukan hal yang datang begitu saja. Ada sejarah panjang yang menyebabkan kita menjadi bangsa seperti itu. Pada awalnya, dalam skala lokal-lokal, masyarakat-masyarakat di berbagai belahan di bumi nusantara ini, terlatih menderita dalam kekuasaan raja-raja lokal. Dalam penderitaan itu, rakyat akhirnya mendapat kenikmatan bahwa hidup adalah sebuah takdir hierarkis yang harus dijalani. Rakyat mendapat kenikmatan bila bisa berkorban bagi junjungannya.

Pada masa penjajahan, secara sporadis, masyarakat Indonesia semakin dilatih dan terlatih untuk menderita. Dalam berbagai eksplorasi ekonomi dan penindasan politik, masyarakat Indonesia mendapat pelajaran bahwa hidup adalah penderitaan yang harus diatasi. Ada pribahasa yang cukup mewakili kondisi itu, yakni berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Kondisi yang menyebabkan masokisme sosial semakin akut tentulah pada masa Orde Baru. Dalam suatu rezim kekuasaan yang otoriter, selama lebih dari 30 tahun rakyat selalu dipaksa dalam kondisi berakit-rakit ke hulu. Dengan harapan kelak, akan tercipta negara yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. Mimpi itu selalu disuntikkan kepada setiap warga sehingga rakyat pun harus menjalani hidup berakit-rakit ke hulu dengan sabar, prihatin.

Mungkin karena begitu terbiasa hidup dalam kondisi bersakit-sakit dahulu, akhirnya tersimpan rasa kepuasan, yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kenikmatan, ketika setiap proses sakit itu berhasil dilewati. Kepuasan itu didapatkan, dan dengan bagus dirumuskan dengan ungkapan, hidup adalah perjuangan. Artinya, kita harus mengatasi kondisi sakit itu jika ingin menjadi pejuang-pejuang. Agar tidak menjadi stres massal, maka kita perlu menikmati masalah-masalah yang dihadapi agar ke depan berjalan sesuai dengan harapan.

Masalahnya adalah ada suatu kondisi yang semakin dirasakan sebagai keterlanjuran. Bahkan nyaris menjadi sebuah keyakinan bahwa begitulah Indonesia. Hal itu terus mengkristal ketika situasi politik dan ekonomi telah berubah-ubah, tetapi kehidupan keseharian tidak berubah signifikan. Memang ada upaya-upaya kritis dan perlawanan, tetapi itu pun dimanfaatkan sebagai strategi untuk menadapatkan kenikmatan seperti telah disinggung di atas.

Ujung-ujungnya, kita menjadi seolah pasrah. Dalam kepasrahan itu, kita mulai mentertawakan nasib kita sendiri. Selalu muncul kepuasan setiap berhasil melewati kesulitan dan kesakitan. Akhirnya, kita pun mulai berujar, “Nikmatilah hidup ini.”. Sekarang tampaknya kita betul-betul mulai menikmati.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar