D. Zawawi Imron
jawapos.com
MENURUT buku Ensiklopedi Indonesia jilid 4, Mandar Sulawesi adalah sejenis burung yang nama latinnya aramidopsis lateni, yang banyak terdapat di pulau Sulawesi. Karena dagingnya kalau dimasak enak rasanya, unggas rawa itu banyak diburu orang sehingga kini sudah sangat langka. Setelah hampir punah, burung itu baru dinyatakan dilindungi.
Burung Mandar memang hampir punah, tapi wilayah dan suku Mandar di Sulawesi tidak akan punah, dan tidak boleh punah. Bukti bahwa tanah Mandar dan suku Mandar tidak boleh punah adalah pemekaran wilayah Mandar yang dulu meliputi Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Baba'na Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai) sekarang menjadi Provinsi Sulawesi Barat.
Kalau kita memperhatikan peta, pulau Sulawesi sepintas mirip kepala manusia yang ikat kepalanya melambai ditiup angina. Pada bagian wajah sampai ke dagu itulah kira-kira wilayah tempat bermukim suku Mandar. Di antara orang Mandar banyak juga yang terkenal, antara lain, penyair Husni Djamaluddin dan penyanyi Cici Paramida. Mantan Rektor Universitas Hasanuddin Prof Dr Basri Hasanuddin juga berasal dari Mandar.
Sebagian orang luar Sulawesi ada yang menyangka orang Mandar adalah orang Bugis yang lain. Tidak. Dari awal sejarah pun mereka memang beda, meskipun berdampingan dan berdekatan. Orang Mandar adalah suku tersendiri dan punya bahasa sendiri. Lagu Mandar punya ciri khas sendiri, sehingga Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah mengambil lagu Mandar untuk mendendangkan salawat bersama komunitas musik Kiai Kanjeng-nya.
Ada hal yang menarik tentang bagaimana orang Mandar dulu mendidik kesabaran kepada anak gadisnya. Mereka memberi tugas untuk menenun kain (lipa' sa'be). Menenun yang dimulai dengan benang sehelai demi sehelai merupakan latihan jiwa untuk tekun, sabar, setia, dan ulet. Menurut M. Syariat Tajuddin, ketua Teater Flamboyant Tinambung, di tengah kegiatan tenun-menenun itu, di Pambusuang dulu lahir pendekar hokum bangsa ini: Baharuddin Lopa, yang konon pernah menjadi bupati Mandar dalam usia 24 tahun. Kini, kata Syariat, ''Masyarakat saya dan Anda hampir tidak pernah sadar bahwa menenun lipa' sa'be Mandar adalah sebuah alegori kebudayaan yang sarat dengan pesan nilai.''
Merenungkan itu, saya merasa tak mampu untuk menelusuri jauh ke kedalaman. Sebagai tamu atau turis, saya hanya mampu berenang, tapi tak mampu untuk menyelam lebih jauh ke lubuk jantung kebudayaan Mandar. Bagaimana menenun jiwa, mencermati benang-benang kasih, serta memetik kecapi dalam irama lagu Sayang-sayang Mandar tidak mungkin saya lakukan.
Untung saya tidak menyerah untuk terjebak oleh jalan buntu. Dialog demi dialog terus digelar. Kali ini dialog rasa. Saya menikmati kaset lagu-lagu Mandar tua dalam perjalanan pulang dari Wonomulyo (tempat orang-orang dari Jawa bermukim) menuju Polewali. Ada getar masa lalu yang mengharu-biru. Tiba-tiba senar-senar tali temali kalbu saya ikut berbunyi. Irama yang saya tidak mengerti, tapi terasa akrab, seperti nyanyian desir darah sendiri. Ada keharuan. Alangkah indahnya substansi kemanusiaan. Tiba-tiba masa lalu menjadi dekat, bahkan diam-diam menyatu dengan masa kini. Saya tidak tahu, masa lalukah yang hidup lagi pada jiwa saya, atau saya yang tiba-tiba hidup pada masa lalu? Saya lalu teringat dua baris sajak W.S. Rendra:
Kemarin dan esok Adalah hari ini
Ternyata ada beberapa denyut masa lalu yang tidak bisa mati sampai kini, yang kemudian dirumuskan Chairul Anwar, ''Aku mau hidup seribu tahun lagi.''
Ke tanah Mandar saya merasa minum ''air kehidupan'' yang menyegarkan jiwa. Tidak salah kalau Ridwan Hilal, sahabat saya berkata: ''Sambongi' to Madura mottong di lita' Mandar, Mandar mitu'u'' (Semalam saja orang Madura bermalam di tanah Mandar, telah jadi Mandarlah dia).
Lagu mana saja, yang lahir dari rasa seni yang murni yang bisa dihayati, meskipun bahasanya tidak saya mengerti, tetap bisa saya nikmati. Bahasa etnik lain, kadang serasa sebuah instrumentalia yang penuh alegori, metafora, yang rahasia.
***
jawapos.com
MENURUT buku Ensiklopedi Indonesia jilid 4, Mandar Sulawesi adalah sejenis burung yang nama latinnya aramidopsis lateni, yang banyak terdapat di pulau Sulawesi. Karena dagingnya kalau dimasak enak rasanya, unggas rawa itu banyak diburu orang sehingga kini sudah sangat langka. Setelah hampir punah, burung itu baru dinyatakan dilindungi.
Burung Mandar memang hampir punah, tapi wilayah dan suku Mandar di Sulawesi tidak akan punah, dan tidak boleh punah. Bukti bahwa tanah Mandar dan suku Mandar tidak boleh punah adalah pemekaran wilayah Mandar yang dulu meliputi Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Baba'na Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai) sekarang menjadi Provinsi Sulawesi Barat.
Kalau kita memperhatikan peta, pulau Sulawesi sepintas mirip kepala manusia yang ikat kepalanya melambai ditiup angina. Pada bagian wajah sampai ke dagu itulah kira-kira wilayah tempat bermukim suku Mandar. Di antara orang Mandar banyak juga yang terkenal, antara lain, penyair Husni Djamaluddin dan penyanyi Cici Paramida. Mantan Rektor Universitas Hasanuddin Prof Dr Basri Hasanuddin juga berasal dari Mandar.
Sebagian orang luar Sulawesi ada yang menyangka orang Mandar adalah orang Bugis yang lain. Tidak. Dari awal sejarah pun mereka memang beda, meskipun berdampingan dan berdekatan. Orang Mandar adalah suku tersendiri dan punya bahasa sendiri. Lagu Mandar punya ciri khas sendiri, sehingga Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah mengambil lagu Mandar untuk mendendangkan salawat bersama komunitas musik Kiai Kanjeng-nya.
Ada hal yang menarik tentang bagaimana orang Mandar dulu mendidik kesabaran kepada anak gadisnya. Mereka memberi tugas untuk menenun kain (lipa' sa'be). Menenun yang dimulai dengan benang sehelai demi sehelai merupakan latihan jiwa untuk tekun, sabar, setia, dan ulet. Menurut M. Syariat Tajuddin, ketua Teater Flamboyant Tinambung, di tengah kegiatan tenun-menenun itu, di Pambusuang dulu lahir pendekar hokum bangsa ini: Baharuddin Lopa, yang konon pernah menjadi bupati Mandar dalam usia 24 tahun. Kini, kata Syariat, ''Masyarakat saya dan Anda hampir tidak pernah sadar bahwa menenun lipa' sa'be Mandar adalah sebuah alegori kebudayaan yang sarat dengan pesan nilai.''
Merenungkan itu, saya merasa tak mampu untuk menelusuri jauh ke kedalaman. Sebagai tamu atau turis, saya hanya mampu berenang, tapi tak mampu untuk menyelam lebih jauh ke lubuk jantung kebudayaan Mandar. Bagaimana menenun jiwa, mencermati benang-benang kasih, serta memetik kecapi dalam irama lagu Sayang-sayang Mandar tidak mungkin saya lakukan.
Untung saya tidak menyerah untuk terjebak oleh jalan buntu. Dialog demi dialog terus digelar. Kali ini dialog rasa. Saya menikmati kaset lagu-lagu Mandar tua dalam perjalanan pulang dari Wonomulyo (tempat orang-orang dari Jawa bermukim) menuju Polewali. Ada getar masa lalu yang mengharu-biru. Tiba-tiba senar-senar tali temali kalbu saya ikut berbunyi. Irama yang saya tidak mengerti, tapi terasa akrab, seperti nyanyian desir darah sendiri. Ada keharuan. Alangkah indahnya substansi kemanusiaan. Tiba-tiba masa lalu menjadi dekat, bahkan diam-diam menyatu dengan masa kini. Saya tidak tahu, masa lalukah yang hidup lagi pada jiwa saya, atau saya yang tiba-tiba hidup pada masa lalu? Saya lalu teringat dua baris sajak W.S. Rendra:
Kemarin dan esok Adalah hari ini
Ternyata ada beberapa denyut masa lalu yang tidak bisa mati sampai kini, yang kemudian dirumuskan Chairul Anwar, ''Aku mau hidup seribu tahun lagi.''
Ke tanah Mandar saya merasa minum ''air kehidupan'' yang menyegarkan jiwa. Tidak salah kalau Ridwan Hilal, sahabat saya berkata: ''Sambongi' to Madura mottong di lita' Mandar, Mandar mitu'u'' (Semalam saja orang Madura bermalam di tanah Mandar, telah jadi Mandarlah dia).
Lagu mana saja, yang lahir dari rasa seni yang murni yang bisa dihayati, meskipun bahasanya tidak saya mengerti, tetap bisa saya nikmati. Bahasa etnik lain, kadang serasa sebuah instrumentalia yang penuh alegori, metafora, yang rahasia.
***
No comments:
Post a Comment