Wednesday, July 22, 2020

Eksotisme Wangi-Wangi Sajak Gani

Syamsudin Noer Moenadi *

ADALAH Syaifuddin Gani, penggiat seni, tinggal di kota Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, yang saat ini namanya mulai mengepak dalam peta kepenyairan Indonesia. Karyanya tersebar di beberapa media cetak, dan pada April 2011 menerbitkan sebuah antologi sajak, diberi  judul Surat dari Matahari, yang berisi 66 sajak.

Surat dari Matahari, dipakai sebagai judul antologi tersebut, ditulis di Bekasi (suatu kota yang jaraknya 20-an kilometer dari Jakarta) tahun 2005, menarik untuk diselami. Sajak itu sederhana, pilihan katanya tidaklah rumit, mudah dimengerti, serta metaforanya tidak membuat berkerut kening. Justru menurut saya, sajak itu adalah titik awal kegelisahan Gani, sapaan akrabnya, dalam melakukan perjalanan ataupun pengembaraannya menapak Pulau Jawa. Gani merasakan betapa suasana tempat yang baru dipijak terasa penuh “airmata langit dan gerimis yang jatuh bersuara parau” ketimbang di tanah Sulawesi yang tidak lain “di pulau–pulau terjauh, bintang bergetaran, perahu-perahu menjauh, lelampu bertangisan“ (Sajak Wangi-Wangi).

Sebagaian besar, malah paling banyak, sajak Gani yang terhimpun pada antologi pertamanya ini, ditulis di Kendari, Sulawesi Tenggara, juga di Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Surabaya (Tanjung Perak), dan Tarakan (Kalimantan). Dan Gani sendiri lahir di Kampung Salubulung, Mambi, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Karenanya, saat menulis sajak, wajarlah jika Gani tidak ubahnya seorang perekam lingkungan yang piawai.

Gani pun sesungguhnya bukan termasuk seorang penjelajah maupun pengembara sejati yang  gemar menyusuri pelosok Indonesia. Setidaknya sajak yang ditulisnya lebih berkutat pada perjalanan yang dilakukan di seputar Sulawesi. Hal ini jelas terdeteksi dengan mencantumkannya nama daerah (tertera) dalam sajaknya. Membaca antologi Surat dari Matahari, terkesan sekali Gani sangat mencintai daerah Sulawesi yang memberikan jiwa serta roh dalam berkarya. Gani merasakan, meresapi energi itu dan mampu memotret wilayahnya dengan hati, juga kegelisahan yang membara. Gani tidak sekadar menulis mengenai kekaguman daerah, melainkan ungkapan perasaan yang gundah dan lara.

Sajak “Wangi-Wangi” salah satunya. Bahwa kata–kata yang dipilih terasa sendu. Untaian kalimat ditulis Gani secara mengalir, lembut, dan bertenaga. Suasana pun menjadi gemetar. Seperti kita tahu, sekarang ini Wakatobi ialah daerah wisata yang menjadi perbincangan masyarakat dunia. Banyak turis dari berbagai negara Asia, Eropa, Australia, dan Amerika (Serikat), tidak terkecuali turis lokal, asal Indonesia tentunya, terkagum-kagum dengan eksotisme Wakatobi. Bagaimanapun Wakatobi menjadi satu di antara jantung terumbu karang dunia, dan surga bagi para penyelam.

Wakatobi sebetulnya gabungan nama dari empat gugus pulau besar. Yakni: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, yang 97 persen merupakan kawasan perairan. Jumlah pulau yang berada di bagian selatan dari ibukota Sulawesi Tenggara, tercatat sebanyak 142 gugus pulau. Gugusan pulau di Wakatobi itu banyak memiliki pantai pasir putih. Begitu eksotik. Hambaran pasir yang kelok-kelok, serta permukaan laut di sekitar pesisir gugusan pulau terlihat warna biru muda yang begitu indah nian.

Wangi-Wangi bukan laporan jurnalistik. Tapi sajak yang ditulis Gani dengan nuansa eksotisme, ditambah pilihan kata-kata yang tertata rapi. Tidak memperlihatkan emosi yang gemertak. Gani tidak menyodorkan data maupun angka. Sebaliknya menorehkan gumam kepedihan sekaligus keindahan yang pilu. Maka kalimat yang dihimpun dalam sajak Wangi-Wangi itu beraroma nestapa. “Ombak membuih, gugur jua di pangkuan karang, pepasir memutih, pudar dalam tangisan malam.“

Andaikata Anda ke Wakatobi, pastinya pertama kali mendarat di Pulau Wangi-Wangi. Maklum fasilitas di pulau ini belum memadai. Buat Jakarta, penerbangan dari Jakarta menuju Wakatobi–dilayani Express Air-memperlukan waktu lebih empat jam dengan sekali transit di Makassar. Melalui laut pun tentu bisa, yaitu melalui Tanjung Priok menuju Makassar-Baubau- dan langsung Wakatobi.

Atau dari Jakarta ke Kendari, penerbangan langsung dengan Lion Air. Terus dari Kendari ke Kota Baubau, via laut, lantas-masih menempuh perjalanan laut setiap saat dari Baubau ke Wanci–ibukota Wakatobi dengan kapal kayu. Harga tiket kelas tidak terlalu mahal, mencapai seratus ribu rupiah, dan untuk yang menggunakan kamar, seratus limapuluh ribu rupiah. Jarak tempuh Baubau–Wanci dengan kapal kayu mencapai 12 jam.

Sementara dengan kapal cepat Baubau-Wanci, setiap hari dua kali, bisa ditempuh 5 jam. Bisa pula dari Baubau ke Lasalimu dengan keadaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu–Wanci selama dua setengah jam. Apabila Anda naik pesawat terbang dari Jakarta, maka pesawat akan mendarat di Bandara Matahora, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Bagi Gani pulau Wangi-Wangi tidak lain kenangan yang memukau dan menggoreskan jejak. “Pangkal teluk merah dan memar, dirongong persenggaman alam, gadis-gadis berdaging samar, lambaikan senyum tangiskan salam. Kutinggal dermaga wangi-wangi, angin gemetar meraungkan nafasmu wangi, tahun depan, angin timur mengarak kenangan, aku datang mengepang rambutmu jadi delapan.“

Sajak Wangi-Wangi ditulis Gani pada April 2008, jadi sudah tiga tahun lalu.  Pastilah keadaan Wakatobi telah berubah, sertamerta turis yang datang makin banyak jumlahnya. Wakatobi merupakan satu-satunya kabupaten yang keseluruhan wilayahnya masuk ke dalam teritori Balai Taman Nasional Wakatobi seluas 1,39 hektar. Berdasarkan Operation Wallacea yang dilakukan sejak tahun 1996, diketahui Taman Nasional Wakatobi memiliki 942 spesies ikan dan 750 spesies dari 850 spesies terumbu karang dunia dengan bentuk topografi slope, flat, drop-off, atol dan underwater cave.

Melalui Wangi-Wangi Gani merekam kemolekan Wakatobi dengan kegundahan. Memang, di Wakatobi, Gani bertamasya sesaat. Tiga tahun setelah dijepret Gani, perubahan telah terjadi dan bergerak cepat. Andaikata Gani datang kembali, niscaya pangling. Pariwisata telah membuat Wakatobi menjadi semerbak. Sebagai tempat pariwisata pilihan, Wakatobi laris manis, serta dilirik investor maupun pengusaha travel. Para pengusaha travel, sekarang ini– apalagi di musim liburan, sengaja mengiming-iming  eksotisme.  Di sana telah tumbuh resort mewah yang betul-betul memanjakan gaya hidup.

Sebaliknya gambaran eksotisme Sulawesi Tenggara yang ditampilkan Gani lewat antologi Surat dari Matahari, berisi 66 sajak, itu tak dilebih-lebihkan. Malah menawarkan jiwa yang memelas dan nestapa. Betapa eksotisme Gani merupakan guman yang lirih, mengingatkan bahasa penyair Amir Hamzah, Linus Suryadi Ag, atau Kirjomulyo. Betapa saya membaca beberapa sajak di antologi tersebut terseret arus perih. Kata dan kalimat yang dipilih bergulir tanpa beban makna. Namun mempunyai beban makna. Bacalah, “di perempatan mandonga, waktu lalu lalang tersantuk-antuk, berpusar pada sebuah budaran, yang dilumuri muntahan-muntahan waktu.“

Lalu bait sajak berjudul “Perempatan Mandonga” diteruskan dengan hentakan , “mau kemana tuan? ke punggolaka, menguburkan sukmaku yang sekarat, kenapa anda tergesa-gesa? akh, ke tobuha, menamatkan jiwaku yang keok, siapa yang bersesakan di mobil angkutan? mungkin para ode dan para bio menyeret kekalahan, ke pelabuhan.“ Benar-benar saya tergelincir ngilu membaca sajak karya Gani. Benar-benar saya terpana dengan eksotisme yang dicuatkan. Kata-kata dalam sajaknya terasa bersahanya, berguman datar, dan mengulum bersama hati yang terdalam. Itulah pujian saya, serta selamat menyair, Gani.

[Tulisan ini pernah dimuat di Harian Analisa Medan, Harian Kendari Pos dan sastradigital.com]

*) Syamsudin Noer Moenadi, Dosen, Penikmat Sajak. Tinggal di Jakarta.
http://media.kompasiana.com/buku/2011/09/07/eksotisme-wangi-wangi-sajak-gani/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar