tag:blogger.com,1999:blog-11187694844337863102024-02-07T22:22:16.865-08:00Media KAMA_POLallaq Tassisaraqrodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.comBlogger417125tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-36357908610997488312021-08-30T02:30:00.003-07:002021-08-30T02:30:31.004-07:00Budi Darma dan Tiga Anak Jembel: Sebuah ObituariEka Kurniawan *<br />Jawa Pos, 22 Agu 2021<br /> <br />Budi Darma merupakan satu di antara sedikit penulis langka. Ketika kita
sering mendengar banyak keluhan tentang kenapa segala ihwal Indonesia ditulis
para penulis asing, dalam hal ini ”Barat”, bahwa Indonesia (atau bahkan Asia)
harus menulis dirinya sendiri, Budi Darma melompat lebih jauh.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Si anak dari negeri antah-berantah, yang dalam percaturan peta kesusastraan
dunia di pinggiran pun jarang tercatat, menulis manusia-manusia asing di negeri
asing. Tak sekadar asing, tetapi negeri dunia pertama, bahkan sering dianggap
pusat dunia secara politik, ekonomi, termasuk kesusastraan. Terutama melalui
dua karya pentingnya, Olenka dan Orang-Orang Bloomington.<br /> <br />Tentu saja Amerika dan negeri-negeri dunia pertama sudah sering ditulis,
sebagian besar oleh mereka sendiri. Amerika bahkan bisa menyusun sejenis peta.
Negara-negara bagian diganti dengan nama-nama novel atau cerita pendek yang
latarnya menggantikan tempat-tempat tersebut. Kota-kotanya juga bisa diganti
dengan nama-nama fiktif dari kisah yang pernah hidup di kota itu.<br /> <br />Memang, siapa yang akan peduli jika seorang penulis dari negeri jauh
bernama Indonesia menulis tentang orang-orang di sebuah kota bernama
Bloomington? Namun, Budi Darma, yang pada era 70-an bahkan untuk ukuran
Indonesia namanya masih samar (dia menulis beberapa cerita dan esai sebelumnya,
sementara kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington terbit pada 1981),
melakukannya.<br /> <br />Dia lahir di Rembang, 25 April 1937. Di luar posisinya sebagai salah
seorang penulis penting negeri ini, hidupnya lebih banyak dihabiskan di dunia
akademik sebagai dosen. Di pagi 21 Agustus 2021, ketika dunia masih dilanda
kemurungan akibat pandemi yang tak juga menampakkan horizonnya, dia
meninggalkan kita semua.<br /> <br />Kabar menyedihkan kepergiannya tiba sesungguhnya tak lama setelah bukunya,
Orang-Orang Bloomington, diumumkan segera terbit dalam edisi terjemahan Inggris
tahun depan. Yakni, oleh imprint yang sangat besar dengan distribusi luas,
Penguin Classics. Artinya, kisah-kisah manusia Bloomington yang ditulis si
orang Indonesia akan lebih mudah dibaca dunia. Termasuk akhirnya oleh
orang-orang di Bloomington.<br /> <br />Kita lebih sering mendengar kabar kematian akhir-akhir ini. Kerabat,
tetangga, teman dekat, dan tokoh-tokoh besar. Di tengah pandemi yang tak kenal
ampun, kita semua adalah tiga anak jembel. Ya, saya tiba-tiba teringat dengan
tiga anak jembel itu, yang mula-mula hadir di pembukaan salah satu novelnya.<br /> <br />Jika membaca Olenka, kita akan sadar Budi Darma tak hanya menulis semesta
kecil asing bernama Apartemen Tulip Tree (yang juga tempat tinggalnya saat
menjadi mahasiswa), tetapi juga mencatat, mengorek-ngorek, dan menempel
kesusastraan mereka. Persis seperti yang dilakukan Wayne Danton, tokohnya,
dengan kata-kata.<br /> <br />Bahkan, nama Olenka, sebagaimana pengakuannya, dicomot dari tokoh ciptaan
Chekhov dari cerita pendek berjudul The Darling. Seperti yang dilakukan Danton
dengan kisah istrinya yang merombak satu cerita menjadi kisah fiktif lainnya,
Budi Darma merombak Olenka milik Chekhov menjadi miliknya.<br /> <br />Kalau membaca dengan cermat, termasuk esai-esainya, kita tak bisa menampik
bahwa Budi Darma merupakan seorang pembaca dunia. Namun, pada saat yang sama,
dia tak melulu bicara tentang dunia yang demikian luas, apalagi secara khusus
hendak memperkenalkan kehidupan negeri asing. Jika kita mencoba lebih cermat
lagi, kenyataannya dia bicara tentang manusia.<br /> <br />Manusia dalam karya-karyanya seperti Olenka yang dipajang di dinding, atau
di atas lemari, atau dihamparkan di meja makan. Manusia merupakan sejenis peta.
Yang paling menarik darinya adalah bagaimana dia membaca peta bernama manusia
itu.<br /> <br />Dia membaca manusia seperti seorang pelamun. Tindak tanduk mereka tak hanya
dilihatnya sebagai gerak badan, tetapi bisa menyeretnya mengembara ke novel
D.H. Lawrence atau puisi T.S. Eliot. Melemparkannya ke waktu saat balon
melintas di langit kota.<br /> <br />Manusia dan kesusastraan, jika saya boleh dengan liar menafsirkan
karya-karyanya, bagi Budi Darma, merupakan ”tiga anak jembel”. Dia ada untuk
menyeret kita ke segala hal, dia hadir untuk meletupkan beragam persoalan,
membongkar khayalan, nafsu berahi, ambisi manusia. Kekuatan-kekuatannya, juga
ketololan-ketololannya.<br /> <br />Coba kita pikirkan, betapa pentingnya posisi tiga anak jembel dalam Olenka,
tetapi sekaligus tidak penting. Seperti pengakuannya, novel itu tak akan pernah
lahir tanpa pengalaman melihat tiga anak dekil naik lift, dan persis itu pula
yang dituliskannya. Pada saat yang sama, novel itu tak bercerita tentang
mereka, kecuali sekelebat saja.<br /> <br />Seperti tiga anak jembel, salah seorang maestro kesusastraan kita ini telah
menunaikan tugas kehidupannya. Delapan puluh empat tahun hidupnya, dalam ukuran
peradaban manusia, bisa jadi bahkan lebih sekelebat dari kehadiran tiga bocah
di lift apartemen. Namun, saya percaya, dia akan menyeret kita, sebagian seperti
digresi di Olenka, ke berbagai hal. Baik sebagai pribadi yang selalu hangat
maupun melalui karya-karyanya.<br /> <br />Selamat jalan, Pak. Tekan tombol lift bersama tiga bocah rekaanmu dan
terbang ke langit yang penuh kemungkinan.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis,nomine The Man Booker International
Prize 2016. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/budi-darma-dan-tiga-anak-jembel-sebuah-obituari/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/budi-darma-dan-tiga-anak-jembel-sebuah-obituari/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-40337527850720091112021-08-28T22:56:00.004-07:002021-08-28T22:56:25.231-07:00Aryadi Mellas, ”Nabi Sastra”-nya AnnuqayahRaedu Basha *<br />radarmadura.jawapos.com, 1/4/2019<br /> <br />Kalau Anda bertanya, siapakah salah seorang gembong sastra Indonesia di
Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, sehingga pesantren tersebut
dikenal sebagai ”lumbung santri penyair”? Jawabannya adalah, tidak lepas dari
seorang santri lelaki kelahiran Besuki, Jawa Timur, bernama Aryadi Mellas.<br /> <br />”Aryadi Mellas seumpama nabi bagi sastra dan kesenian di Pondok Pesantren
Annuqayah sendiri,” jawab M. Faizi, seorang pengasuh muda Pondok Pesantren
Annuqayah yang juga dikenal sebagai penyair, saat saya berkunjung ke rumahnya,
2 September 2015.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Aryadi Mellas adalah santri senior yang sampai saat ini masih menetap
selama lebih 20 tahun sebagai santri di Pondok Pesantren Annuqayah dan belum
jua berstatus alumnus. Ia pun belum juga berkeluarga. Saya menjumpai Aryadi
pada malam hari tak lama setelah M. Faizi memberitahukan keberadaan Aryadi saat
ini. Akhirnya kami berjumpa di sebuah ruang kesehatan pesantren. Sehari-hari
Aryadi menjadi abdi dalem pengasuh pesantren sejak puluhan tahun lalu.<br /> <br />Ketika saya bertemu Aryadi dia terlihat kurang sehat, batuk-batuk, masa tua
sudah menyapa, sakit-sakitan. Tidak seperti lima belas tahun lalu ketika kali
pertama saya mengenalnya kendati tak sungguh kenal baik, sosok yang dingin.<br /> <br />Rambutnya kini mulai beruban dan dibiarkan memanjang dengan ditali belakang
dan ditutup kopiah putih. Pria berewok itu terus melajang, entah, atau mungkin
sudah tak punya lagi hasrat untuk menikah sebagaimana galibnya santri
laki-laki. Dia masih nyantri di pesantren seumpama santri sejati. Kulit
wajahnya yang mulai keriput dimakan usia, terlihat hitam bekas sujud di
dahinya, dengan suara serak-serak khasnya, ia bercerita tentang masa lalunya,
pada awal mula ia belajar mengarang sastra secara otodidak.<br /> <br />Diakuinya, menulis sejudul puisi biasa dilakukan selama berbulan-bulan.
Santri yang mungkin sudah lewat usia 60 tahun ini mulanya sering memenangkan
lomba tingkat sekolah daerah, sampai saat ini dia masih menulis dalam
diari-diarinya yang dibiarkan menjadi rahasianya sendiri.<br /> <br />Kenapa ia demikian merahasiakan diarinya? Ada sejarahnya, katanya. Dia
mengaku, sejak buku catatan hariannya yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya
selama bertahun-tahun raib ketika ia tinggal di Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo, selulus SMP, akibatnya dia minggat dari Nurul Jadid Paiton karena
dia merasa buku tersebut adalah separo hidupnya. Dia ingin move on dan nyantri
ke Guluk-Guluk pada 1986. Hanya saja toh walaupun karyanya tetap menjadi
rahasia, tetapi karya anak-anak santri generasi-generasinya di pesantren dibaca
oleh masyarakat.<br /> <br />Saya mengenal Aryadi sudah sejak lama, sejak saya sendiri nyantri di
pesantren tempat Aryadi Mellas juga nyantri. Dia santri generasi tua di
Annuqayah, tetapi walaupun saya bermukim di pesantren tersebut dari 2001 sampai
2007, saya merasa segan untuk berkomunikasi lebih intim, tak berlebihan jika
sebagian orang mengatakannya sebagai ”santri misterius”.<br /> <br />Hanya setiap kali acara haflatul imtihan yang digelar setiap tahun di
Pondok Pesantren Annuqayah, saya sering menonton pertunjukan baca puisinya di
hadapan para kiai (dan mungkin hanya Aryadi yang diberi tempat khusus
mendeklamasikan sajak-sajaknya di hadapan para kiai) sejak 1988 sampai 2007.
Setelah itu ia sepertinya mengundurkan diri untuk tampil dan tidak ada gantinya
sampai sekarang, meskipun santri penyair di Pesantren Annuqayah tidak dapat
dihitung dengan jari.<br /> <br />Biasanya, setiap kali Aryadi selesai beraksi di panggung selalu mengundang
diskusi, baik di kalangan santri dan di kalangan dewan pengasuh. Teriakan
histeris melengking, terlebih dengan puisinya yang masyhur di kalangan
pesantren berjudul ”Maut”. Pertunjukannya senantiasa menimbulkan gejolak dan
efek bagi proses berkarya sastra bagi santri itu sendiri. Pertunjukannya yang
bernuansa kritis terhadap kondisi pondok pesantren khususnya di Annuqayah
membuatnya mendapatkan tempat untuk bicara tentang—kata Rendra—”derita
lingkungan di pondok pesantren yang dimukiminya, Annuqayah.<br /> <br />Misalnya ketika banyak pengurus pesantren meninggalkan tanggung jawab, dia
mengadakan panggung drama yang mengingatkan tentang nilai-nilai pengabdian.
Juga ketika ada salah seorang kiai muda mencalonkan diri sebagai bupati, dia
dengan lantang berpuisi di hadapan kiai menyampaikan kegelisahannya dengan
puitis diiringi pesauan biola.<br /> <br />Bagi saya, ketika mengenang seorang Aryadi Mellas, ia seperti puisi itu
sendiri dan sebaliknya, puisi adalah Aryadi. Mungkin tidak berlebihan bila saya
menyebut pertemuan dengan Aryadi seperti bersua dengan Umbu Landu Paranggi.
Kami mengobrol sampai larut malam tanpa minuman, tanpa makanan ringan
sekalipun.<br /> <br />Aryadi mengaku dirinya yang membawa ”virus” sastra di Pesantren Annuqayah
sejak dia mendapat restu untuk mendirikan sebuah komunitas seni di pesantren
yang konon sangat salaf (tradisional), bernama Sanggar Shafa pada 1988, tepat
pada pergantian abad kedua karena Pesantren Annuqayah didirikan Kiai Syarqawi
pada 1887 M.<br /> <br />Pada mulanya Aryadi cemas, khawatir, dan waswas karena seni dan sastra
adalah hal baru di pesantren. Tetapi ketika Sanggar Shafa berdiri, sekitar
200-an santri ikut bergabung. Dari itulah pertemuan rutin mingguan belajar
sastra mulai puisi, cerpen, naskah lakon, dan novel berlangsung. Tak lama
kemudian anggotanya mulai menggalakkan sastra di sekolah-sekolah dan
pesantren-pesantren di Sumenep, mengadakan pementasan, pelatihan, menerbitkan
jurnal sastra dan lain semacamnya. Sehingga, sampai hari ini ”virus” kesenian
terutama susastra di Sumenep menjadi bom waktu. Setiap terbitan baik majalah,
jurnal, portal, surat kabar yang menayangkan halaman sastra maupun dalam
perlombaan sastra, juga di panggung-panggung deklamasi, rasa-rasanya sudah tak
asing dengan nama-nama sastrawan berlatar belakang pondok pesantren atau
berkultur santri dan khususnya berasal dari Madura.<br /> <br />Annuqayah Guluk-Guluk sendiri menjadi barometer sastra pesantren di
Indonesia. Alangkah sangat naif rasanya bila melepaskan nama seorang lelaki
yang membiarkan hidupnya sebagai santri tua, dialah Aryadi Mellas, sang ”nabi
sastra” Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Semoga dia diberikan kesehatan
dan terus menjadi ”virus” bagi kegelisahan santri untuk menulis khususnya
sastra.<br /> <br />”Saya terkadang merasa berdosa apabila melihat para santri yang berkegiatan
di dunia kesenian berkelakuan nakal, suka bolos, dan sering melanggar peraturan
kiai. Semoga saya diampuni,” ujar Aryadi sambil menekan dada.<br /> <br />*) Sastrawan, bidang sastra Lesbumi NU Jawa Timur.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Baca juga di Jawa Pos Radar Madura edisi cetak Minggu, 31 Maret 2019 </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/aryadi-mellas-nabi-sastra-nya-annuqayah/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/aryadi-mellas-nabi-sastra-nya-annuqayah/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-84211065770271452962021-08-28T08:41:00.004-07:002021-08-28T08:41:45.299-07:00MEMBACA DARMA<p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZnQIaCzDde8PqBMhZGF5u3jRUB0E-Im3dgbFSN-Zx86ve9k8yHZnr0PABDow4Tj5RGE1v-ZEqsLO5h8d_zgbhRJ5IBSbNCtRgN6kl1hWSGcpfywube_9_M6yhv59TSKOk6SB0gWjtj80/s448/Budi+Darma%252C+Karya+dan+Dunianya%252C+buku+Wahyudi+Siswanto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="328" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZnQIaCzDde8PqBMhZGF5u3jRUB0E-Im3dgbFSN-Zx86ve9k8yHZnr0PABDow4Tj5RGE1v-ZEqsLO5h8d_zgbhRJ5IBSbNCtRgN6kl1hWSGcpfywube_9_M6yhv59TSKOk6SB0gWjtj80/s320/Budi+Darma%252C+Karya+dan+Dunianya%252C+buku+Wahyudi+Siswanto.jpg" width="234" /></a></p>Eddi Koben<a name='more'></a><br /> <br />Sejak membuka segel buku ini pada tanggal kematian Budi Darma, saya terus membaca setiap pagi di bawah matahari. Ditemani secangkir kopi dan beberapa ‘panganan’ lawas seperti rengginang, pisang goreng, singkong goreng, awug, surandil, gegetuk, atau ketan serundeng, saya membaca lambat-lambat buku ini.<br /> <br />Ya, saya bukan tipe pembaca cepat yang bisa melahap seluruh isi buku dalam waktu satu atau dua jam. Saya bisa menamatkan pembacaan buku selama berhari-hari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun-tahun. Saya selalu ingin menikmati setiap huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang saya baca tanpa tergesa.<br /> <br />Buku "Budi Darma, Karya dan Dunianya" yang ditulis oleh Wahyudi Siswanto ini saya selesaikan kemarin pagi, tepat 7 hari setelah kematian Budi Darma pada 21 Agustus 2021 lalu. Malam harinya, saat keluarganya (mungkin) menggelar tahlilan 7 hari kepergiannya, saya mencoba merenungkan kiprah seorang Budi Darma dalam dunia kepenulisan.<br /> <br />Buku yang saya beli pada sekitar tahun 2007 ini belum pernah saya baca sama sekali. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, saya tak begitu mengenal penulisnya. Kedua, sampul bukunya tidak artistik. Ketiga, saya kurang begitu tertarik pada karya-karya (cerpen) Budi Darma yang baru saya baca beberapa saja di koran yang ada rubrik sastranya. Keempat, ya malas saja.<br /> <br />Tega betul saya membiarkan buku yang telah saya beli belasan tahun lalu, tapi tak pernah saya baca. Maka, pada tanggal kematian Budi Darma seminggu yang lalu, saya mulai membacanya dengan perasaan berdosa yang sangat.<br /> <br />Setelah selesai membacanya kemarin pagi, saya betul-betul menyesal. Andai saja saya langsung membacanya sejak tanggal pembelian buku ini pada belasan tahun lalu, mungkin saya bisa belajar banyak hal lebih awal tentang Budi Darma dan dunia kepenulisannya.<br /> <br />Dalam buku ini saya menemukan beragam informasi terkait Budi Darma mulai dari kehidupannya di masa kecil, remaja, dewasa, hingga ia menjabat sebagai rektor sebuah universitas di samping pekerjaannya sebagai pengarang.<br /> <br />Obsesi seorang Budi Darma sejak kecil begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Tak jarang karya-karyanya menorehkan prestasi yang sangat membanggakan. Tercatat, novel "Olenka" yang ditulisnya akhir tahun 1979 memenangi Sayembara Mengarang Novel Dewan Kesenian Jakarta 1983. Novel ini banyak dibahas dan dibicarakan ahli sastra, baik di dalam maupun luar negeri (Siswanto, 2005:164).<br /> <br />Melalui buku ini saya dapat melacak jejak-jejak kepengarangan seorang Budi Darma begitu lengkap. Wahyudi Siswanto begitu tekun mengulas cerpen-cerpen Budi Darma yang bertebaran di surat kabar dan majalah. Majalah Sastra Horison menjadi majalah yang paling sering memuat cerpen-cerpen Budi Darma sejak tahun 1970-an.<br /> <br />Ketiga novel yang dihasilkan Budi Darma, yakni "Olenka" (1983), "Rafilus" (1988), dan "Ny. Talis" (1996) tak luput diulas Siswanto begitu tajam. Maklum buku yang ditulis Siswanto ini berangkat dari disertasinya. Tak heran jika membaca buku ini, saya seperti menemukan kekakuan dalam gaya penulisan layaknya tulisan-tulisan ilmiah.<br /> <br />Namun, saya patut berterima kasih pada Wahyudi Siswanto yang telah memberi gambaran tentang apa dan siapa Budi Darma. Seorang pengarang kalem yang karya-karyanya penuh kemuraman ini ternyata banyak menginspirasi pengarang-pengarang generasi berikutnya. Budi Darma layak mendapat tempat terhormat di dunia kesusastraan Indonesia.<br /> <br />Terima kasih, Pak Darma. Selamat beristirahat di keabadian!<br /> <br />Cimahi, 28 Agustus 2021 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-darma/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-darma/</a>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-44481127085629656992021-08-27T22:44:00.000-07:002021-08-27T22:44:05.380-07:00Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab<p><b>(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)</b></p><div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2011/07/Menggugat-Tanggung-Jawab-Kepenyairan-Sutardji-Calzoum-Bachri.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="331" data-original-width="448" height="236" src="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2011/07/Menggugat-Tanggung-Jawab-Kepenyairan-Sutardji-Calzoum-Bachri.jpg" width="320" /></a><span style="text-align: left;"> </span></div>Mahmud Jauhari Ali<a name='more'></a><br /><a href="http://pustakapujangga.com/2011/10/the-truth-of-language-mantra-and-responsibility/">http://pustakapujangga.com/2011/10/the-truth-of-language-mantra-and-responsibility/</a><br /> <br />Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?<br /> <br />Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?<span></span><br /> <br />Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.<br /> <br />Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?<br /> <br />Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.<br /> <br />Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.<br /> <br />Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.<br /> <br />Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.<br /> <br />Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.<br /> <br />Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.<br /> <br />Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.<br /> <br />Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.<br /> <br />Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian<br /> <br />Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.<br /> <br />Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?<br /> <br />Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?<br /> <br />Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.<br /> <br />Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?<br /> <br />Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.<br /> <br />Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.<br /> <br />Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.<br /> <br />Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.<br /> <br />Bahasa Arab dan Banjar ……Bahasa Indonesia<br /> <br />Bismilahirrahmanirahim…….Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang<br />Kecuali pandira ini bagarak…Kecuali bendera ini bergerak<br />Maka maling kawa bagarak……Maka pencuri bisa bergerak<br />Barakat La ilahaillah………Berkat tiada Tuhan malainkan Allah<br />Muhammadarasulullah………..Muhammad adalah utusan Allah<br /> <br />Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.<br /> <br />Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.<br /> <br />Kata Pertama adalah Mantra<br /> <br />Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.<br /> <br />Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).<br /> <br />Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.<br /> <br />Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya<br /> <br />Siapakah penyair itu?<br />Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?<br /> <br />Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.<br /> <br />Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.<br /> <br />Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.<br /> <br />Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.<br /> <br />Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.<br /> <br />Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.<br /> <br />Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!<br /><p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language: IN;">Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011 </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab/</span></a></span></p></div></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-27805564884523841402021-08-26T07:18:00.003-07:002021-08-26T07:18:32.475-07:00Puitika Tubuh dan Kuburan <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglhL1KOAqg_uvADCJTnnfTffBNVkhIaAwDJLlk8cXi2867t3xblVI_AdbZZ0gtYVtRUJ6bHKeVBmpdwWjLMxvyJwqqHpeBee6J27v_3mXeC_E913CxDM1obxtDY2FdMH5C2lV_QdAxaEw/s448/Buku-buku+Binhad+Nurrohmat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="307" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglhL1KOAqg_uvADCJTnnfTffBNVkhIaAwDJLlk8cXi2867t3xblVI_AdbZZ0gtYVtRUJ6bHKeVBmpdwWjLMxvyJwqqHpeBee6J27v_3mXeC_E913CxDM1obxtDY2FdMH5C2lV_QdAxaEw/s320/Buku-buku+Binhad+Nurrohmat.jpg" width="219" /></a><div>Djoko Saryono *<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Penyair Binhad Nurrohmat terbilang kreatif dan produktif mencipta dan
memublikasikan puisi. Dalam beberapa tahun belakangan dia sudah meluncurkan 6
buku puisi. Pada tahun kedua pandemi dia memublikasikan antologi Tahta
Sungkawa, setelah sebelumnya antologi Kuil Nietsche dan Dari Selatan Pyongyang
(pada tahun pertama pandemi). Sebelumnya lagi, pada tahun 2019, dia
mempersembahkan dua antologi berjudul Kuburan Imperium dan Nisan Annemarie. Sebelum
itu dia juga menerbitkan Kwatrin Ringin Contong. Antologi Bau Betina dan Kuda
Ranjang sudah terbit pada paruh pertama dekade pertama Abad XXI. Jadi, dalam
rentang 20 tahun Binhad menelurkan tujuh antologi puisi.<br /> <br />Seperti terlihat dalam tujuh antologi puisinya, Binhad fokus secara
konsisten (dan kafah he he he kata apa ini?) pada pokok persoalan dan tema
besar tubuh dan kuburan. Tampaknya kepenyairan Binhad diabdikan dan difokuskan
untuk mengeksplorasi dan mengelaborasi tubuh dan kuburan dalam berbagai
dimensi, fase, ruang, dan kondisi serta ekosistem hidup. Binhad sedang
mengerjakan proyek tubuh dan kuburan dengan puisi-puisinya. Tak ayal, Binhad
layaknya pengagum eh pencandra tubuh sekaligus juru kunci kuburan manusia
(soalnya dia belum mencipta dan menerbitkan kuburan kucing atau anjing hee).
Puisi-puisi Binhad pun seolah-olah dihajatkan untuk menawarkan puitika
ketubuhan sebelum dan sesudah di kuburan.<br /> <br />Dalam antologi Bau Betina dan Kuda Ranjang yang terbit saat muda, Binhad
menggerayangi eh mengelaborasi tubuh yang muda, mekar, dan menggairahkan. Dia
melihat tubuh yang kuat dan merangsang sehingga memilih diksi betina dan kuda
ranjang dalam judul antologi. Dua antologi tersebut merupakan evokasi birahi
tubuh manusia yang masih jauh dari kematian, sebaliknya masih lekat dengan
hasrat ketubuhan dan pacuan ranjang. Dengan diksi-diksi kuat dan
metafor-metafor hewani Binhad mengendus segenap polah tubuh yang betina dan
berkategori kuda.<br /> <br />Pergeseran obsesi dan orientasi terjadi saat dia meluncurkan antologi Kuburan
Imperium dan Nisan Annemarie. Dalam dua antologi ini kita tak menjumpai lagi
tubuh yang betina atau jantan dengan kekuatan kuda dan permainan ranjang. Ruang
tubuh tak lagi di ranjang. Di sini kita malah bersua tubuh-tubuh yang sudah
ditinggal nyawa atau jiwa. Tubuh-tubuh itu berada di ruang bernama kuburan
bertanda nisan atau tidak. Bak juru kunci makam, dalam tiap puisi (di antologi
ini) Binhad mengajak pembaca melancong ke rupa-rupa kuburan sesuai dengan
tradisi dan adat kelompok manusia memperlakukan dan menyikapi tubuh yang sudah
terbaring di kuburan. Puisi-puisinya dalam dua antologi tersebut bagaikan
gebyar karnaval pelbagai macam kuburan yang dihuni tubuh yang berpisah nyawa.<br /> <br />Obsesi dan orientasi kepenyairan Binhad
tiba-tiba terasa menikung tajam (bak pebalap Vallentino Rossi) ketika
menerbitkan antologi Dari Selatan Pyongyang. Meskipun puisi-puisi dalam
antologi ini sudah lama dicipta, namun momentum publikasinya bagaikan interlude
sebuah pawai tubuh di kuburan. Semacam jeda dari "kenduri" tubuh di
kuburan. Tapi Binhad tak berpaling dari tubuh di kuburan. Selang tak lama,
beredarlah Kuil Neitsche yang bagaikan tikungan balik, menyudahi interlude
puitika Binhad. Dalam Kuil Neitsche kembali Binhad merayakan tubuh dan kuburan
dengan diksi dan imajinasi berbeda dengan antologi yang lalu. Di sini Binhad
terus melancong jauh untuk mengelaborasi kemungkinan puitik tubuh dan kuburan
di berbagai ruang lain.<br /> <br />Saat pandemi masuk tahun kedua Binhad menggeber antologi Tahta Sungkawa.
Dalam antologi ini Binhad seperti mengungkapkan testimoni tubuh-tubuh dan
kuburan manusia di tengah kepungan pandemi. Di sini Binhad tak bicara tubuh
mati di kuburan, tapi juga tubuh hidup di dunia pandemik. Bagaimana tubuh
berjiwa dihempas pandemi, bagaimana tubuh terpisah nyawa disebabkan pandemi,
dan bagaimana tubuh mati di kuburan karena dikeramus oleh pandemi dieloborasi
oleh Binhad dalam Tahta Sungkawa. Diksi, gaya, metafor, dan imajinasi puisi di
antologi tampak lebih gemetar dan gentar, tak liar seperti dalam Bau Betina dan
Kuda Ranjang. Wajar saja, pasalnya Binhad mengelaborasi hayat manusia yang
begitu tak berharga, ajal yang tampak tak semena-mena pada hidup manusia, nyawa
yang tercerabut dari tubuh yang belum saatnya, dan arwah yang masih harus
terlibat sebagai saksi urusan pandemi di dunia. Di sini filsafat sempoyongan,
pengetahuan kebingungan, dan ilmu tampak tumpul, hanya spiritualitas dan
supranaturalitas bisa membantu memberi sedikit jawaban. Tak ayal, Tahta
Sungkawa bak requim kesedihan dan kegalauan tubuh hidup dan tubuh mati di
bekapan pandemi. Binhad melukiskan secara puitik pandemi bak telah menjelma
padang kurusetra dalam Baratayudha, tapi bukan meminjam tokoh wayang dan
tempat-ruangnya, melainkan dengan mengusung pelbagai ruang dan tempat di dunia.<br /> <br />Hop! Stop! Capek, sampai di sini saja. Jemari sudah ingin menjepit cangkir
kopi. Buat apa komen panjang-panjang puisi Binhad. Jelaslah tak so sweet. Lebih
so sweet kalau bercanda tandas dengan Binhad. Bukankah dengan puisi-puisinya
Binhad sedang mencandai tubuh dan kuburan? Dia memfanakan tubuh dan kuburan
sebelum kemudian menyakralkannya dengan menautkannya pada kekuatan spiritual?
Pokoknya, dengan proyeknya puitika tubuh dan kuburan, Binhad sedang mengajak
kita menikmati karnaval tubuh yang libidinal, tubuh yang sosial-sekular, tubuh
yang kosmis sampai tubuh yang spiritual. Binhad menjadi ahli geledah tubuh dan
kuburan manusia. Pada Binhad tubuh dan kuburan bagaikan membikin pengakuan,
yang diwadahi dalam puitika oleh Binhad. Lanjut...gas terus...proyek puitika tubuh
dan kuburan ini Gus Binhad.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/puitika-tubuh-dan-kuburan/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/puitika-tubuh-dan-kuburan/</a></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-7911095240276511162021-08-24T19:47:00.004-07:002021-08-24T19:47:39.051-07:00Puisi-Puisi Sutardji Calzoum Bachrisahdieng.blogspot.com<br /> <br /><b>Ah</b><br /> <br />rasa yang dalam!<br />datang Kau padaku!<br /> aku telah mengecup luka<br /> aku telah membelai aduhai!<br /> aku telah tiarap harap<br /> aku telah mencium aum!<br /> aku telah dipukau au!<span><a name='more'></a></span><br /> aku telah
meraba<br /> celah<br /> lobang<br /> pintu<br /> aku telah
tinggalkan puri purapuraMu<br /> rasa yang dalam<br />rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab
dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari
segala laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa
rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari
sega- la Anu puteri pesonaku!<br />datang Kau padaku!<br /> <br />apa yang sebab? jawab. apa yang senyap? saat. apa<br />yang renyai? sangsai! apa yang lengking? aduhai<br />apa yang ragu? guru. apa yang bimbang? sayang.<br />apa yang mau? aku! dari segala duka jadilah aku<br />dari segala tiang jadilah aku dari segala nyeri<br />jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari se-<br />gala jawab aku tak tahu<br /> <br />siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit<br />siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak si-<br />apa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal<br />siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau<br />tak aku yang paling rindu?<br /> <br />bulan di atas kolam kasikan ikan! bulan di jendela<br />kasikan remaja! daging di atas paha berikan bosan!<br />terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat<br />kamis selasa minggu! Kau sendirian berikan aku!<br /> <br /> <br /> <br /><b>Ah</b><br /> <br />rasa yang dalam<br />aku telah tinggalkan puri purapuraMu<br /> <br />yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung<br />yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang<br />mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu<br />yang mana tiang<br /> selain<br /> Hyang<br /> mana<br /> Kau<br /> selain<br /> aku?<br /> nah<br />rasa yang dalam<br />tinggalkan puri puraMu!<br />Kasih! jangan menampik<br />masuk Kau padaku!<br /> <br /> <br /> <br /><b>Hilang (Ketemu)</b><br /> <br />batu kehilangan diam<br />jam kehilangan waktu<br />pisau kehilangan tikam<br />mulut kehilangan lagu<br />langit kehilangan jarak<br />tanah kehilangan tunggu<br />santo kehilangan berak<br /> <br />Kau kehilangan aku<br /> <br />batu kehilangan diam<br />jam kehilangan waktu<br />pisau kehilangan tikam<br />mulut kehilangan lagu<br />langit kehilangan jarak<br />tanah kehilangan tunggu<br />santo kehilangan berak<br /> <br />Kamu ketemu aku<br /> <br /> <br /> <br /><b>Ngiau</b><br /> <br />Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku me-ngapa panjang.
Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya. Seorang perempuan
dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah
gang<br />yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu
Benua aku kenal jam aku tahu jentara aku
kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi
sepi mereka aku ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang
mana dosa yang mana surga.<br /> <br /> <br /> <br /><b>Luka</b><br /> <br />ha ha<br /> <br />1976<br /> <br /> <br /> <br /><b>husspuss</b><br /> <br />diamlah<br />kasihani mereka<br />mereka sekedar penyair<br />husspuss<br />maafkan aku<br />aku bukan sekedar penyair<br />aku depan <br />depan yang memburu<br />membebaskan kata<br />memanggilMu<br />pot pot pot<br /> pot pot pot<br />kalau pot tak mau pot<br /> biar pot semau pot<br />mencari pot<br /> pot<br />hei Kau dengar manteraku<br /> Kau dengar kucing memanggilMu<br /> izukalizu<br />mapakazaba itasatali<br /> tutulita<br />papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu<br />tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco<br />zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege<br />zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang<br />ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu<br />kuzangga zagezegeze aahh....!<br />nama nama kalian bebas<br />carilah tuhan semaumu<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="https://sahdieng.blogspot.com/2018/02/kumpulan-puisi-sutardji-calzoum-bachri.html">***</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-42861849764321420572021-08-24T19:45:00.001-07:002021-08-24T19:45:13.949-07:00Menjadi “Indonesia” lewat Sastra Melayu TionghoaWahyudi Akmaliah Muhammad<br /> <br />Dalam pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dahulu saya selalu
diajarkan bahwa karya sastra yang termasuk dalam Balai Pustaka adalah genre
sastra Indonesia modern, seperti Belenggu, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Di
luar karya sastra yang tidak tercantum dalam Balai Pustaka bukan bagian sastra
Indonesia modern. Dengan kata lain, buku-buku sastra yang lain tidak patut
dipelajari, karena bukan bagian dari detak sejarah sastra di Indonesia. Doktrin
inilah yang membeku hingga sekarang. Lalu, kategori apa yang digunakan Balai
Pustaka untuk menentukan bahwa sebuah karya termasuk sastra Indonesia modern?
Prosedur apa yang diterapkan untuk menelisik ke-modern-an itu?<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebenarnya, sastra Indonesia modern tidak terbatas dalam kategori yang
ditentukan Balai Pustaka. Sejak tahun 1870-1966 kesusasteraan Indonesia yang
ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” sudah berkembang.
Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806
orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim
sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya
itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759
terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.<br /> <br />Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam
perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra
muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya.
Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan
dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh
buku-buku bacaan lainnya.<br /> <br />Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya
sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya,
selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut
menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan
kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu
Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa
ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh
Balai Pustaka.<br /> <br />Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas
kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat
khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka
adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur)
yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung
atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini
berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal
dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).<br /> <br />Kehadiran Balai Pustaka yang disponsori pemerintah Hindia Belanda menjadi
lembaga kontrol yang otoritatif kepada masyarakat dengan menentukan pilihan
bacaan sastra yang “baik” dan “buruk”, rendah dan tinggi. Tujuannya ialah
membendung sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang
selama ini diterapkan. Imbas dari kebijakan ini, Selain masyarakat kurang
memiliki daya kritis saat membaca karya sastra yang ditentukan itu, tidak
terdokumentasikan karya-karya sastra non Balai Pustaka yang merupakan bagian
warisan sejarah perjalanan sastra nusantara (Aning Retnaningsih: 1983 ; A.
Teeuw: 1942).<br /> <br />Praktis sejak Indonesia merdeka, hanya sedikit sarjana dan penulis yang
memperhatikan perkembangan sastra Melayu Tionghoa yang dianggap bermutu rendah.
Pramudya Ananta Toer salah seorang penulis yang sedikit itu. Pada tahun 1963,
ia mengasuh rubrik lentera di harian Bintang Timur dan menuliskan sastra Melayu
Tionghoa dalam kontek sastra pra Indonesia bersama dengan karya-karya lain yang
ditulis dengan bahasa Melayu Rendah. Selain itu, awal tahun 1960-an ketika
mengajar di Universitas Res Publica (Ureca) Jakarta, ia mendorong beberapa
mahasiswanya untuk meneliti kesusastraan “Melayu Rendah”. Lalu muncullah
beberapa skripsi sarjana muda sastra yang mengambil tema sastra Tionghoa
peranakan. Meskipun kajian ini sedikit diketahui oleh publik.<br /> <br />Menurunnya minat untuk mengkaji sastra Melayu Tionghoa ini diperparah
dengan lahirnya Orde baru dengan pelbagai kebijakan terhadap orang Tionghoa
sejak tahun 1966. Selain menghilangkan karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, Orde
Baru juga melucuti pelbagai hal yang berkaitan dengan simbol kechinaan. Mulai
dari pelarangan sekolah, media massa, ormas, penggunaan bahasa Tionghoa hingga
pemaksaan umat Konghucu untuk memeluk lima agama yang diakui rejim Orde Baru.
Lewat kebijakan naturalisasi selama dua generasi ini membuat masyarakat
Tionghoa menjadi berjarak dengan akar budaya nenek moyangnya.<br /> <br />Selain itu, rejim Orde Baru juga membentuk mitos-mitos terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia. Pertama, mitos determinisme ekonomi, di mana orang
Tionghoa dibayangkan sebagai etnis yang secara esensialis memiliki kepiawaian
dan keuletan perihal perdagangan. Kedua, mereka secara kultural memiliki
tradisi yang berbeda dengan mayoritas etnis Indonesia kebanyakan. Seperti
bahasa yang digunakan, adat istiadatnya, selalu ingin tinggal dengan sesama
etnisnya, kulitnya lebih putih, dan etnis yang seragam; mitos keseragaman ini
mengindikasikan adanya persamaan dan pluralitas pun menjadi kabur (Ariel
Heryanto: 1998). Cara memandang orang Tionghoa sebagai liyan inilah yang
kemudian di reproduksi masyarakat Indonesia dan juga diamini orang Tionghoa
sendiri hingga kini.<br /> <br />Dus, Tionghoa bukanlah etnis yang baru di negeri ini, melainkan etnis yang
sudah berurat akar sebelum Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari etnis
nusantara di Indonesia yang juga turut membentuk kesusastraan Indonesia modern.
Selain itu, lewat karya sastra yang dihasilkan telah menciptakan imajinasi
kebangsaan mengenai apa itu “menjadi orang Indonesia”. Namun, faktor
kepentingan dan kuasa politiklah yang membuat mereka dianggap berbeda dengan
etnis-etnis yang lainnya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/10/menjadi-indonesia-lewat-sastra-melayu-tionghoa/">http://sastra-indonesia.com/2010/10/menjadi-indonesia-lewat-sastra-melayu-tionghoa/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-66978148035171350012021-08-24T19:41:00.005-07:002021-08-24T19:41:39.694-07:00Kehidupan Bathin dari Orang BesarHamka<br />luqmansastra.blogspot.com<br /> <br />Meskipun pada penglihatan orang2 diluar, radja2 jang besar itu hidup dalam
kemewahan dan kemegahan namun pada ‘adatnya kemewahan dan kemegahan itu hanja
nampak dari luar sadja. Banjak sekali orang2 demikian menanggung kesengsaraan
dan kesusahan jang tiada terperikan. Disini tidak akan kita terangkan bagaimana
sengsara nasib orang2 besar dan radja2 yang masih hidup, tjukup salah seorang
jang telah meninggal kita ambil perumpamaan, supaja mendjadi keinsjafan bagi
kita.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kaizer Frans Josep bekas Keizer dari keradjaan Oostenrijk-Hongaria yang
begitu luas.–seketika Keizer itu masih hidup, disekitar kemewahan lahir yang
kita lihat, baginda telah ditimpa berbagai matjam bala bentjana jang besar dan
ngeri, tetapi semuanja baginda hadapi dengan hati jang teguh bagai batu dan
kemauan jang keras lajaknya.<br /> <br />Pada lahirnja adalah Keizer Frans Josep keturunan Habsburg itu seorang
radja jang paling beruntung. Dialah seorang radja yang paling lama dibandingkan
denga radja2 jang semasa dgn di, duduk diatas singgasana kerajaan. 68 tahun
baginda memerintah disuatu keradjaan yang sangat luas. Dia meninggal dunia
dalam usia 86 tahun, setelah matanja kenjang oleh kemegahan dan kedjajan dunia,
jang agaknja orang yang ta’ tahu rahsia kesusahannja akan merasa dengki
melihatnja.<br /> <br />Diwaktu dia masih muda belia, sadara kandungnya Maxiemilien telah dihukum
bunuh. Meskipun bagaimana bergontjang hatinja diwaktu itu, sedikitpun ta’
kelihatan berbekas pada tubuhnja. Semangatnja jang masih muda dan darahnja yang
masih hangat telah berkuasa untuk menghilangkan peringatan jang pahit itu dari
dalam otaknja dan kenangannja. Belum lama setelah Maximilien dihukum bunuh,
dengan perasaan tabah dia menghadapi kematian istri saudaranja, perempuan mana
mati dibakar.<br /> <br />Tidak berapa lama kemudian; datang pula satu tjobaan jang paling mengenasi
diri baginda, pemaisuri keradjaan Oostenrijk, ratu Elizabeth ditimpa penjakit
otak. Seorang dokterpun tak kuasa mengobatinja lagi. Lantaran itu, permaisuri
tersebut ta’ kuasa lagi tinggal dalam astana, ta’ kuat terikat oleh ‘adat dan
isti’adat radja2 jang begitu berat, dia tinggalkan suaminja jang malang itu,
dia pergi mengahabiskan harinja ketempat2 mandi jang indah di corfo, Riviera,
Switzerland, untuk mengobat-obat sakitnja, setelah ta’ bertemu lagi dengan
baginda . Musibah jang besar itu telah diterimanja dengan teguh hati teguh
sebagai biasa, tjuma orang2 istana sadja jang keheranan melihat bagaimana rupa
dan wajah baginda ta’ berobah lantaran itu.<br /> <br />Sesudah itu datanglah satu musibah jang lebih besar lagi. Anak tunggalnja Arst-Hertog
Rudolf, Putera Mahkota jang akan menggantikan baginda duduk diatas singgasana
keradjaan, telah hadir dlm satu gala-abond jg diadakan oleh Ambasador Djerman
di Wenen, memepringati hari lahirnja Imperium Djerman Raja. Disana Arts-Hertog,
telah berkenalan dengan Baronesse Fitzera. Baronesse ini masih muda dan
djelita, baru berusia 17 tahun, sangat tjantiknja, sehingga baru melihat sadja,
hati Arts- Hertog telah lupa rasam-basi dan ‘adat isti’adat, dimuka orang
banjak dia menarokkan perhatian kepada Baronesse ini, dan dia lalai
menjelanggarakan istrinja sendiri Prises Stefani. Lantaran ini isterinja sangat
murka. Setelah hari pagi ia pergi kepada Keizer mengadukan halnja, bahwa
suaminja ditempat umum sebagai demikian telah melupakannja dan tidak menghargainja
sebagai seorang isteri. Dia kadukan pula bahwa sanja perhubungan suaminja
dengan Baronesse Fitzera telah diketahui oleh umum, telah menjadi buah tutur
orang banjak , djadi perbintjangan surat2 kabar. Prinses Stefani memohonkan
perlindungan kepada Keizer, sebab bagindalah pemimpin kefamilian besar jang
mulia itu, supaja baginda sudi memberinja perlindungan, sebab dialah kelak jang
akan mendjadi permaisuri dari Keizer Oostenrijk.<br /> <br />Baru sadja Prinses itu keluar dari istana, baginda menjuruh Arts-Hertog
datang keistana. Dia bawa duduk berdua-dua, waktu itulah anaknja dimarahinja
dan ditjelanja atas perbuatan jang djauh dari radja2. Anak itu disuruhnja
berdjandji, – djandji radja2 – supaja djangan bertemu lagi dgn Baronesse
Fitzera. Tetapi sebelum matahari terbenam, pangeran itu telah keluar dengan
keretanja keluar kota Wenem, didjemputnja Baronesse itu, dibawanja kesebuahV
illa didusun Mayerling, disana dia semalam-malaman itu. Sampai disana dia
mengadukan halnja kepada direktur villa itu, bagaimana kemerdekaan dirinja
diikat, langkahnja dihambat2, segala langkah kakinja dihitung, itu terlarang ,
ini ta’ boleh. Baru sedikit gerak geriknja, bagi orang umum mendjadi perhatian
besar, jang sedjengkal menjadi sedepa lajaknja. Apakah sebabnja ahli2 diplomat,
dan orang2 ahli bitjara dan utusan2 luar negeri banjak benar menghiraukan soal
persoon orang? ,,Wahai, – kata pangeran itu, – alangkah beruntungnja djika saja
dahulunja dilahirkan kedunia mendjadi seorang anak orang tani sadja, tidak
terhambat, –terhalang terbelintang seperti jang sekarang ini . Orang diluar
istana tidak mengetahui bagaimana kesusahan burung jang dikurung dalam sangkar
emas itu. Mereka hanja melihat keindahan sangkar itu, tidak mengetahui
bagaimana kesusahan dan penderitaan manusia2 jang diberi gelar radja,
bangsawan, pangeran dengan gelaran bintang mentereng, tetapi diikat dengan
beberapa aturan jang amat berat menjempitkan,dengan tidak memperhatikan
kesukaan dan tudjuan dan tjita tjita dari orang2 jang diikat itu. Hatta urusan
perkawinanpun, tidak hendak dilihat dan diperiksai perempuan manakah jang
disukainja; melainkan perempuan jang disukai orang2 ahli diplomat itu
kemuslihatan keradjaan itulah jang lebih dipentingkan. Segala keketjiwaan itu
telah disabarkan oleh direktur gedong jang indah itu, sebagaimana kebiasaan
orang2 jang telah mahir berhidmat kepada radja2 dan orang2 besa. Dan demi
setelah hari pagi Direktur itu terkedjut mendapati pangeran itu dengan
Baronesse Fitzera telah hantjur kepala keduanja oleh pelor.<br /> <br />Itulah musibah jang sebesar2nja diantara demikian banjak musibah jang
menimpa diri baginda Franz Josef. Musibah jang sekali ini tidak akan memberi
izin lagi baginda hidup lama2 didunia, ibarat bergantang sudah terlalu penuh.
Tatapi orang ,,besi” ini tetap dalam ke-besi-annja. Dia tidak senang mendengar
kalau ada orang membisikkan bahwa baginda kalah menghadapi serangan takdir jang
begitu hebat. Demi setelah dia bermenung seorang dirinja beberapa menit
lamanja, dia pergi kemedja sembahjang dia berlutut mendo’a dan memohon ampunan
Tuhan. Tidak beberapa djam kemudian, keluarlah perintah baginda dengan tenang
dan tegap, jang bersetudju dengan kedudukanja jang besar itu, menjiarkan kabar
opisil dari dalam istana, bahwasanja putera mahkota telah meninggal dunia
lantaran suatu luka dalam otak, dan penjakit djantung jang hebat. Adapun kabar
kemayian Baronesse Fitzera tidak disertakan dalam maklumat opisil itu. Masa itu
djuga dimaklumkan bahwasanja saudara baginda jang paling besar Aarts-Hertog
Franz Ferdinand menjadi putera mahkota. Setelah habis hari perkabungan umum
menurut ‘adat, baginda kembali pula mengerdjakan pekerdjaan pemerintahan
sebagai sediakala.<br /> <br />Tetapi belum sempurna ketentraman hati baginda atas musibah jang
sebesar2nja itu, datanglah raport dari Switzerland menerangkan bahwa permaisuri
baginda telah mati ditikam dengan pisau belati oleh seorang monarchist, ketika
permaisuri akan naik tangga kapal, jang biasa membawa penompang dari satu
negeri kenegeri lain dipinggir lautan.<br /> <br />3 bulan setelah permaisuri mati terbunuh, di Weenen dirajakan orang
,,jubileum mas” memperingati 50 tahun baginda duduk diatas singgasana
keradjaan.<br /> <br />Orang banjak merasa gembira, orang jang kurang pikir merasa dengki melihat
keberuntungan baginda telah 50 tahun dapat duduk diatas singgasana keemasan,
tetapi sedikit sekali orang jang meratap menangisi radja jang malang itu.
Golongan inilah jang tahu bahwa radja ini ta’ pantas dibentji, tetapi pantas
dikasihani dan diratapi.<br /> <br />Tidak beberapa lama setelah jubida Giravin Shofin Csheko, djuru raport
bahwasanja Aarst Hertog Franz Ferdinand jang akan menggantikan keradjaan itu,
telah djatuh tjinta kepada Gravin Shofie Csheko, djururawat Aarst Hertogin
Izabella. Putera Mahkota kerapkali benar berulang-ulang kedalam istana dengan
alasan hendak ziarah kepada Prinses padahal hanja lantaran hendak bertemu
dengan djururawat Shofie itu. Ketika itulah baru njata kemarahan baginda,
sehingga segala tjertjaan dan kemarahan didjatuhkan kepada saudaranja itu.
Untunglah hal ini diketahui oleh ahli2 bitjara dengan segeranja — sehingga bisa
didamaikan. Jaitu: Aarst-Hertog diizinkan kawin dengan djururawat itu tetapi
dia harus melepaskan hak2 jang perlu diterima oleh anak2nja dengan Shofie itu.<br /> <br />Tetapi malu besar itu telah mulai menambah banjak kerut kening baginda dan
membungkukkan punggungnja. Dan baru sadja hendak hening pembitjaraan orang,
tiba2 datang pula suatu malu jang lebih besar dari segala malu. Jaitu anak dari
saudaranja Aarts-Hertog Otto, telah keluar dari satu kamar dari sebuah hotel
jang bernama ,,sacha” –bertelandjang bulat, tidak berkain sebenang djuga dalam
keadaan mabuk. Tiba diluar kamar, bertumbuk dengan Ambasador keradjaan Ingris,
jang datang makan dengan isteri dan anak perempuannja kedalam hotel itu.<br /> <br />Inilah musibah yang tidak dapat ditanggung baginda lagi, tuanja bertambah,
mukanja bertambah kerut, malu jang bertjoreng dikeningnja dibawanja bermenung .
Lantaran timpaan jang tidak berhenti2 itu, rupanja ta’ tahan orang ,,besi” itu
lagi. Tiba2 pada tahun 1916, diwaktu perang besar sedang berketjamuk, dan
keradjaan Oostenrijk-Hongarie, berpihak pula kepada Djerman dan Turkey, pada
ketika itulah baginda mati dengan tiba2 lantaran hartverlamming, — dalam usia
86 tahun; setelah memerintah 68 tahun lamanja.<br /> <br />Dia kembali keachirat, kenegeri ketenangan dan kerahatan, terlepas dari
kebisingan dunia jang ta’terhingga ini.<br /> <br />Dia mati, dengan penuh kepertjajaan: bahwasanja kepalanja, satu kepala jang
lebih tahan memikul mahkota!<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/kehidupan-bathin-dari-orang-besar/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/kehidupan-bathin-dari-orang-besar/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-35692109130524278242021-08-23T05:45:00.007-07:002021-08-23T05:45:51.070-07:00SOLILOQUI PAK BUDI<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCc7OAHNWAX4QZBiZOJVHCt5r2gtOjRgCTFL6K60qrLya4CawmGEGlXd6ecSVAJabBKd3vPQyA66tKQ91mNSbqCYsIZDGlU12XDiQQ79y0wHjOJyWamUWwkVxb5MM1c4OdFOaWww86Kog/s341/Buku-buku+Budi+Darma.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="341" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCc7OAHNWAX4QZBiZOJVHCt5r2gtOjRgCTFL6K60qrLya4CawmGEGlXd6ecSVAJabBKd3vPQyA66tKQ91mNSbqCYsIZDGlU12XDiQQ79y0wHjOJyWamUWwkVxb5MM1c4OdFOaWww86Kog/s320/Buku-buku+Budi+Darma.jpg" width="315" /></a><span><a name='more'></a></span><div>Raudal Tanjung Banua<br /> <br />Seingat saya, sudah lima kali saya jumpa langsung dengan pengarang Budi
Darma. Masing-masing dua kali di Pekanbaru, sekali di Tanjungpinang dan
Makassar, terakhir di Jakarta. Itu pun dalam waktu singkat, boro-boro bicara
sastra empat mata, kami hanya sempat tegur sapa.<br /> <br />Pertemuan di Makassar misalnya, maaf, berlangsung di toilet hotel tempat
acara. Beliau ngantri di belakang saya, dan saat saya putar badan beliau
menyapa,"Sehat, Mas?"<br /> <br />"Sehat, Pak, semua lancar," jawab saya. Lalu saya menunggu di
luar, untuk kemudian kami jalan beriringan sambil bercakap-cakap ringan kembali
ke ruangan.<br /> <br />Di Pekanbaru juga begitu, hanya jalan bareng dari kamar hotel ke aula
tempat acara dan sebaliknya. Di Tanjungpinang, meski ikut bantu-bantu panitia,
tapi saya hanya sempat bicara soal teknis acara. Agak lama sedikit di lobi
sebuah hotel di Palmerah, Jakarta Selatan, dalam sosoknya kian sepuh. Beliau
didampingi putrinya, tapi seingat saya beliau masih pegang tas sendiri. Waktu
saya bantu bimbing turun dari mobil, ia menolak halus. Saat duduk di sofa lobi,
beliau bertanya tentang Yogya, di Yogya mana saya tinggal dan nanya apa masih
ada sego gurih seharga 5000-an, saya jawab ada meski kini lebih banyak dalam
format "nasi kucing" dengan harga setengahnya. Saya juga bilang suka
soto ambengan, namun agak merinding dengan rawon setan yang pernah saya coba di
Surabaya, dan obrol-obrol ringan sejenis itulah.<br /> <br />Tentu saja pertemuan singkat tersebut amat berkesan, salah satunya
membuktikan omongan orang yang sejak lama saya dengar. Bahwa Pak Budi itu amat
santun dan sejuk orangnya, tak seperti tokoh-tokoh prosanya yang dingin dan
liar. Dan kerap jadi contoh soal tentang hubungan teks dan pengarang.<br /> <br />Saya ingat dulu sering mempercakapkan ini dengan Bang Tan Lioe Ie dalam
sejumlah kesempatan. Bahwa, tokoh-tokoh fiksi ciptaan pengarang boleh senewen
dan jungkir balik, tapi pengarangnya kudu adem, pandai bersosial, bisa santai
dan normatif, meski sah-sah saja untuk ikut senewen. Tapi dalam konteks Pak
Budi karakter beliau tampaknya cocok dengan yang pertama. <br /> <br />"Kurang apa liarnya karakter Orang-Orang Bloomington, beda jauh dengan
pengarangnya," kata Tan. "Dan pengarang Indonesia lain, jika mau
bermain-main watak dan latar negeri asing, harus berjuang keras, jika tak mau
di bawah bayang-bayang Budi Darma, atau sekalian belajar banyak dari
kecanggihannya," lanjut Tan.<br /> <br />Itu benar, bila sosok dalam pertemuan-pertemuan singkat dengannya itu harus
dibandingkan dengan sosok Joshua Karabish, Orez, Yorrick, Charles Lebourne, Ny.
Nolan, Ny. Casper, Ny. Elberhart atau keluarga M atau laki-laki tua tanpa nama
yang sejak awal meneror kita dengan bermain-main pistol. Jauh tenan. Pak Budi
sejuk sekali, dan rapi jali penampilannya.<br /> <br />Akan tetapi bagaimana dengan konsepsi Budi Darma sendiri mengenai
soliloqui? Ini juga sering saya diskusikan dengan penyair Tan. Dalam arti
sederhana itu adalah obsesi dan secara luas bisa berarti ideologi. Tapi jangan
bayangkan ideologi kaffah dan masif. Ideologi tak harus menyangkut yang
besar-besar, terkait "isme-isme", termasuk Ideologi Pancasila yang
tanpa "isme" itu, namun bisa ideologi kecil, sub-versi, tak mesti
subversif.<br /> <br />Bahkan ideologi bisa terkait kegelisahan personal, meski ingat, harus
terus-menerus dipikirkan, konsisten diperjuangkan. Maka meski hanya kegelisahan
tentang soal "kecil", niscaya dapat menyublim. Dalam konteks Pak Budi
sendiri, soal itu berupa relasi manusia urban, di mana satu sama lain tak bisa
mendikte dan didikte, dan hubungan lazim digerakkan oleh kebutuhan, jika tak
butuh amit-amit, mengingatkan saya sedikitnya pada filsafat Gabriel Marcel.<br /> <br />Kegelisahan yang menyublim bahkan mampu menggerakkan ketaksadaran saat
menulis, tanpa pengarang sendiri tahu ke mana arah cerita, namun sepanjang itu
berlangsung dalam tataran obsesi yang berurat-akar, maka percayalah sidik jari
pengarang tak akan pernah hilang, dan semua terkendali. Mungkin itulah yang
disebutnya bahwa mengarang adalah rangkaian pernyataan takdir, dan ia jadi
pengarang karena takdir.<br /> <br />Sampai di sini saya jadi teringat buku-buku waktu SD yang sangat sederhana
dan lugas penyajiannya seperti "Ini Budi," atau "Ini bapak
Budi," namun begitu lama bersemayam dalam kepala. Seiring waktu, tentu
menyebar dalam berbagai varian, versi atau variasi, yang akan muncul begitu
saja saat saya berpikir katakanlah tentang dunia pendidikan. Dalam bentuk
paling sederhana, demikianlah saya memahami soliloqui Pak Budi Darma.<br /> <br />Menarik juga gagasan Pak Budi tentang lokalitas Orang-Orang Bloomington,
dalam makalahnya di Kongres Cerpen IV/2005. Ini menambah khazanah dan wacana
lokalitas jadi tak sebatas etnisitas apalagi eksotisme, melainkan entitas
semisal kehidupan urban- metropolitan. Makalah tersebut kami muat dalam Jurnal
Cerpen edisi khusus Kongres, dan Lan Fang meminta membawakannya buat Pak Budi
saat launching di Banjarmasin.<br /> <br />Ceramah Pak Budi dalam Temu Sastra Asia Tenggara di Pekanbaru sangat
menarik, di mana ia melihat evolusi minat dan kecerdasan berlangsung dalam
sastra, niscaya pembaca dan pencipta karya unggul ada seleksi alam juga. Tapi
saya agak lupa persisnya, dan kudu membuka lagi makalah yang masih saya simpan
itu, sebagaimana dulu saya selalu mengulang membuka-baca Soliloqui dan
Harmonium.<br /> <br />Terakhir, saya paling suka cerpennya Derabat. Katanya Derabat dan Metropik
yang sama-sama jahat itu, keduanya menyatu dalam diri Derabat dan sebaliknya;
Metropik adalah Derabat dan Derabat adalah
Metropik; biarlah iblis bertempur melawan iblis.<br /> <br />Berhadapannya tokoh-tokoh antagonis dengan sesama mereka sendiri untuk
saling membunuh dan menundukkan, entah kenapa terasa aktual dan relevan dalam
banyak sisi kehidupan kita kini.<br /> <br />Hingga saat ini saya dan istri di rumah punya istilah untuk menyebut suatu
peristiwa, keadaan atau pola relasi yang analog dengan itu sebagai
"derabat".<br /> <br />"Mereka, para petualang itu adalah para derabat," atau,"Ya,
kejadiannya derabat amat!" itu sebagai misal. Senang membayangkan
kapan-kapan entri ini bisa masuk kamus besar.<br /> <br />Selamat jalan pengarang Budi Darma, lapang jalanmu ke Sorga...<br /> <br />/Lemahdadi, 21 Agustus 2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">NB: buku Orang-Orang Bloomington hadiah dari Bang Idk Raka Kusuma
bertahun-tahun lalu. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/soliloqui-pak-budi/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/soliloqui-pak-budi/</span></a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-54034088711618572852021-08-23T05:43:00.006-07:002021-08-23T05:43:39.282-07:00Perempuan Berbibir Basah<b>Mengenang Budi Darma lewat Bibir yang Selalu Basah itu, Prosa Taufiq Wr.
Hidayat</b><br /> <br />Fatah Yasin Noor<br /> <br />Budi Darma menulis demi menulis itu sendiri. Kalimat-kalimat yang ia tulis
selalu enak dibaca dan selalu menyenangkan hati. Kalau ada kemuraman dalam
kata-katanya, percayalah, itu bukan kemuraman demi kemuraman itu sendiri. Budi
Darma ditakdirkan menjadi sastrawan terkemuka di Indonesia karena ia suka
menulis demi menulis itu sendiri. Kemuraman yang terekam dalam sekian banyak
tulisannya adalah kejujuran. Budi mencoba meneropong dirinya sendiri. Kadang
hasil teropongannya ngelantur mengerikan. Budi Darma selalu gelisah, dan yakin
dibalik masyarakat lingkungannya yang seolah berjalan normal tak lain dan tak
bukan adalah abnormal.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tulisan Fiq ini kalau boleh saya bagi, akan menjadi dua tema. Pertama
adalah perempuan jernih dari desa berbibir selalu basah. Kedua ialah mengenang
berpulangnya sastrawan besar Indonesia Budi Darma. Meninggal dunia hari Sabtu,
21 Agustus 2021. Keliaran imajinasi Budi Darma tengah diterjemahkan oleh Fiq
dengan perempuan muda belia dari desa yang bibirnya tampak selalu basah.
Rafilus dan Olenka adalah dua novel absurd Budi Darma. Meski dengan hati-hati
kita Ra membaca dua novel itu, tetap saja absurd. Tokohnya tak lain dan tak
bukan adalah orang-orang aneh yang soliter. Orang aneh dengan cara
bermasyarakat yang juga penuh misterius. Rafilus hidup di Surabaya di
lingkungan penuh lonjoran-lonjoran besi dekat Stasiun Wonokromo. Sastrawan yang
baik memang tak pernah menilai secara hitam putih. Tokoh Rafilus ia eksplorasi
sedemikian rupa sampai menimbulkan kengerian, kemisteriusan, sekaligus keanehan
yang berbenturan dengan kaedah hidup manusia pada umumnya. Kita diasikkan
dengan gaya penceritaan Budi Darma yang lugas. Bahasa Indonesia menjadi sangat
sempurna di tangan Budi Darma.<br /> <br />Saya kira Fiq nyaris telah membaca semua tulisan Budi Darma. Tulisan fiksi
maupun esai-esainya tak ada bedanya. Membaca tulisan Budi Darma tidak
melelahkan. Pada hakikatnya karya sastra dan esai-artikel Budi Darma banyak
sekali. Kalau dikoleksi akan menjadi satu rak besar sendiri. Tapi entah kenapa
Budi Darma seperti meninggalkan warisan karya cuma sedikit. Sejak kemarin dan
sampai hari ini saya kembali menyentuh buku-buku karya Budi Darma. Juga sempat
membaca tulisan @Ribut Wijoto di obrolan grup WhatsApp tentang kesannya pada
Budi Darma.<br /> <br />Tapi perempuan belia berbibir tampak selalu basah itu melahap karya sastra
Budi Darma. Tak disebutkan nama perempuan itu karena Fiq, dikomentarnya
menyatakan jangan-jangan ini bukan kisah fiktif. Kisah tentang pejabat
pemerintah kaya raya punya perempuan simpanan memang ada dalam kenyataan.
Tampaknya kita, para lelaki hidung belang, punya kecenderungan yang sama. Punya
"istri" simpanan yang sangat menggairahkan lahir dan batin. Berkat
adanya nafsu syahwat pejabat budiman itulah penghidupan perempuan dan kerabat
sanak kadang yang jauh tinggal di desa ikut sejahtera. Amal baik itu dicatat
malaikat yang dipertimbangkan nanti di hari kemudian. Rantai kesejahteraan juga
nyamper ke pemuda ganteng perkasa piaraan perempuan belia berbibir basah. Kisah
ini sebenarnya hanya sampiran belaka, tapi kalau kita resapi akan menyentuk
pada makna luas tentang kebenaran. Bisa berbenturan juga dengan agama dan norma-norma
budaya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">23 Agustus 2021 </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/perempuan-berbibir-basah/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/perempuan-berbibir-basah/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-85724867763958126402021-08-23T05:38:00.005-07:002021-08-23T05:38:48.508-07:00Komentar Dwi Pranoto mengenai Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia oleh tengara.id<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7AFttTSxirKbly0pSnpV8Bgkm59c_stcGgrpgT9g6FMLQyxg3G1I6f5cvITdr7x7ftfbS4AnEZJwoGW5Pe4f7HHN1NT_13Qu-tDmCzl-OI2LjdD2Ssfj0d5TowTr7BqdJdICHfXkjNWY/s339/Dwi+Pranoto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="339" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7AFttTSxirKbly0pSnpV8Bgkm59c_stcGgrpgT9g6FMLQyxg3G1I6f5cvITdr7x7ftfbS4AnEZJwoGW5Pe4f7HHN1NT_13Qu-tDmCzl-OI2LjdD2Ssfj0d5TowTr7BqdJdICHfXkjNWY/s320/Dwi+Pranoto.jpg" width="317" /></a><span><a name='more'></a></span><div>Bila kita asumsikan “Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia” tengara.id itu di
dasarkan pada distant reading-nya Franco Moretti, alangkah ngawurnya pernyataan
yang menghapus kekhasan dalam sastra karena terlalu banyak kekhasan, “Era
Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan
Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada
terlalu banyak kekhasan . . .”. Moretti itu memindahkan pengelompokan
“angkatan”, dengan demikian pengelompokan kekhasan” dari Kurun Waktu ke Ruang
Geografis. Meminjam teori sistem dunia, Moreti memilah ruang geografis itu
menjadi core, semi-periphery, dan periphery. Pemilahan space ini
mengekspresikan unequal world, sementara sistem ekonomi kapitalisme global
mengekspresikan one world. Kekhasan dalam Moretti yang dideskripsikan bersama
diversifikasi spesies dalam teori evolusi kemudian disesuaikan secara “teknis”
menjadi divergensi dan konvergensi.<br /> <br />Lalu di mana letak teknologi I.T dalam teori distant reading? Teknologi
komputer I.T tidak dirujuk sebagai pengalaman terinternalisasi yang membentuk
perubahan sensibilitas. Teknologi I.T hanya digunakan sebagai peranti. Moretti
tidak mengenal sensibilitas, distant reading mereduksi kualitas-kualitas
insaniah menjadi ciri-ciri morfologis bentuk sastra dan fungsi karakter dalam sistem
jaringan.<br /> <br />23 Agustus 2021<br /> <br />Link terkait:<br /><a href="https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/"><span lang="IN">https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/</span></a><br /><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/</span></a><br /> <br />Atau baca di bawah ini:<br /> <br /><b>Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia</b><br />oleh tengara.id<br /> <br />Dari rak terdepan sastra Indonesia, kita bisa lihat samar-samar kemunculan
suatu generasi baru yang satu-satunya kesan paling menonjolnya adalah nyaris
tiadanya kesan yang menonjol. Jika kita menjumpai mereka di jalan, akan sulit
kiranya membedakan sosok mereka dari orang yang lahir 30 tahun lalu, tiga tahun
lalu, atau 30 tahun yang akan datang. Ini bukanlah suatu gugatan pada generasi
sekarang, justru sebaliknya. Izinkan kami menjelaskan.<br /> <br />Zaman dahulu kala, sewaktu sastra Indonesia baru bisa bilang “aku,” orang
kerap memberi nama pada suatu angkatan. Ibarat IMEI pada ponsel cerdas, setiap
sastrawan selalu memiliki kode unik: 45, 50, 66, 70, 80, 98, 2000. Setiap nomor
itu, tentu saja, melambangkan semacam jiwa. Ada suatu keresahan bersama, semangat
zaman yang sama dan akhirnya juga inspirasi dan bentuk pengucapan yang serupa.
Dalam sejarah ini, setiap sastrawan memiliki kedudukan dalam sejarah
masing-masing dan kesamaan jiwa mereka diresmikan oleh suatu tonggak: “Di sini
terbaring novelis A dari angkatan Z.” Sebuah gaya sastrawi, atau jiwa,
diresmikan sebagai sepotong batu nisan.<br /> <br />Kalau setelah tahun 2000 kita tidak lagi memiliki kode unik untuk angkatan,
tentu itu bukan karena kita kekurangan imajinasi atau karena—yang artinya sama
saja—kita tidak mungkin mendefinisikan zaman kita sendiri. Soalnya bukan ada
pada kita, para kritikus zaman kini, atau pada sastrawan generasi sekarang,
melainkan pada masa kini. Hari ini semua sejarah telah menjadi kini, semua
tempat sampai juga ke sini: teknologi informasi memungkinkan masa lalu dialami
sebagai masa kini dan Paris dialami sebagai Jakarta. Jarak yang memisahkan
Chairil dari Rich Brian sama dengan jarak yang memisahkan Covid dari Ovid: satu
klik, satu swipe. Dalam zaman seperti ini, setiap sastrawan mengakses semuanya
dan diakses oleh semuanya. Semua itu membentuk kontur generasi sastra Indonesia
hari ini: sebuah generasi yang adalah penjumlahan dari semua generasi.<br /> <br />Puluhan tahun lalu, para kritikus dan sastrawan kita berdebat tentang
sastra saiber. Di antara berbagai hal menarik tentang internet, mereka memilih
berpolemik tentang perbedaan antara cerpen di koran dan blog. Sementara hal
yang lebih krusial, bagaimana internet mengubah struktur pengalaman sastrawan
Indonesia, cenderung luput dibicarakan. Padahal justru transformasi
sensibilitas itulah yang membentuk watak generasi sekarang. Pada sebuah zaman
ketika terlalu banyak kanon berlintasan di media sosial (mulai dari Awkarin
sampai seleb Tiktok yang viral siang ini), sebetulnya logika kanon, tonggak dan
hikayat sastrawan besar sudah tidak lagi bekerja. Ikut hanyut pula bersamanya:
suatu ciri khas sastrawi, suatu keunikan rohani, dari sebuah angkatan.
Ekosistem serba-serentak di era digital ini tidak mungkin lagi menunjang
keberadaan dinosaurus yang berpengaruh: makhluk-makhluk legenda dari zaman
analog. Atas dasar itu, kita boleh curiga, jangan-jangan pandangan kita tentang
sastra dan kritik sastra hari ini tidak akan adil tanpa mengakui kekhasan
generasi ini, yakni bahwa inilah sebuah generasi tanpa kekhasan.<br /> <br />Mengatakan bahwa Zaman Angkatan telah lewat, bahwa Era Kekhasan sudah
berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini
menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan
akibat interaksi superintensif dalam berbagai platform komunikasi sehingga
“kekhasan angkatan” menjadi kategori yang tidak lagi membantu kita melihat
perkaranya dengan jelas. Bahkan jika seorang pemodal ventura hari ini
memutuskan—entah karena waham apa—untuk pensiun dini dan membacai karya sastra
Indonesia dua dasawarsa terakhir, hampir pasti ia akan tidak henti-hentinya
menemukan kekhasan hingga akhir hayatnya. Ini juga bukan kondisi unik sastra
Indonesia, melainkan terjadi pula dalam apa yang kadang kita sebut, dengan agak
gemetar, sebagai “sastra dunia”. Contoh paling terang adalah pergeseran
paradigma kritik sastra sejak awal abad ke-21: pembacaaan jauh (distant
reading) yang diperkenalkan Franco Moretti.<br /> <br />Menurut tradisi sastra adiluhung yang kita kenal sebagai modernisme, kritik
sastra adalah sejatinya pembacaan dekat (close reading). Sejak Cleanth Brooks,
kritikus membaca karya sastra seperti arkeolog menekuri sepotong guci Yunani.
Pascamodernisme datang membongkar segala tabiat modernisme, kecuali pembacaan
dekat; bahkan Derrida mengajak kita untuk membaca yang taktertulis dengan
membaca lebih dekat dan lebih pelan lagi. Saking dekat dan pelannya, para
kritikus ini tidak lagi membaca: mereka mengeja. Kritikus kita pun mengikuti
kecenderungan ini hingga kritik sastra di Indonesia hampir identik dengan
pembacaan dekat atas teks.<br /> <br />Akan tetapi, Franco Moretti bersama para koleganya di Stanford Literary Lab
memperlihatkan bahwa kadang-kadang cara terbaik untuk membaca adalah dengan
tidak sungguh-sungguh membaca. Apa yang diperlukan adalah justru mengambil
beberapa langkah menjauh dari teks, meninjau himpunan teks sepintas lalu, dan
memanfaatkan algoritma komputer untuk menemukan pola dari belasan ribu karya
sastra. Berkat peranti humaniora digital yang mereka gunakan, kita kemudian
tahu, kekhasan sastrawi terlalu dilebih-lebihkan dan apa yang mengemuka sebagai
gantinya adalah sistem sastra dunia (literary world-system). Ini adalah
hubungan saling-pengaruh yang rumit antara sastrawan, kritikus dan pembaca,
lengkap dengan segala ketimpangan ekonomi-politik dan ketidakmerataan akses di
sana-sini. Dalam sup sastra dunia itu, kekhasan hanya mungkin sebagai blurb.
Inilah juga keadaan sastra dan kritik sastra kita hari ini: suatu keadaan riuh
rendah yang menyenangkan ketika sastrawan beken dan sastrawan yang merasa beken
memperdebatkan hal yang sebetulnya, kalau dipikir-pikir lagi, mereka sepakati.<br /> <br />Beken atau tidak, khas atau tidak, keduanya harus dicatet, keduanya dapat
tempat. Tengara.id hadir sebagai ruang inklusif untuk mempercakapkan segala
gelagat sastra Indonesia hari ini. Sejumlah esai edisi perdana ini kurang-lebih
menggambarkan semarak kritik sastra kita hari ini. Esai-esai ini bukan hanya
menggambarkan bagaimana keterampilan menulis para kritikus sastra generasi
terkini, tetapi juga bagaimana mereka menggunakan sejumlah pendekatan dalam
meneroka karya sastra: filsafat, pascakolonial dan sastra bandingan, sedangkan
yang lain tetap setia menulis tinjauan impresionistik. Sejarah kebangsaan
pascakolonial dan naratologi dalam Sunlie Thomas Alexander dan Harry Isra M.,
sejarah personal dalam Bandung Mawardi, sejarah estetika sastra dalam Geger
Riyanto, sejarah (guyonan) lokal dalam Udji Kayang, sejarah kepenulisan
perempuan dalam Ayu Ratih, dan sejarah spekulatif dalam Sabda Armandio. Sebagai
suara generasi sekarang, mereka sama-sama menghadirkan refleksi intens tentang
seperti apa sebetulnya yang mereka alami sebagai masa kini sastra Indonesia.
Sebuah masa kini yang ditandai oleh fragmentasi dan lenyapnya acuan bersama
agaknya menjadi acuan bersama mereka. Kembali menyoal sejarah barangkali dapat
dibaca sebagai gejala dari lenyapnya acuan bersama itu.<br /> <br />Ada ciri lain dari tulisan-tulisan yang dimuat di sini: tegangan antara
kritik bandingan yang berorientasi ke luar dan semacam pembacaan ekosistem
lokal. Aspirasi kritik bandingan terlihat jelas dalam artikel Sunlie Thomas
Alexander yang membandingkan novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan dengan Midnight’s
Children karya Salman Rushdie dan tradisi sastra realisme magis. Demikian pula
dengan Harry Isra M. yang membaca Puya ke Puya karya Faisal Oddang dalam
perbandingan dengan roman karya H.J. Friedericy yang ditinjau dari perspektif
kritik pascakolonial Syed Husain Alatas dalam The Myth of Lazy Native. Pada
ujung yang berlawanan ada suatu usaha melihat karya dalam hubungan dengan
ekosistem sastra dalam negeri. Inilah yang kita jumpai dalam artikel Udji
Kayang yang membaca kumpulan cerpen Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-Cerita
Lainnya karya Gunawan Tri Atmodjo dalam kaitan dengan suasana kultural kota
Solo dan buku-buku lelucon yang pernah terbit. Demikian pula dalam artikel
Geger Riyanto yang membaca novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya
Yusi Avianto Pareanom dalam konteks kecenderungan liris prosa Indonesia dewasa
ini ataupun dalam artikel Bandung Mawardi yang mengupas buku puisi Playon karya
F. Aziz Manna dalam hubungan dengan telaah Hartojo Andangdjaja dan tradisi
penulisan puisi bernada anak-anak karya Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.
Sedangkan dalam rubrik timbangan buku, Ayu Ratih mengupas sebuah bunga rampai
para penulis perempuan masa lalu yang ditulis oleh para penulis perempuan masa
kini, yakni sebuah kolektif bernama Ruang Perempuan dan Tulisan. Artikel itu
memperlihatkan tegangan pelik antara dunia dan bangsa, antara ruang publik dan
domestik, antara menulis dan melupakan.<br /> <br />Dengan memilih keenam artikel ini, Tengara.id hendak menyajikan gambaran
terkini yang sudah terkurasi tentang state of the art kritik sastra di
Indonesia. Untuk melengkapi gambaran itu, dihadirkan juga sebuah wawancara
panjang dengan Sabda Armandio, salah seorang pengarang generasi baru, yang
mencerminkan bagaimana generasi baru sastra Indonesia berpikir tentang sastra
Indonesia dan masa depannya. Kita bisa melihat bagaimana ekosistem lokal sastra
Indonesia dan sastra dunia telah berbaur begitu dekat sehingga acuan sastrawi
kita menjadi begitu beragam. Tidak ada lagi suatu “Sastra Indonesia” yang
tunggal, yang bisa dipilah dengan tegas dari “sastra bukan-Indonesia” ataupun
dari “bukan-sastra Indonesia”. Apa yang mengemuka adalah deretan perbandingan
yang tanpa tepi.<br /> <br />Aneka artikel yang dimuat di edisi perdana Tengara.id ini mencerminkan
deretan perbandingan itu. Kita akan menyaksikan betapa lain keprihatinan dan
sudut pandang para kritikus sastra kita hari ini. Mulai dari sensibilitas
etnografis yang menggali tradisi lampau hingga sensibilitas futuristik yang
merentang puluhan tahun ke depan hadir berdampingan dalam satu generasi yang
sama. Perbedaan sensibilitas yang demikian kontras inilah wujud paling nyata
dari rak terdepan sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang asyik
berkarya tanpa peduli akan disebut apa. Terbebas dari beban politik identitas
angkatan, generasi baru kritikus sastra Indonesia leluasa memperkarakan apa
saja. Semboyan mereka, jika harus ada, ialah: “Kami tidak punya semboyan.”<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-dwi-pranoto-mengenai-dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/komentar-dwi-pranoto-mengenai-dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/</span></a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-13443088401308585052021-08-22T18:50:00.002-07:002021-08-22T18:50:22.210-07:00https://tengara.id/ dan DKJ NET Diluncurkan Dewan Kesenian Jakarta<p><b>DKJ NET dan Situs Kritik Sastra Tengara.id Resmi Diluncurkan</b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhChrrPG3CyOyepFymxaC_naTTuS3mqkCtoC5pYopiYe2q5U6vwmXvSe959CNUf7KBoqRMEBHD80xRTyp90DYx9O2o0HGuZgkBbVcS89alMZAQ9d46Cv7tlXriyFKnEPV-OZEzyXW4VXl1DwZlezuMurgVLm_9VJshG5mi01gYXCEhYrSIpmwbHrX_U6Q=s448" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="448" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhChrrPG3CyOyepFymxaC_naTTuS3mqkCtoC5pYopiYe2q5U6vwmXvSe959CNUf7KBoqRMEBHD80xRTyp90DYx9O2o0HGuZgkBbVcS89alMZAQ9d46Cv7tlXriyFKnEPV-OZEzyXW4VXl1DwZlezuMurgVLm_9VJshG5mi01gYXCEhYrSIpmwbHrX_U6Q=s320" width="320" /></a><span style="text-align: left;"> </span></div><div>Farah Noersativa, Reiny Dwinanda<a name='more'></a><br />Republika, 20 Agu 2021<br /> <br />Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menangkap peluang untuk terus berkarya dalam rangka menembus keterbatasan akibat pandemi. Mereka meluncurkan DKJ NET dan situs kritik sastra bernama Tengara.id.<br /> <br />"DKJ NET sekaligus menjadi akses publik tambahan untuk produksi pengetahuan dalam jejaring konten digital kami," kata Ketua DKJ, Danton Sihombing, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/8/2021).<br /> <br />Danton menjelaskan, DKJ NET adalah salah satu inisiatif kolaboratif lintas komite yang berfungsi sebagai pengembangan lebih lanjut dari kanal-kanal luaran DKJ yang telah eksis sebelumnya. Melalui DKJ NET, DKJ berupaya mengembangkan dan meluaskan “Suara Jernih dari Cikini” dalam khazanah ragam pemikiran dan perspektif seni budaya di Indonesia dan dunia.<br /> <br />Dalam DKJ NET, menurut Danton, ragam luaran pengetahuan dalam kemasan feature audio visual, acara bincang, maupun kurasi kearsipan akan tersedia. Itu semua bisa berbentuk video dan podcast dengan perspektif khas DKJ akan tumbuh dan bernaung di DKJ NET.<br /> <br />Sebagai langkah awal, konten yang diproduksi pada DKJ NET akan berpijak dari bahan yang selama ini telah ada di/dari/melalui DKJ. Nantinya, platform dan konten ini akan berkesinambungan serta bersinergi dengan jejaring produksi konten dari komunitas dan simpul-simpul dalam ekosistem seni di Jakarta dan di mana pun.<br /> <br />Sementara itu, situs kritik sastra tengara.id adalah upaya lanjutan DKJ dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Situs itu ditujukan untuk menghidupkan tradisi kritik sastra, terlebih-lebih yang bermutu, baik melalui undangan menulis, sayembara, maupun atas upaya mandiri seorang kritikus.<br /> <br />"Kritik sastra bukan hanya menjadi jembatan yang menghubungkan karya sastra dan pengarangnya dengan pembaca, tetapi juga menjadi menjadi pembuktian keterampilan seni menulis, keterbukaan wawasan dan kehidupan intelektual yang sehat dan meriah," kata Danton.<br /> <br />Dengan situs kritik sastra tengara.id, DKJ mengundang sekaligus menantang kemunculan kritik sastra. DKJ berharap ada pembicaraan karya sastra yang tekun dan bernas, di samping pembicaraan yang hangat di antara sastrawan tentang kesusastraan dan soal-soal lain di sekitarnya.<br />***<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/</a></p></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-85475892341553744182021-08-22T01:58:00.006-07:002021-08-22T01:58:50.131-07:00DONGENG DAN BAHASA AS LAKSANAUmar Fauzi Ballah *<br />Kompas, 30 Mar 2014<br /> <br />“Dia menulis dengan cara mendongengkan, bisa juga dengan cara resensi,<br />atau cara esai. Semua teknik itu menjadi karnaval seperti pelangi.”<br /> <br />Ketika berhadapan dengan AS Laksana sesungguhnya kita sedang berhadapan
dengan dua rupa, yakni esai dan fiksinya. Selain piawai berbahasa dengan esai,
ia juga piawai berbahasa dengan cerpen.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pengalaman menakjubkan, bahkan jauh lebih menakjubkan dari esai-esainya,
adalah ketika berhadapan dengan Murjangkung. Ketika menikmati Murjangkung, mau
tidak mau dan tanpa sadar akan ingat pula pada esainya. Cara berbahasanya di
beberapa bagian nyaris serupa. Namun, tentu AS Laksana sadar bahwa ia sedang
menulis cerpen, bukan esai. Hal terpenting yang perlu dipahami dari cerpennya
adalah teknik (men)dongeng sebagai style dan gaya khas AS Laksana. Walaupun
demikian, secara interteksutual, gaya cerita AS Laksana dalam khazanah sastra
Indonesia mengingatkan saya pada absurdisme fiksi-fiksi karya Budi Darma.<br /> <br />Klausa kau tahu<br /> <br />Jika kita awas pada apa yang menjadi karakter AS laksana, kita akan paham
bahwa pengarang ini gandrung dengan klausa kau tahu, tidak hanya dalam esainya,
tetapi juga dalam cerpennya. Klausa tersebut selalu muncul dalam setiap
cerpennya. Setidaknya, ada 76 klausa kau tahu yang diucapkan narator, 2 klausa
kau tahu sebagai bentuk percakapan antartokoh (hlm.71 dan hlm. 160), dan sebuah
klausa yang dijamakkan, kalian tahu, yang terdapat pada cerpen “Cerita untuk
Anak-anakmu.” Khusus pada cerpen tersebut, klausa kalian tahu memang tepat
karena narator sedang berdongeng kepada anak-anak. Namun ternyata, tetap muncul
klausa kau tahu pada paragraf yang lain.<br /> <br />Klausa kau tahu adalah pintu masuk bagaimana pengarang sebagai narator
menempatkan posisinya dalam cerpen dan pembacanya. Pengarang menggunakan sudut
pandang orang pertama yang seolah secara langsung membacakan cerita kepada
pembaca dengan sapaan “kau tahu.” Karena itu, penting bagi kita memahami
pengarang dan narator. Pengarang adalah AS Laksana. Narator adalah “yang hadir”
membacakan cerita. Dialah yang selalu mengatakan kau tahu dan menyapa kau.
Karena itu, dalam beberapa cerpen yang seolah menggunakan sudut pandang orang
ketiga, menjadi batal karena kehadiran kau yang tak lain disapa sang narator,
pendongeng, sebagai aku yang tersembunyi.<br /> <br />Lain dari itu, karena sedang membacakan dongeng, dan sebagaimana umumnya
dongeng, narator tak lupa menyampaikan amanat-amanat yang disampaikan secara
tersurat. Dalam hal ini, narator menyampaikannya dalam berbagai nasihat. Amanat
(baca, nasihat) dalam cerpen-cerpennya bertaburan seperti bintang. Ada yang
baik dan ada yang sinis. Perhatikan petikan cerpen “Seorang Utusan Memotong
Telinga Raja Jawa” ini. Karena itu, kau tak perlu cemburu jika suatu saat
berpapasan di jalan dengan lelaki buruk rupa yang sedang menggandeng tangan
perempuan jelita. Perlu kutegaskan nasihat ini karena kau mungkin pernah memaki
dalam hati ketika melihat lelaki buruk rupa berpasangan dengan perempuan
cantik. Ingatlah bahwa pada tengah malam nanti, ketika si perempuan mencium
kening lelaki itu, si buruk akan menjadi tampan.<br /> <br />Karnaval<br /> <br />Bahasa AS Laksana yang satire dan sinis itu tidak lain adalah efek sebuah
karnaval. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karnaval dalam sastra, sebagaimana
dikatakan Letche, adalah canda tawa, seperti parodi, ironis, dan satiris. Ia
tidak memiliki objek. Karnaval bersifat struktur ambivalen. Logikanya bukan
benar atau salah, melainkan logika ambivalen. Dengan perkataan lain, karnaval
adalah hakikat karya sastra sebagai kirab, struktur pawai, tokoh-tokoh secara
bebas bersembunyi di balik topeng, parodi terhadap bentuk, dan konvensi yang
sudah stabil. Karya sastra memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam
kehidupan sehari-hari takmungkin terjadi (Ratna, 2007:264).<br /> <br />Karena itu, dalam Murjangkung kita bisa menjumpai berbagai anakronisme
seperti kisah nabi, mitos, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi
kekinian dan dengan caranya yang parodis. Tokoh-tokoh yang ganjil dengan
nama-nama yang antonomasia seperti si cacing, si belatung, Kadal, Kondom dan
sebagainya. Nasihat-nasihat pun bisa dicomot berdasarkan mitos-mitos.<br /> <br />Karena AS Laksana pada saat yang lain adalah seorang esais ternama,
sesungguhnya cerpennya pun menjadi bias antara bahasa fiksi dan nonfiksinya.
Barangkali inilah bentuk karnaval yang lain. Ia bisa mencampur adukkan hal itu.
Namun, pada saat itu, lahirlah ornamen baru yang mengakibatkan bahasa dan
ceritanya menjadi gemerlap.<br /> <br />Keterampilan dan kerajinan berbahasa dalam Murjangkung, bahkan sampai pada
tataran diksi. Kata-katanya berkilauan. Mungkin, cerita bisa kita dapati.
Namun, dalam Murjangkung, diksi adalah unsur tersendiri yang tidak bisa
dilewatkan begitu saja. Di dalamnya kita bisa memetik sesuatu yang membuat kita
tercengang, tersenyum, dan tertawa lebar seperti petikan ini, Begitulah, pagi itu,
sebelum para pemalas turun dari tempat tidur, sebuah persekongkolan telah
terbangun… pada saat-saat tertentu ia sengaja memperlihatkan kepada ayahnya
betapa dekat ia dengan ibunya, menggelendot-gelendot manja,
menyerempet-nyerempet bahaya.. (“Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri”)<br /> <br />AS Laksana tidak punya pretensi untuk menuliskan “sejarah” dalam
cerita-ceritanya. Namun, hal itu mengalir dengan sendirinya. Ia juga tidak
hendak dengan sengaja mencantumkan secara tersurat unsur amanat dalam cerpennya.Namun,
hal itu muncul laiknya seorang pendongeng dalam tuntutannya mendongeng.<br /> <br />Satu hal yang pasti bahwa AS Laksana menulis dengan cara satire yang
membuat pembaca bisa tersenyum sekaligus terhenyak. Dia sangat pandai mengolah
itu semua menjadi hiburan dan perenungan. Karya sastra, sebagaimana pada teori
yang cukup purba, bertujuan seni untuk seni atau seni untuk masyarakat. AS
Laksana mampu merengkuh itu semua. Karena itu, dia menulis dengan cara
mendongengkan, bisa juga dengan cara resensi, atau cara esai. Semua teknik itu
menjadi karnaval seperti pelangi. Semuanya menjadi sebuah anekdoke yang
mengasyikkan.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Kritikus dan pengajar di Ganesha Operation, Sumenep. Twitter @uf_ballah <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/12/dongeng-dan-bahasa-as-laksana/">http://sastra-indonesia.com/2017/12/dongeng-dan-bahasa-as-laksana/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-8899975487415945142021-08-21T17:38:00.003-07:002021-08-21T17:38:19.111-07:009 dari Leila (Leila S. Chudori)9 dari Nadira<br />Penulis: Leila S. Chudori<br />Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2009<br />Tebal: 282 halaman<br />Peresensi: Budi Darma<br />majalah.tempointeraktif.com<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ketika pada akhir tahun 1990-an Anwar Ridhwan, sastrawan Malaysia,
menerbitkan Naratif Ogonshoto, publik sastra bertanya-tanya, apakah buku ini
sebuah kumpulan cerpen atau novel. Kalau buku ini dianggap sebagai sebuah
kumpulan cerpen pasti tidak keliru, sebab dalam buku ini ada 10 cerpen. Tapi,
karena ternyata semua cerpen diikat oleh benang merah yang sangat mencolok,
tidak keliru manakala buku ini dianggap sebagai novel.<br /> <br />Selaku pengarang, Leila S. Chudori pun boleh-boleh saja menganggap buku ini
sebagai kumpulan 9 cerpen, namun pembaca mempunyai hak untuk menganggap buku
ini sebuah novel. Dianggap sebagai kumpulan cerpen, karena masing-masing bagian
dalam 9 dari Nadira seolah-olah berdiri sendiri. Jeda antara penulisan satu
cerpen dan cerpen lainnya pun makan waktu panjang. Ada bagian yang ditulis pada
1999, ada pula bagian yang ditulis pada 2009. Tapi ingat, seluruh isi buku,
mulai bab 1 sampai bab 9, tidak lain mengenai Nadira dan lingkungannya, dan
karena itu, anggapan bahwa buku ini novel tidak perlu dianggap salah.<br /> <br />Narator dalam buku ini, sementara itu, bukan hanya satu, tapi akhirnya,
narasi masing-masing narator menuju pada Nadira sebagai titik sentral. Pada
waktu ibu Nadira bercerita mengenai awal perkawinannya di Belanda, misalnya,
sasaran tembak narasi adalah Nadira, demikian pula ketika naratornya orang
ketiga tanpa nama. Dan tentu saja, kalau Nadira bertindak sebagai narator,
tokoh sentralnya tidak lain adalah dirinya sendiri.<br /> <br />Kalau direntang jauh ke belakang, novel ini menyangkut kehidupan tiga
generasi: kakek-nenek Nadira, orang tua Nadira, dan generasi Nadira sendiri.
Tapi, kalau mau difokuskan lebih tajam, novel ini menyangkut dua generasi,
yaitu generasi orang tua Nadira dan generasi Nadira sebagai satu anak di antara
tiga anak. Jalan hidup Nadira, lengkap dengan berbagai aspeknya, tidak lepas
dari jalan hidup orang tuanya. Ibu Nadira tidak suka orang kulit putih karena
baunya, misalnya, demikian pula Nadira.<br /> <br />Anggapan umum bahwa sebuah fiksi tidak mungkin lepas dari biografi
pengarangnya, dalam novel ini, juga tidak bisa disangkal. Ayah Nadira adalah
wartawan, demikian pula ayah Leila S. Chudori. Asal-usul keluarga Leila S.
Chudori adalah Cirebon, dan novel ini pun mengandung simpul-simpul Cirebon,
misalnya kain batik Cirebon dan logat Sunda Cirebon. Orang tua Leila S. Chudori
pernah tinggal di Barat, demikian pula orang tua Nadira. Leila S. Chudori
mempunyai saudara yang lebih suka tinggal di luar negeri, demikian pula Nadira.
Dan ingat, Leila S. Chudori pernah belajar di luar negeri kemudian menjadi
wartawan, demikian pula Nadira, meskipun, tentu saja, secara harfiah Nadira
bukanlah Leila S. Chudori.<br /> <br />Dalam kehidupan sehari-hari ada tabiat turunan, ada cacat turunan, dan ada
juga penderitaan turunan, demikian pula dalam novel ini. Kalau kehidupan Nadira
dan saudara-saudaranya bisa dianggap tidak wajar, asal-usulnya tidak lain
adalah ibu Nadira sendiri. Sebagai perempuan Indonesia, tentu saja seharusnya
ibu Nadira suka melati, tapi ternyata tidak. Ketika kawin di Belanda, kalau
mau, dengan mudah dia bisa mengumpulkan banyak bunga melati untuk upacara
perkawinannya. Eh, tahunya dia ngotot mencari bunga seruni putih, sesuatu yang
tidak lazim dalam upacara perkawinan, apalagi seruni putih sangat langka.
Ketika dia meninggal pun, ketegangan terjadi, karena wasiat yang tidak
terucapkan dan tidak tertuliskan juga janggal: harus seruni putih, jangan
melati. Ingat, ibu Nadira juga tidak meninggal secara wajar, tapi bunuh diri
dengan minum racun.<br /> <br />Kehidupan Nadira, langsung atau tidak, dituntun oleh kejanggalan ibunya,
dan juga, dengan sendirinya, oleh perubahan zaman. Dengan tuduhan mencuri uang,
Nina, kakak Nadira, menyiksa Nadira habis-habisan. Itu uang Nadira, tapi
anehnya, sampai kapan pun Nadira tidak mau mengatakan dari mana dia memperoleh
uang yang tidak lain adalah hasil kerjanya sendiri. Kendati akhirnya menyadari
kesalahannya, Nina tidak mau mengakuinya, dan karena itu, hubungannya dengan
Nadira tidak pernah serasi. Nadira, sementara itu, menentang perkawinan Nina
dengan seorang koreografer, eh, tahunya Nadira berselingkuh dengan koreografer
ini. Lalu, petualangan cinta pun, meskipun tidak seru-seru amat, masuk ke
kehidupan Nadira, antara lain dengan seorang laki-laki yang ternyata pernah
bercintaan dengan sesama laki-laki. Bukan hanya itu. Ada laki-laki mencintai
Nadira setengah mati dan Nadira juga tahu, eh, tahunya dengan sangat mendadak
Nadira kawin dengan laki-laki lain yang belum dikenalnya betul.<br /> <br />Apabila Nadira dipandang sebagai sebuah pribadi tunggal yang berdiri
sendiri, tentunya pembaca mempunyai hak penuh untuk menaruh kebencian kepada
Nadira. Tapi, apabila Nadira dipandang sebagai korban orang tua dan korban
perubahan zaman, mungkin pembaca akan menaruh simpati kepadanya. Sikap pembaca
yang benar tentunya berawal dari pertanyaan: sejauh mana Nadira diciptakan oleh
lingkungannya, dan sejauh mana Nadira sanggup mengkondisikan lingkungannya.<br /> <br />30 November 2009<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Budi Darma, sastrawan. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/02/9-dari-leila-leila-s-chudori/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2011/02/9-dari-leila-leila-s-chudori/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-21067091381082927462021-08-20T04:07:00.004-07:002021-08-20T04:07:44.946-07:00Denny JA adalah Muncikari yang Harus Dibunuh!<p><b>Denny JA, Kejahatan Intelektual, Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, Perusak Peradaban!</b></p><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzbp_W0Rkvra4SBhSTMFHcLpxlkkM-uIsH1788ss1ELMak0M-ZjoVXYh6uqOj5pvlmtJhOFuk8CHrX4c_rBR2VcBpKMMc-R7eBCz0xPkiWoVv7eNx9GfQz1WC2dPbGCnG-dxD-FZlOmNI/s448/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzbp_W0Rkvra4SBhSTMFHcLpxlkkM-uIsH1788ss1ELMak0M-ZjoVXYh6uqOj5pvlmtJhOFuk8CHrX4c_rBR2VcBpKMMc-R7eBCz0xPkiWoVv7eNx9GfQz1WC2dPbGCnG-dxD-FZlOmNI/s320/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" width="320" /></a></div><div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Denny JA adalah Jim Colosimo atau “Big Jim” versi Indonesia. Jika Big Jim terkenal dengan bisnis prostitusi, gelamoritas, butiran batu mulia, revolver berhias berlian, dan pembunuhan, Denny JA lebih suka bisnis prostitusi dan membantu para politisi berkuasa di Indonesia. Dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA untuk membantu pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi presiden pada Pemilu 2004 dan berhasil mendepak Megawati Soekarnoputri.<br /> <br />Bahkan, TIME Magazine tidak segan-segan memberikan penghargaan terhadap 17 tahun kiprah LSI Denny JA dan dianggap memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record dan mendapat penghargaan dari Twitter Inc, karena kemampuannya memenangkan presiden langsung empat kali berturut-turut, 33 gubernur, dan 95 bupati/walikota. Serentetan penghargaan yang diberikan oleh pelbagai sisi ini menunjukan Denny JA tidak bisa dianggap sebagai seseorang yang remeh-temeh, baik sebagai bandit maupun muncikari.<br /> <br />ANTARA News, sebuah media massa nasional, pada bulan Januari 2018 menerbitkan sebuah berita yang bertajuk “Sastrawan: 2018 jadi kelahiran angkatan puisi esai” yang mengulas secara singkat tentang apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana Denny JA menjadi sosok “sastrawan” yang membuat dobrakan terbaru dalam dunia Sastra Indonesia dengan melahirkan satu genre baru karya sastra, yaitu puisi esai.<br /> <br />Dalam wawancaranya dia mengatakan, 2018 menjadi tonggak kelahiran angkatan puisi esai. Angkatan puisi esai berisi 170 orang - termasuk Sujiwo Tedjo: Presiden Djancukers sampah! - dari kalangan penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.<br /> <br />Tentu saja, angkatan puisi esai telah melahirkan standar-standar puisi esai, seperti bahwa puisi esai memiliki ciri menampilkan fakta dan fiksi tentang kehidupan sosial, bahwa puisi esai harus mengandung 2000 kata, bahwa setiap puisi esai memiliki 10 catatan kaki tentang fakta kehidupan sosial berupa hasil riset sebagai sumber informasi, bahwa puisi esai memiliki nilai dramatik dan hubungan pribadi seperti cerita pendek yang “dipuisikan”, dan bahwa puisi esai (hanya) lahir saat momen yang sama sebagai penanda sebuah masa karya generasi sastra (?).<br /> <br />Kelahiran angkatan puisi esai ini bukan tanpa korban. Pada tahun 2015, Sastrawan Saut Situmorang ditangkap di rumahnya, di Yogyakarta, karena dituduh melakukan tindak “pencemaran nama baik” salah seorang “penyair perempuan” yang juga hidup dalam prostitusi milik Denny JA, di Facebook.<br /> <br />Kejahatan intelektual ini bermula dari kelahiran buku pembodohan sejarah Sastra Indonesia, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang disusun secara khusus oleh Tim 8 alias pelacur khusus dan kesayangannya: Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah nama-nama yang harus dicatat dalam daftar perburuan!<br /> <br />Denny JA dan pelacur-pelacur yang dia pelihara dalam prostitusinya memenangkan pertarungan itu dengan menyogok hukum untuk melegitimasi dirinya sebagai “tokoh sastra paling berpengaruh”.<br /> <br />Namun apakah Saut Situmorang dan orang-orang yang memburu Denny JA benar-benar kalah? Tidak. Komitmen memerangi para medioker dan parasite dalam Sastra Indonesia itu tetap tumbuh dan mengakar. Apakah Denny JA dan pelacur-pelacurnya diterima dalam dunia Sastra Indonesia?<br /> <br />Ya! Karena banyak sekali orang yang mendaku diri mereka sebagai pegiat sastra, penulis sastra, aktivis sastra, dan akademisi sastra memilih diam dan diam-diam menjadi pelacur pula dalam dunia Sastra Indonesia dan karena tidak banyak orang yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia! Bukankah demikian? Bukankah engkau lebih menyukai memprioritaskan eksistensi dirimu belaka ketimbang berjuang untuk Sastra Indonesia?!<br /> <br />Baru-baru ini, Big Jim versi Indonesia ini kembali berulah. Dengan kekayaannya sebagai muncikari, dia membeli penghargaan Lifetime Achievement Award dari Persatuan Penulis alias Satupena. Kemudian, selanjutnya dia terpilih sebagai Ketua Satupena. Semua terjadi begitu saja. Akan tetapi, jika menelisik Lifetime Achievement Award kita akan menemukan kejanggalan ini: bahwa penghargaan untuk seseorang yang yang berkarya di bidangnya minimal 40 tahun, sementara bisnis prostitusinya bahkan belum berumur satu dekade!<br /> <br />Dan, meskipun sebagian anggota Satupena menulis pernyataan tentang kejadian memalukan itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan membantah atau menghalang-halangi kemampuan Big Jim! Dan, lihatlah! Bagaimana dia dan pelacur-pelacurnya merayakan kemenangan mereka! Sementara, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra hanyalah kumpulan kambing yang mengembek; harap-harap di tahun yang mengerikan ini mendapat proyek-proyek menguntungkan tentang Kesenian dan Sastra Indonesia!<br /> <br />Engkau, Denny JA alias Jim Colosimo alias Big Jim versi Indonesia, silakan dengan kekayaanmu membeli jiwa-jiwa pelacur untuk memenuhi setiap sudut bisnis prostitusimu! Silakan engkau klaim dirimu sebagai manusia yang menulis dan menerima seribu penghargaan!<br /> <br />Tetapi, engkau tidak akan bisa lari dari kebenaran, bahwa yang engkau lakukan adalah kejahatan intelektual, pembodohan sejarah Sastra Indonesia, dan merusak peradaban! Engkau tidak akan bisa lari dari tajamnya hari pembalasan yang akan membunuh dan memenggal kepalamu! Sogoklah hukum untuk melindungimu dan menangkap penulis-penulis yang berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai Sastra Indonesia! Suatu saat, akan tiba kepadamu penulis-penulis itu dan mencincang mayatmu!<br /> <br />Gresik, 2021.<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/</a></p></div></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-48474083250262893522021-08-19T17:21:00.003-07:002021-08-19T17:21:26.052-07:00Ocehan Denny JA, Si Sastrawan Palsu<p> PARA PENULIS, DARI ACEH HINGGA PAPUA, BERHIMPUNLAH !</p><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhjvLpcuFObv-bJgBOFV1-GDLUMqC-4fGRxLrXXjdQLrrsRQUOTM2sLDwrorUtLjD9SymtezQ1H_S85StjyLNBNQH8XQuK1c5mk-9rBfp-ZGDcFt-jwcM2M3PAlMiJjQ95LIaoIBkyD0Yni_DnzIH3OPCOkU1QcyvjQtYvqyMl8QHCuFRgyeYpTxxkm=s843" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="843" data-original-width="843" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhjvLpcuFObv-bJgBOFV1-GDLUMqC-4fGRxLrXXjdQLrrsRQUOTM2sLDwrorUtLjD9SymtezQ1H_S85StjyLNBNQH8XQuK1c5mk-9rBfp-ZGDcFt-jwcM2M3PAlMiJjQ95LIaoIBkyD0Yni_DnzIH3OPCOkU1QcyvjQtYvqyMl8QHCuFRgyeYpTxxkm=s320" width="320" /></a><span><a name='more'></a></span></div><div> <br />- Sambutan Denny JA secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum perhimpunan penulis SATUPENA dan HATI PENA_<br /> <br />Di dunia penulis, kembali ke khitah itu berarti kembali kepada tradisi awal para penulis.<br />Awalnya para pendiri bangsa, para pembentuk batin Indonesia juga seorang penulis. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, RA Kartini, Mohamad Yamin, semua mereka juga seorang penulis.<br />Kembali ke khitah menjadi inspirasi bagi para penulis untuk kembali mengambil peran signfikan untuk mewarnai batin zamannya.<br />Cetusan ini yang menggugah saya ketika menerima amanah. Delapan dewan formatur, di luar diri saya, adalah Chappy Hakim, Azyumardi Azra, Ilham Bintang, Wina Armada, Didin S Damanhuri, Nasir Tamara, Inda Citraninda Noerhadi dan Swary Utama Dewi akalamasi memilih saya selaku Ketua Umum.<br />Tak hanya ketua umum perhimpunan penulis Satupena yang baru selesai melaksanakan kongres nasional tanggal 15 Agustus 2021.<br />Tapi juga dipilih menjadi ketua umum organisasi baru yang dimaksudkan menghimpun komunitas penulis Indonesia: HATI PENA.<br />Ini era ketika raksasa revolusi informasi memberikan efek ganda kepada penulis. Di satu sisi, luapan informasi dan kemudahan akses membuat internet berubah menjadi surga. Mudah sekaligus penulis untuk melakukan riset.<br />Sisi lain, revolusi informasi juga menyediakan begitu banyak bacaan yang gratis. Itu tak hanya dalam bentuk teks, tapi juga audio visual.<br />Akibatnya nilai ekonomis banyak buku menurun drastis. Publik justru semakin jarang membeli buku.<br />Untuk kasus Indonesia, situasi lebih parah lagi. Pembajakan buku terjadi secara telanjang di depan mata. Royalti dan pajak buku yang juga tak membuat penulis tersenyum.<br />Oleh karena itu para penulis perlu berhimpun, menyatukan aspirasi. Sangat sering terjadi, organisasi bersama lebih kuat dan lebih mampu melakukan lobi-lobi untuk kebijakan publik yang lebih ramah kepada penulis.<br />Di samping itu, himpunan dan komunitas dapat menjadi samudra. Jika penulis adalah ikan-ikannya, samudera menyediakan lingkungan, ekosistem yang sehat dan kaya bagi ikan- ikan itu.<br />-000-<br />Ini tujuh program unggulan yang akan saya lakukan selaku ketua umum. Juga saya sertakan tiga sistem pendukungnya. Ini untuk Satupena dan Hati Pena.<br />1. AWARD bagi sejumlah penulis terbaik<br />Setiap tahun menyambut 17 Agustus, Satupena/ HATI PENA membentuk dewan juri untuk memberikan award bagi sejumlah penulis terbaik. Hadiah berupa sertifikat dan dana<br />2. PERPUSTAKAAN DUNIA Bagi Anggota Satupena/HATI PENA secara gratis<br />Satupena/Hati Pena akan menyediakan akses perpustakaan kepada ribuan jurnal akademik di JSTOR, dan akses kepada perpustakaan terbaik dunia (dijajaki library of congres di AS, Inggris). Juga dijajaki akses pada perpustakan nasional dan DPR.<br />3. PRINT ON DEMAND Menerbitkan Karya Anggota<br />Satupena/ Hatipena membuat usaha atau sekurangnya bekerjasama dengan usaha Print on demand.<br />Dibentuk satu tim kurator membantu teman teman anggota menerbitkan bukunya hingga ke layout dan ISBN.<br />Lalu bisa jual on demand. 75 persen keuntungan untuk penulis.<br />Bisa juga dijual secara PDF bekerjasama dengan satu usaha yang sudah berdiri.<br />4. AKUN YOUTUBE SATUPENA/HATI PENA “Semua Tentang Penulis.”<br />Satu pena/Hati Pena membentuk tim untuk membuat akun youtube, 2 minggu sekali mewawancarai penulis yang berprestasi, atau yang baru saja menerbitkan karya menarik, menggali proses kreatif penulis yang bersangkutan<br />Ini dimaksudkan untuk memberi inspirasi dan tukar pengalaman sesama penulis<br />5. DISKUSI 2 MINGGUAN WEBINAR Soal Buku<br />Satupena/Hatipena membentuk tim sebagai forum anggota untuk bisa aktif mengikuti perkembangan terbaru soal buku ataupun peristiwa menarik setiap 2 minggu.<br />Diskusi ini bisa juga diikuti melalui Facebook dan YouTube<br />6. KONEKSI KE INDUSTRI<br />Satupena/Hatipena akan membentuk tim mencari pola kerjasama dengan Netflix, dan sejenisnya, juga industri lain, menyalurkan karya penulis: skenario, dan lainnya agar ikut meramaikan dunia industri masa kini<br />7. LINGKUNGAN KEBIJAKAN Yang Ramah Penulis<br />Satupena/Hatipema membentuk tim agar dalam jangka panjang terbentuk kebijakan yang ramah kepada penulis (pemerintah menyetop/mengurangi pembajakan, pajak penulis yang lebih friendly, dan juga royalti penulis yang lebih memuaskan)<br />-000-<br />Sayapun selaku ketua umum akan menyediakan tiga supporting sistemnya.<br />1. BERTANYA SECARA REGULER apa yang anggota usulkan sebagai program<br />Setiap 6 bulan, tim mengedarkan kuesioner bertanya pada anggota soal apa program yang dibutuhkan.<br />- program apa yang diharap<br />- Berapa bayangan dana<br />- Darimana sumber dana<br />Program dibuat berdasarkan ketersediaan dana<br />Dari sini kita rumuskan tambahan program<br />2. TIM Profesional<br />Agar program berjalan, Satupena/Hatipena akan mempekerjakan tim profesional yang digaji untuk menjadi supporting teknis agar program berjalan<br />3. Dana Awal<br />Agar program bergerak, saya pribadi, selaku ketua umum, akan menyisihkan dana sekitar 500 juta- satu milyar rupiah dalam waktu lima tahun<br />Satupena/Hati Pena juga akan membuka program donasi yang 100 persen digunakan untuk kepentingan anggota<br />-000-<br />Ibarat orkestra, saya hanyalah komposer dan dirigen. Musik kesuluruhan menjadi bagus jika para pemain biola, piano, trompet bermain dengan harmoni.<br />Ditambah lagi, orkestra lebih semarak jika para penyanyi tenor, sopran, alto dan bas menyanyi koor sesuai dengan nada.<br />Ketua Umum hanyalah satu gerbong dari kereta api yang panjang.<br />Tapi memang, saatnya para penulis, dari Aceh hingga Papua, untuk berhimpun!<br /><p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="https://www.facebook.com/denny.ja.754/posts/541703840482101">19 Agustus 2021</a></span></p></div></div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-54985168674901800232021-08-19T11:02:00.006-07:002021-08-19T11:02:49.868-07:00Cara Felix K. Nesi Melahirkan Orang-Orang Oetimu<b>Dikirim dari E-Mail Yahoo ke Google</b><br /> <br />Indria Pamuhapsari *<br />Jawa Pos, 31 Okt 2019<br /> <br />Orang-Orang Oetimu lahir lewat kertas folio, lalu dipindah ke laptop
pinjaman, dicetak, diedit ulang, kemudian diketik lagi. Karena tak ada uang,
tumpukan dokumen awal novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta itu sudah
habis dikilokan.<br />***<br /> <br />SEMBARI duduk, Felix K. Nesi langsung mengangkat tangan kanan. Hampir
setinggi dagu.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />”Ya segini kira-kira,” kata dia dengan tersenyum.<br /> <br />Segini yang dimaksud penulis 31 tahun itu adalah tumpukan draf awal
Orang-Orang Oetimu yang dia tulis di kertas folio. Ditambah ketikan awal yang
dia print untuk kemudian diedit ulang.<br /> <br />Dokumen proses kreatif yang tentunya sangat berharga. Apalagi setelah novel
pertama Felix itu juara sayembara tahunan edisi 2018 dan ramai menuai apresiasi
positif.<br /> <br />Baik karena sudut pandang cerita, plot, maupun pilihan tema dan latar.<br /> <br />Di Museum of Innocence, Istanbul, Turki, miliknya, Orhan Pamuk mengabadikan
draf, tulisan awal, serta gambar. Dipampang pula di sana coretan tangan nobelis
sastra tersebut.<br /> <br />Tapi, bagaimana dengan dokumen-dokumen Felix tadi? ”Hahaha… Sudah saya kilokan,”
katanya enteng.<br /> <br />Reaksi yang membuat semua peserta diskusi santai di lounge Graha Pena,
Surabaya, pada Selasa sore lalu (29/4) itu mendelik. Nyaris tak percaya.<br /> <br />”Nggak nyesel?” tanya Candra Kurnia, salah seorang peserta diskusi. ”Ya,
habis mau gimana. Saya butuh uang dan tumpukan kertas itu kan bisa jadi uang,”
lanjutnya.<br /> <br />Draf dan hasil print yang sudah dikilokan itu bagian dari proses panjang
penulisan Orang-Orang Oetimu. Proses berliku selama dua tahun yang banyak
melewati proses ”tak lazim”.<br /> <br />Felix mengaku tak bisa menulis cerita sembari mengetik di laptop. ”Alasan
utamanya ya karena sebenarnya waktu itu saya tidak punya laptop,” kata alumnus
Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur, itu.<br /> <br />Jadi, lanjut Felix, novel tersebut dia tulis tangan di kertas folio. Baru
kemudian diketik di laptop pinjaman. ”Waktu itu saya pinjam (milik) adik kelas.
Biasa. Atas nama senioritas,” ujar dia, lalu disambut tawa belasan peserta
diskusi.<br /> <br />Jika tidak ada laptop pinjaman, Felix mengetik di warnet (warung internet).
Karena itu, penting baginya untuk menuliskan naskah dengan rapi di folio.<br /> <br />Sebab, naskah itu nanti yang dia pindahkan ke bentuk digital lewat laptop
adik kelas atau komputer sewaan di warnet. ”Nah, saya juga waktu itu tidak
punya flash disk. Jadi, ketikan itu saya kirim dari e-mail saya di Yahoo ke
e-mail saya di Google agar tersimpan,” paparnya.<br /> <br />Karena perfeksionis, Felix tak cukup hanya memindahkan tulisan dari kertas
ke teks digital. Dia tetap merasa perlu mengedit ulang tulisannya.<br /> <br />”Saya print tulisan saya, lantas saya edit manual. Saya corat-coret bagian
yang tidak cocok dan harus disesuaikan,” katanya.<br /> <br />Para peserta diskusi kembali melongo. Sungguh proses yang melelahkan.
Menulis naskah dengan tangan, mengetik, mencetak tulisan, dan mengedit dengan
pena lagi. Setelah itu, naskah editan diketik lagi untuk menjadi draf final.<br /> <br />Tapi, tidak bagi Felix. Dia sungguh menikmati proses itu. Bagi dia, proses
menulis, mengetik, dan mengedit itu menyenangkan.<br /> <br />Dia memang lebih akrab dengan tulis-menulis secara manual. Dengan tangan.
Sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar.<br /> <br />”Dulu (waktu setingkat SMP dan SMA) saya juga suka mengerjakan mading (majalah
dinding, Red),” katanya. Agar mading terlihat elok, tutur Felix, kreatornya
tidak bisa sekali jadi membuat karya. Harus berulang. Jika itu puisi, puisinya
perlu ditulis dulu sebagai draf di kertas HVS berwarna.<br /> <br />Lantas, puisi itu ditulis lagi dengan huruf-huruf yang lebih tebal, lebih
rapi, dan lebih artistik. Artinya, pembuat mading akan berkali-kali menulis
atau berkreasi untuk menghasilkan karya yang layak dipajang.<br /> <br />Dari sanalah rupanya proses kreatif ”mbulet” Orang-Orang Oetimu tadi
berakar. ”Justru di situlah bagian yang paling seru,” ucapnya.<br /> <br />Tapi, meski ”resminya” hanya memindahkan tulisan, tak selalu pria yang kini
bergiat bersama Komunitas Leko di Kupang, NTT, itu taat pada rancangan. ”Ya
sering berubah. Apa yang saya ketik kadang tidak sama dengan apa yang ada di
tulisan saya di kertas folio,” katanya.<br /> <br />Tokoh-tokoh dalam bukunya itu pun mengalami penambahan dan pengurangan.
Demikian juga kisah-kisah pendukung di dalamnya.<br /> <br />Tokoh Silvy, misalnya. Dalam novelnya, Felix menggambarkan gadis yang masih
duduk di bangku SMA itu sebagai pusat semesta. Semua pria –tua, muda,
anak-anak– tergila-gila kepadanya.<br /> <br />”Bicaranya santun, tubuhnya wangi, dan parasnya sungguh menawan. Setiap
pemuda bercita-cita mempersuntingnya, dan setiap anak mengalami mimpi
basahnya.” Demikian deskripsi Felix tentang Silvy yang ditulisnya pada halaman
60.<br /> <br />Tapi, ketika dibacakan ulang karakter Silvy itu di sela diskusi, Felix
malah heran. ”Ah, masak? Saya tulis begitu, ya? Lebay sekali,” seru Felix.<br /> <br />Felix yang lahir di Nesam-Insana, NTT, itu menyelesaikan Orang-Orang Oetimu
pada 2018. Setelah memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang
sama, novel diterbitkan Marjin Kiri pada semester dua tahun ini.<br /> <br />Oetimu, menurut Felix, sejatinya nama ladang sang ayah. Letaknya di
belakang rumah. Lengkap dengan pohon cemara dan danau.<br /> <br />Bagi Felix, Oetimu adalah keindahan Timur. Karena itu, pemilik sebuah toko
buku sederhana di Kupang tersebut mengabadikannya sebagai judul. Dia ingin
membuka wawasan para pembaca tentang orang-orang Timur. Sekaligus,
memperkenalkan budaya dan keindahan NTT ke seluruh penjuru tanah air.<br /> <br />Dalam buku setebal 220 halaman tersebut, lulusan seminari di Atambua, NTT,
itu memang mengungkapkan banyak kegelisahan. Mulai soal dominasi Jawa,
ke-lebay-an orang-orang kampung, hingga kemanusiaan para pastor yang hidup
selibat.<br /> <br />Dengan kata lain, Orang-Orang Oetimu adalah jejak berharga sebagai
penyeimbang perspektif di tengah Indonesia yang sangat Jawa-sentris. Meski,
sayangnya, dokumen awal penyusunnya telah lama dikilokan.<br /> <br />”Kok, bisa sih, masak nggak ada yang tersimpan sama sekali,” tanya Diar
Candra, peserta diskusi lainnya.<br /> <br />Felix berpikir sejenak. ”Coba nanti saya cari di kos. Sepertinya masih ada
sebagian,” ucapnya ragu.<br />***<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_BRYjCWWfR7h5OSecTMfpE7CrAlIIZ088lcETFhGssY2KgeREPHf_eNKBHsLQLFKWUTGasp_ax0f6bwR6cEgox09rYg719FMA24SD6QTNrMY6HPMHz0GcYFVdJePmzLRb79QvGWNfoAs/s448/Felix+K.+Nesi+di+Graha+Pena%252C+Surabaya%252C+Jawa+Timur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="232" data-original-width="448" height="166" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_BRYjCWWfR7h5OSecTMfpE7CrAlIIZ088lcETFhGssY2KgeREPHf_eNKBHsLQLFKWUTGasp_ax0f6bwR6cEgox09rYg719FMA24SD6QTNrMY6HPMHz0GcYFVdJePmzLRb79QvGWNfoAs/s320/Felix+K.+Nesi+di+Graha+Pena%252C+Surabaya%252C+Jawa+Timur.jpg" width="320" /></a></div><div>Felix K. Nesi (dua dari kiri) saat berdiskussi di lounge Graha Pena,
Surabaya<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) INDRIA PAMUHAPSARI, Surabaya, Jawa Pos. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/cara-felix-k-nesi-melahirkan-orang-orang-oetimu/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/cara-felix-k-nesi-melahirkan-orang-orang-oetimu/</a></span></p>
</div>rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-5214936470200814342021-08-19T01:34:00.005-07:002021-08-19T01:34:24.388-07:00Puisi dan Kabar dari LautanMisbahus Surur *<br />lampungpost.com<br /> <br />LAUT adalah metafora sekaligus sebuah “dunia”. Sebagai sebuah dunia, laut
menjadi loka, atau setidaknya pintu gerbang, bagi sang tualang melabuhkan diri
ke negeri-negeri yang tak diketahui. Guna menambatkan harapan-harapan baru yang
(tak) terkonsep sebelumnya. Tempat si pengembara melupakan kegamangan dan
kejumudan-kejumudan di daerah asal.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dalam perjalanan ke laut yang sering tanpa (per)hitungan itu, si pengembara
berharap menemukan kejutan-kejutan hidup yang tak terduga. Yang dapat
merekahkan pandangan yang lebih bergairah, luas lagi cemerlang. Sedang sebagai
metafora, laut adalah sebuah kesan (mungkin juga pesan) yang tertinggal, dari
penemuan dunia dan semangat baru tadi. Yang dituang dalam berbagai imaji serta
catatan-catatan. Karena itu, laut sering jadi pilihan juga alternatif
pembebasan. Sebuah upaya memerdekakan diri dari simpul yang mengikat seraya
meluaskan pikiran yang dipenjara batas dan sekat. Dalam ranah sastra, khususnya
puisi, laut pada satu kutub merupakan simbol kebebasan dan kedalaman. Sedang
pada kutub lain, adalah penanda untuk mengatasi instrumen (yang dianggap)
dangkal dan terkungkung—untuk menyebut sedikit di antaranya. Meski begitu, di
tangan penyair yang diselimuti enigma, metafora laut kerap tak mudah diduga.<br /> <br />Chairil Anwar, misalnya, dalam Kabar dari Laut, pernah menuliskan sesuatu
yang patetis. Pada bait-bait awal puisi, ada sejenis penyesalan sekaligus
ungkapan kekecewaan yang disulut oleh sebuah hubungan (dengan seorang wanita).
Rasa bersalah itu dinyatakan dengan diksi “laut” yang menyiratkan perasaan
tolol dan sesal tapi begitu puitik: Aku memang benar tolol ketika itu,/mau pula
membikin hubungan dengan kau;/lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut
pilu,/berujuk kembali dengan tujuan biru. Sebuah takdir kepiluan di laut, tapi
pada saat yang sama, secara tersirat, tak ditolaknya. Keadaan tolol juga begitu
lemah yang tak berdaya dengan cium nafsu tersebut, kini telah jadi luka
yang—sekali lagi—juga diingini.<br /> <br />Dan pada saat itu, dengan sadar, Charil menjadi tahu, dalam hidup, batas
antara cium nafsu dan luka, umpama perjalanan buritan dan kemudi. Di mana titik
pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dalam puisi ini, pengalaman hidup
yang didapat serasa begitu berdarah-darah. Namun sejak dari darat hingga laut,
dari buritan sampai kemudi, pengalaman yang berharga itu, pada akhirnya
membikin tenang dan tentram si penyair: Dan tawa gila pada whisky tercermin
tenang, begitu kata Chairil. Sebuah kemabukan yang diingini setelah pengalaman
hidup yang pahit kembali terkendali.<br /> <br />Adapun dalam Senja di Pelabuhan Kecil, idiom laut beserta segenap
elemen-elemen yang terpancang kukuh di sana, seakan cuma tempat berhenti dan
hening. Semua diksi dan idiom pada puisi itu, seolah jadi penyangga bagi sepi
dan sendiri yang teguh. Tanah dan air tidur, ombak hilang, perahu tiada
berlaut, desir hari lari berenang adalah senarai idiom yang menguatkan sebuah
momen “kebersendirian” penyair. Kesendirian yang sadar diri namun begitu
disesaki harap yang serasa (masih) jauh. Pun dalam Cintaku Jauh di Pulau, meski
mula-mula nuansa kegembiraan tersembul, begitu sedikit dan serasa tarik-ulur.
Lantas seperti ada yang begitu saja terputus di tengah jalan. Hal tersebut bisa
kita rasakan pada kalimat dan metafora ini: perahu melancar, bulan memancar,/
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar./ angin membantu, laut terang, tapi
terasa/ aku tidak ‘kan sampai padanya. Harapan yang dibelai kemuraman itu
dilanjutkan dengan dua baris—sebelum dua bait terakhir—yang kian mempertegas
pasase di atas: Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?. Sebuah “ajal” yang disesali—dengan huruf pertama yang sengaja di-kapital-kan—tapi
tetap tak dapat ditolak.<br /> <br />Wan Anwar, yang hidup jauh setelah Chairil, pada salah satu puisinya, juga
mengabadikan metafora lautan. Dalam puisi yang berjudul Kau, Laut, dan Kata,
penyair yang tutup usia akhir 2009 lalu ini, menulis: di geladak sudah tercium
kata-kata/anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang/ kau sebut hidup
adalah perjudian dan entah siapa/entah di mana seseorang mengangguk/untuk yang
tak terbaca// … di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita/ke mana kau
berlayar, ia akan mengantar/setia bersama waktu yang tak letih berkibar/ … dan
aku –tahukah kamu?- akulah gurita itu/senja dan waktu yang kau sebut
kepulangan.<br /> <br />Jika setumpuk kata-kata di geladak anyir, bukankah “yang tertera” sudah tak
indah lagi? Bukankah kata-kata “anyir seperti bangkai” yang sinis adalah
paradoks bagi puisi indah dan manis. Lalu, apa gerangan yang terjadi dengan
kata-kata? Tak ayal, idiom-idiom pembuka puisi tersebut, ternyata memetaforkan
hidup yang seperti perjudian. Sebab watak hidup memang tak pasti, sebagaimana
frase “yang tak terbaca” juga kata ”perjudian”. Dalam hidup seperti itu, tentu
saja tak ada ketenteraman, alih-alih hidup kian sesak diimpit pertaruhan.<br /> <br />Dan metafor seseorang yang mengangguk bagi keadaan adalah mereka yang
menyerah atau setuju pada nasib. Adapun diksi dan metafor gurita, di sini,
barangkali bisa kita maknai sebagai usia dan kesempatan. Bisa juga kiasan bagi
durasi kehidupan, yakni jatah hidup tiap orang yang melulu dikepung takdir.
Sebuah takdir yang teramat setia menyelam ke dasar laut kehidupan, di mana sang
penyair hidup bersama kata-katanya. Dengan begitu, selain sebagai monster yang
ditakuti, diksi gurita dengan sadar juga didekati; ”akulah gurita itu”, kata si
penyair untuk menunjukkan betapa dekatnya ia. Meski akhirnya makhluk itu akan
melenyapkan usia dan kata-kata. Dengan demikian, senja dan waktu yang kau sebut
kepulangan, adalah kesetiaan usia untuk menemani masa tua (baca: jatah hidup)
dan mengantarnya menuju tempat berpulang.<br /> <br />Ungkapan-ungkapan lain yang direguk dari lautan, juga ditatah secara beda
dan kuat oleh Iswadi Pratama. Dalam sajak yang berjudul Aku dan Ibu, Iswadi
seolah menemukan laut lain dengan sebenar-benar laut: di atas kapal/ dari
sebuah jendela/ibu menatap laut lepas//aku memandang ibu/ingin terjun ke dalam
matanya/di mana laut lebih luas//tetapi mata ibu sudah kering/hanya batu-batu
terkubur di situ//ibu menyaksikan laut tanpa batas/berenang menggantang
gelombang/menuju pantai./aku melihat ibu dari atas kapal/menyimpan kedua
matanya/dalam pelayaran tak pernah usai.<br /> <br />Air mata ibu bagi Iswadi adalah laut yang kerap dilupa. Bagi penyair yang
juga seorang aktor ini, air di kantung mata itu seolah jenis laut dengan segala
kedalaman yang bagi saya melebihi kedalaman laut ala Chairil. Tangis bahagia
juga linangan kesedihan ibu adalah tanda kasih dan ikatan batin yang kuat
antara ia dengan anaknya. Di sana, di ceruk mata itu, tersimpan luasnya
ketulusan. Namun serasa ada sesuatu yang begitu pribadi ketika mata itu
tiba-tiba kering. Entah karena bengkak untuk menangisi kepergian si anak,
ataukah ada ihwal lain?<br /> <br />Lepas dari itu, kasih ibu tetap saja tulus, kendati sang anak melanglang
entah ke mana. Sebab, sejauh manapun anaknya berlayar, mata ibu akan selalu di
situ, senantiasa disimpan untuk anaknya. Demikianlah sedikit kabar yang dapat
kita petik dari beberapa puisi yang mengharu-birukan lautan. Semoga laut masih
akan biru dan sampai pada kita dengan rupa-rupa kabar yang lain.<br />***<br /> <br />*) Penyuka sastra, kuliah S-2 di UIN Maliki Malang. <span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/02/puisi-dan-kabar-dari-lautan/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2011/02/puisi-dan-kabar-dari-lautan/</span></a></span>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-66561484213872877122021-08-19T01:32:00.007-07:002021-08-19T01:32:56.408-07:00Kain Batik SidomuktiSunaryono Basuki Ks<br />sinarharapan.co.id<br /> <br />Pada ulang tahunku yang ke tujuh puluh dua, saat musim dingin belum juga
pergi, aku menerima bingkisan dari seorang teman lama, yang syukur berusia
panjang pula seperti diriku. Sebuah bungkusan kertas kado sederhana berwarna
hijau tua berhiaskan kembang-kembang berwarna putih bagaikan untaian melati. Di
luar bungkusan menempel sebuah amplop, dilekatkan dengan selotip tipis. Amplop
itu lebih dulu aku buka. Isinya sebaris puisi:<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Di hari bahagia ini/Kenanglah kami/Yang jauh/Namun tetap terengkuh/Oleh
jiwamu/ Kenanglah tanah/ tempat darah tumpah/tempat kita/kan bertemu kembali.<br /> <br />Aku tersenyum. Pasti dia tak pernah berhasil menjadi seorang penyair, namun
semangatnya yang menggebu untuk menjadi penyair membuatnya mampu menghafalkan
sajak-sajak karya Asrul Sani, seperti “Surat Dari Ibu” atau seluruh sajak Sitor
Situmorang yang terkumpul dalam “Surat Kertas Hijau”: lonceng gereja bukit
Itali. Atau: cherchez la femme, cherchez la femme. Atau: bunga di atas
batu/dibakar sepi/mengatas indera/dia menanti/bunga di atas batu/dibakar sepi.<br /> <br />Dia tentu saja tidak setua diriku. Mungkin delapan atau tujuh tahun lebih
muda. Namun, karena aku lebih dulu menjadi cerpenis terkenal, maka dia sering
datang ke rumah atau bersurat, sebab aku tinggal di Surabaya dan dia di Malang.
Banyak yang dia tanyakan sampai kadang aku kewalahan menjawabnya. Dia mencoba
menulis cerpen atau puisi namun tetap saja karyanya membuat aku tertawa dalam
hati. Tampaknya dia tak pernah putus asa. Dia juga dengan bersemangat
mengirimkan lewat pos buku tulis penuh dengan puisi yang ditulis dengan tulisan
tangannya yang indah.<br /> <br />“Ini, Mas. Saya serahkan sajak-sajakku, siapa tahu bisa dimuat,” begitu
bunyi suratnya, seolah menyala di tanganku.<br /> <br />Dia masih duduk di kelas satu SMA Bagian Sastra. Itu pilihannya sendiri,
tidak dipaksa siapa-siapa, padahal dia berasal dari SMP Bagian B dan nilai
ujian akhirnya rata-rata delapan seperdelapan, tertinggi di kelas III B/1. Toh
dia memaksa masuk SMA Jurusan sastra. Saat dia mendaftarkan diri, loket kosong,
dan petugas yang menerimanya setelah memeriksa berkasnya mengatakan:<br /> <br />“Bukan di sini, Dik. Di situ SMA III.”<br /> <br />“Saya memang melamar ke sini, Mas.”<br /> <br />“Tapi SMA Pasti di situ. Gedungnya memang satu kompleks di sini.”<br />***<br /> <br />Salju tiba-tiba turun, namun aku tak harus bergegas ke tempat kerja.
Tempatku bekerja sekarang adalah ruang kecil yang jendelanya menghadap ke
sebuah tanah lapang kecil yang ditumbuhi rerumputan. Dan kali ini rerumputan
itu diselimuti salju seluruhnya. Salju yang jatuh ditiup angin, kembali
melayang ke udara lalu seolah mencari-cari di sela-sela gedung, tempat untuk
menjatuhkan diri ke tanah atau menubruk tembok bangunan di seberang.<br /> <br />Di jendela istriku meletakkan pot bunga dari plastik yang ditumbuhi bunga
berwarna merah menyala, tentu kesukaan istriku. Kalau bunga itu sudah layu,
maka pot itu harus dibuang dan istriku akan menggantinya dengan pot bunga
berwarna kuning kesukaanku.<br /> <br />Musim dingin selalu membawa keindahannya tersendiri. Pertama aku
merasakannya justru di negeri Cina, saat ketenteraman hati dan harapan ke masa
depan gelap bagai malam-malam musim dingin itu. Aku menggigil sendirian.
Teman-teman juga. Seperti diriku, mereka tidak pernah bepergian ke luar negeri,
dan berita-berita di radio mewartakan harapan yang putus untuk kembali ke tanah
air. Aku tahu bahwa musim dingin akan berganti dengan musim semi, musim harapan
dengan bunga-bunga yang mulai kuncup. Hal itu mungkin terjadi di alam lain,
tidak di negeri asing ini, negeri asing pertama yang aku injak, bersama-sama
rekan wartawan yang semuanya harus menerima kemandegan perjalanan hidup
masing-masing. Kapan kami bisa pulang, tak seorang pun yang tahu.<br /> <br />“Sebaiknya kita tidak pulang,” pemimpin rombongan memberi saran. Dia bukan
menghibur kami, sebab dia juga tak mampu menghibur dirinya sendiri. Baginya
urat nadi kehidupan juga sudah putus, seperti urat nadi kami. Kami benar-benar
tak tahu apa yang harus diperbuat.<br /> <br />Kami harus tunduk kepada hukum lokal, dan sering mendapat caci-maki sebab
sudah berbuat kesalahan. Tetapi, apakah itu memang salah kami? Kami tidak tahu
apa-apa. Ketika kami berangkat, semua baik-baik saja Tidak ada tanda-tanda yang
mengkhawatirkan. Memang, beberapa bulan sebelumnya koran kami mendapat surat
edaran, yang menyatakan bahwa kami harus berafiliasi dengan partai atau ormas
tertentu. Menurut perasaanku, surat itu biasa saja. Sudah semestinya kami
meletakkan diri di mana. Dan tanpa kecurigaan, Pemimpin Perusahaan kami
mengirim keputusan rapat yang menyatakan bahwa kami berafiliasi dengan sebuah
ormas tertentu. Itulah ujungnya.<br />***<br /> <br />Sudah lama berlalu. Dari satu negeri ke negeri lain, bertemu dengan
teman-teman lain yang semuanya merindukan gudeg Yogya, atau rujak cingur, atau
rendang, atau empek-empek Palembang, atau?..<br /> <br />Namun, tetap saja kami terlunta-lunta. Untung aku mendapat pekerjaan
mengajar di universitas setelah berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lain. Dan istri serta anakku menyusul, hampir sewindu kemudian. Aneh memang,
dalam ketiadaan harapan, istriku bertahan hidup, dan justru menyusulku ke
negeri orang, bukan memutuskan untuk menikah lagi dan melupakan masa lalu. Masa
lalu adalah masa kami berdua, dan itulah kunci ketulusan hati istriku.<br />***<br /> <br />Kubuka bungkusan kertas hijau itu. Di dalamnya ada selembar kain batik.
Kain batik sidomukti. Dan masih ada sebaris puisi:<br /> <br />Mukti di usia senja<br /> <br />Aku tiba-tiba teringat ibu. Ibu pernah bercerita, bahkan ketika aku
dilahirkan, ibu meminta nenek membungkusku dalam kain batik sidomukti. Katanya,
aku tidur dengan tenang setiap saat, hanya terbangun ketika minta minum serta
kencing. Kata ibu:<br /> <br />Lahir mukti<br /> <br />Aku benar-benar dilahirkan mukti. Di Pare, Kediri, bapakku yang guru tak
kekurangan apa. Gajinya uang gulden dan ibu pandai mengatur rumah tangga.
Sampai Jepang datang ketika aku berusia sembilan tahun lebih dua bulan, hidup
kami memang sejahtera. Lalu saudara tua mempropagandakan kemakmuran Asia Timur
Raya dan kami mulai tergencet dalam keseharian antara makan dan tidak makan.
Banyak yang jatuh sakit dan meninggal, banyak yang dikirim kerja paksa demi
membela tanah air.<br /> <br />Ketika zaman susah aku menikah dengan Jeng Retnowulan, kami mengenakan kain
batik sidomukti. Ibuku, juga ibu mertuaku mengatakan:<br /> <br />Hidup mukti.<br /> <br />Jangan sampai mengenakan kain batik dengan corak parang rusak, sebab
segalanya akan hancur berantakan. Kado yang kami terima cuma gelas minum
beberapa biji. Tidak ada kado kain sutera atau cangkir keramik yang bagus. Tapi
mertuaku menghidangkan nasi rawon dengan daging pilihan pada resepsi pernikahan
yang meriah.<br /> <br />Aku bekerja sebagai guru di sebuah SMA Swasta dan juga sebagai wartawan
budaya di sebuah koran yang cukup besar untuk ukuran saat itu, sementara aku
juga menulis cerita pendek yang diterbitklan di dalam majalah Sastra. Tapi
kehidupan pengarang saat itu sangat memprihatinkan, sebab honor mengarang
sangat kecil. Hanya satu koran Berita Minggu yang berani membayar mahal, sampai
Rp 500,- satu cerita pendek, padahal gajiku sebagai wartawan tak sampai Rp
2000,-<br /> <br />Toh kami bertahan hidup. Orang lain makan bulgur, kami masih sanggup makan
nasi bercampur ketela. Kami masih mampu memelihara kelinci dan istriku kadang
memasak sate kelinci.<br /> <br />Hidup mukti.<br /> <br />Sampai berita gembira itu tiba. Aku dan beberapa orang teman wartawan dari
seluruh Indonesia akan diberangkatkan ke luar negeri. Istriku mulai mencari
hutangan buat membeli kain bahan jas yang akan kukenakan. Kain mohair warna
coklat yang tak begitu bermutu, tapi aku harus punya sepasang jas untuk sebuah
pertemuan internasional. Dan dengan menenteng kopor seng peninggalan ayahku,
aku diantar ke stasiun kereta api menuju Jakarta. Dari Jakarta rombongan akan
berangkat bersama.<br /> <br />“Mas, semoga selamat kembali ke rumah.”<br /> <br />“Doakan Jeng Retno.”<br /> <br />Dan itu hanyalah sepotong harapan dan sebisik doa. Kami harus berpisah
sewindu lamanya.<br />***<br /> <br />Salju masih turun, namun musim dingin sebentar lagi berlalu. Tanganku sudah
lama terasa ngilu bila musim dingin tiba. Bila musim berganti, bukan harapan
baru yang muncul. Sebelas hari lagi anak-anak muda yang penuh rasa cinta
merayakan Valentine Day, hari kasih sayang. Adakah kasih sayang ketika
teman-temanku menghilang dari peredaran, sebagian konon sudah menjadi korban
kemarahan rakyat? Dengan perih Eliot menyitir keyakinan orang Hindu:<br /> <br />“April is the cruellest month?”1<br /> <br />Dan kain sidomukti yang aku terima dititipkan Gede Budasi, anak dari bekas
murid temanku yang datang ke negeri ini untuk mengkonsultasikan disertasinya
tentang sistem kekerabatan bahasa Sumba, salah satu bagian dari bahasa besar
bahasa Austronesia, bidang linguistik historis komparatif. Dosen pembimbingnya
di UGM Dr Inyo Fernandes pernah dikirim ke Leiden. Profesor Northofer yang ahli
bahasa-bahasa Austronesia itu memang mengajar di Universitas negeri ini.<br /> <br />Di usia baruku nanti, di kedatangan musim semi, apakah siklus sedih akan
kumulai? Aku tidak tahu. Dan aku juga tak tahu makna kado istimewa untuk ulang
tahunku yang ke tujuh puluh dua ini. Siapakah yang dapat meramalkan kehidupan
seseorang? Siapakah yang dapat mengatakan padaku bahwa sudah hampir empat puluh
tahun meninggalkan Kediri, meninggalkan tahu yang kurindukan, dan apa yang akan
terjadi?<br /> <br />Aku teringat ibu, teringat mertuaku, dan teringat temanku:<br /> <br />Lahir mukti<br />Hidup mukti<br />Mati pun mukti.<br /> <br />Benarkah? Salju makin deras menerpa jendela, melayang seolah ingin menyapu
dinding dengan kuas raksasanya. Salju telah turun, dan musim semi akan segera
tiba. Musim yang paling kejam, yang justru tampak memunculkan bunga-bunga aneka
warna, warna-warna semu dari sela-sela tanah yang sebelumnya diselimuti salju.
Dan tanganku makin terasa ngilu.<br /> <br />Lahir mukti, hidup mukti, mati mukti<br />Shantih, shantih, shantih2<br /> <br />Tergetar giring-giring berdenting jauh ke dinding hati: shantih, shantih,
shantih. Damai di dunia. Mukti saat mati.<br />***<br /> <br />Singaraja, Dua minggu pertama September 2004<br /> <br />1 Larik pertama puisi panjang The WasteLand karangan TS Eliot<br />2 Shantih, shantih, shantih= larik terakhir sajak The Waste Land.<br /><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/10/kain-batik-sidomukti/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2010/10/kain-batik-sidomukti/</span></a>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-46875129198514968522021-08-19T01:31:00.004-07:002021-08-19T01:31:18.885-07:00PUISI-PUISI YANG BERSELIMUT TEBALRagdi F. Daye<br />harianhaluan.com, 27 Maret 2011<br /> <br />Sebagai karya sastra, puisi mengekspresikan pengalaman hidup manusia dan
pemahamannya tentang kehidupan melalui bahasa yang estetis. Berbeda dengan
prosa yang mempunyai peluang menyampaikan maksud dengan kapasitas ruang
ekspresi yang cukup luas, puisi memadatkan gagasan dalam tubuh yang ramping.
Konsekuensinya, puisi perlu menyaring dan memilah kata-kata secara lebih
ekstrem untuk menghantarkan maksud pengarangnya. Bahasa dalam puisi merupakan
kristalisasi atas bahasa yang biasa digunakan dalam keseharian. Inilah yang
menimbulkan aspek estetika di dalam tubuh unik puisi.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Aspek estetika tersebut memungkinkan terjadinya komunikasi antara penyair
sebagai pencipta puisi dan pembaca yang kelak merefleksikan dirinya pada teks.
Apabila bahasa yang digunakan oleh penyair dapat dipahami secara seimbang oleh
pembaca, komunikasi makna pun tercapai. Apa yang dimaksudkan penyair ikut
dirasakan oleh pembaca. Kegelisahan dan keperihan penyair juga menimbulkan
pembaca gelisah dan menderita perih. Namun, komunikasi tersebut tidak mudah
karena dunia pengalaman sang penyair berbeda dengan pembaca. Di sanalah
kekuatan refleksi bahasa memegang peranan penting, ketika dunia yang dialami
oleh penyair dapat terhadirkan dan secara sejajar dapat diterima oleh
pembacanya. Kalaupun sang pembaca tidak sepenuhnya memahami apa yang
dimaksudkan penyair, namun bahasa yang membangun teks puisi memungkinkan
pembaca mendapatkan bias atau pantulan kehidupan dan pengalamannya pada teks
tersebut, sehingga dia pun secara sadar atau tidak, secara memuaskan atau
tidak, telah mencerap makna dari teks tersebut.<br /> <br />Rumit dan Sederhana<br /> <br />Memasuki puisi seperti berendam di kolam, tak akan terasa hangat atau
sejuk airnya bila kita tidak masuk ke dalamnya. Dimulai dengan menyentuh air,
mencelupkan tangan atau kaki, dan mencebur ke dalamnya. Setelah berada di
dalamnya, kita pun dapat membuka diri untuk membiarkan tubuh merasakan aliran
sensasi yang meresap melalui pori-pori. Memang, menikmati kolam bisa juga
dengan sekadar duduk-duduk di pinggirnya sambil membasuh muka dan tangan serta
membasahkan kaki, namun rasa yang direguk tentu berbeda dibanding bila telah berendam
dan berkecimpung di dalamnya.<br /> <br />Puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki (GPU, 2010) ini bagi
saya seperti kolam eksotis yang misterius. Saya begitu tergoda untuk mencebur
ke dalamnya, namun remang kabut dan aneka makhluk-tak-dikenal yang menyesak di
sekelilingnya membuat hati saya gugup untuk melompat masuk, mengukur kedalaman
dan menikmati keindahannya. Hanya setelah mengumpulkan segenap keberanian dan
sedikit bekal, saya dapat memasukinya. Tapi entahlah, apa sudah sampai ke
dasar paling dasar atau hanya permukaan dangkal.<br /> <br />Sebagian besar puisi dalam buku ini berbicara tentang hal-hal yang
sebenarnya sederhana; tentang hewan, makanan, tumbuhan, tempat, orang-orang,
peristiwa, atau pun benda-benda yang ada atau dapat ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Peoni, misalnya. Bagi orang Indonesia mungkin nama itu tidak
akrab, namun ia merupakan bunga belaka. Ia adalah sejenis bunga rempah yang
berasal dari Tiongkok dan biasa dipakai sebagai hiasan ornamen keramik.
Bentuknya seperti mawar, namun mempunyai mahkota yang agak luas. Perilaku
bunga ini adalah setelah mekar di awal musim semi, ia perlahan-lahan melayu ke
tanah dan mati. Puisi ini berbicara tentang lahir-hidup-mati melalui bunga yang
tak sepopuler mawar.<br /> <br />Puisi-puisi Nirwan cenderung diselimuti oleh kata-kata dan frase yang
terasa asing sehingga memancing saya untuk membuka kamus atau pun browsing di
internet. Sering saya berhenti sebentar untuk mencari makna suatu kata atau
mencari informasi tentang nama dan istilah tertentu. Memang melelahkan, namun
membawa saya pada dunia baru yang belum saya kenal, lama-lama mengasyikkan.
Bila sedang tak serajin itu, saya akan mengacuhkan saja kata-kata referensial
yang bertaburan dan memandang si puisi dengan sesederhana mungkin. Misalnya
puisi “Asal Usul Kebahagiaan”, saya paham bahwa kebahagiaan itu akan dapat
dirasakan ketika kita bisa menerima sesuatu dengan apa adanya,
seiklas-iklasnya, dan merasakan pesonanya.<br /> <br />Sebagian besar puisi Nirwan ini dirangkai dengan nama-nama dan istilah dari
berbagai bidang dan dari berbagai belahan bumi. Di antaranya bertuliskan nama
tokoh di bawah judul yakni tokoh-tokoh dari bidang seni rupa dan puisi. Untuk
lebih leluasa memasuki puisinya, memang dibutuhkan penjelajahan mencari
referensi. Terutama agar dapat memaknai secara pas. Walau tidak ada jaminan
bahwa referensi tersebut memang menguatkan makna puisi atau nonsens.<br /> <br />Esha Tegar Putra telah melakukan penelusuran atas nama-nama tokoh di bawah
judul sejumlah puisi. Hasilnya mengejutkan, ada beberapa puisi yang mempunyai
hubungan erat dengan karya seni rupa yang dikerjakan oleh tokoh yang namanya
tertulis itu, seperti Max Ernst pada puisi “Gajah Sulawesi” dan Anish Kapoor
pada puisi “Telur Chicago”. Apakah Nirwan Dewanto menulis puisi dari karya
rupa? Entahlah, yang jelas dia memang seseorang yang punya perhatian besar
terhadap karya rupa dan sering menjadi kurator di bidang itu. Apabila benar
bahwa ada puisi Nirwan yang diciptakan dengan sumber ide dunia dalam karya
rupa, itu adalah suatu hal yang menarik. Pengarang atau penyair dapat memaknai
alam semesta untuk menulis, termasuk alam di dalam lukisan, lebih-lebih bila
menafsirkannya melalui karya sastra. Karya rupa dapat menjadi sumber ide untuk
menulis karya sastra, itu sebuah jalan yang unik. Hanya saja, apabila puisi
memindahkan realitas dalam karya rupa secara ‘utuh’ begitu saja, puisi menjadi
transformasi belaka. Nilainya bisa tak kalah menyedihkan dibanding novel-novel
adaptasi dari film.<br /> <br />Perihal Erotika dan Parodi<br /> <br />Buli-buli merupakan sejenis guci atau botol kecil. Benda ini dapat
digunakan untuk menyimpan barang-barang kecil atau minyak wangi. Buli-buli
juga dikaitkan dengan organ reproduksi/ sekresi laki-laki yakni kantung kemih
sehingga dapat dihubungkan dengan alat kelamin. Di dalam ilmu kedokteran,
salah satu jenis kanker prostat adalah kanker buli-buli atau kanker kantung
kemih. Pada judul buku ini, buli-buli sepertinya mengacu pada guci kecil karena
memiliki kaki. Namun, kandungan makna yang kedua sepertinya ikut mewakili isi
buku ini.<br /> <br />Tidak satu-dua saya temukan puisi yang mengandung unsur erotika. Sebagian
hanya berupa kilasan, namun ada juga yang cukup intens seperti dalam “Sapi Lada
Hitam”, “Bulan Madu”, dan “Virgo”. Secara teori, istilah erotika berbeda dengan
pronografi. Menurut KBBI edisi ketiga, erotika adalah karya sastra yang tema
atau sifatnya berkenaan dengan nafsu kelamin atau keberahian.<br /> <br />Di dalam puisi “Sapi Lada Hitam” (hal. 31-32) berulang kali muncul kata
buli-buli yang mengacu pada pengertian kedua. Puisi bersubjudul Francis Bacon
itu menceritakan dua orang yang menyembelih seekor sapi untuk hidangan mereka
diselingi adegan persetubuhan. Mungkin puisi ini ada hubungannya dengan
peristiwa pemancungan Pangeran Essex, sahabat Francis Bacon yang hendak
mengkudeta Ratu Elizabeth di abad ke-16, atau tentang cinta terlarang pelukis
bernama sama di abad 20, atau bisa saja tak berhubungan sama sekali. Tapi
beberapa bagian dalam puisi ini terdapat unsur erotisisme.<br /> <br />Selain erotika, saya juga menemukan kenakalan Nirwan dengan memarodikan
sesuatu yang telah ada dan mapan. Seperti ‘mempermainkan’ peribahasa, doa, dan
puisi terkenal.<br /> <br />Puisi “Belaka” (hal. 131-132) adalah ‘olok-olok’ atas puisi “Aku Ingin
(Mencintaimu dengan Sederhana)” karya Sapardi Djoko Damano yang telah terkenal.<br /> <br />Puisi lain yang berisi parodi adalah “Doa Musim Gugur” (hal. 158-162) yang
merupakan puisi terakhir dalam kumpulan ini. Puisi ini diawali dengan gaya
pembuka surat (dalam Al Quran): “Demi waktu yang memisahkan nyanyi dari pahala,
lemak dari susu, kau dari kulit, aku dari akar”, disertai ungkapan “Mahabenar
majas dengan segala muslihatnya”, dan ditutup dengan “Aku berlindung kepada
lidahmu dari godaan nahu yang terkutuk.”<br /> <br />Apa maksud Nirwan dengan berparodi begitu? Saya pikir, itu tak jauh berbeda
dengan motif-motif puisinya: bereksperimen dengan bahasa yang membuat pembaca
sesak napas untuk menunjukkan jalan puisinya, sekaligus bersenang-senang.
Bukankah puisi juga media ekspresi menghibur diri?<br /> <br />Kampung dan Kosmopolitan<br /> <br />“Pengarang Telah Mati” demikian ungkapan yang biasa dimahfumi ketika
membaca karya sastra. Bicara karya sastra berarti murni membicarakan teks.
Namun, karena di dalam teks banyak jejak-jejak ‘lekat tangan’ si pengarang yang
memengaruhi karya ciptaannya, seolah ada sebagian jiwanya menyisip di dalam
teks, maka saya merasa perlu mengenal penyairnya. Membaca puisi-puisi dalam
buku Buli-Buli Lima Kaki ini, saya tidak bisa untuk tidak mengaitkan dengan
sosok Nirwan Dewanto yang seorang kritikus sastra, kurator seni rupa, dan
pernah hidup di negeri asing (luar Indonesia, terutama Amerika Serikat dan
Eropa). Bila puisi-puisi Nirwan tampak ‘melenceng’ dari kecenderungan
puisi-puisi penyair Indonesia, ini disebabkan oleh dunia pengalaman yang
mempengaruhi sudut pandangnya dalam memaknai kehidupan, termasuk atas minat,
pikiran, dan gaya bertuturnya.<br /> <br />Semua itu malah memperkaya warna dalam puisinya. Saya menemukan nuansa
kampung dalam alam kosmopolitan. Aneka bau bumbu dan rempah-rempah di dapur
kampung berbaur dengan suasana negeri empat musim yang bersalju, musim semi,
tumbuhan-tumbuhan berdaun jingga, dan lanskap kota yang asing. Meskipun
bermain-main dengan hal-hal yang asing atau ganjil, Nirwan masih penyair
Indonesia yang rajin dan ambisius dalam menggali khazanah bahasa Indonesia.
Puisi-puisinya banyak memakai kata-kata yang terasa janggal bagi orang yang tak
mengenalnya, seperti ‘semenjana’, ‘hujah’, ‘jirih’, ‘cerpelai’, ‘tarikh’, atau
‘padma’, serta menggunakan rangkaian kata (frase dan klausa) yang ganjil, namun
itu memperkaya puisi. Buli-Buli Lima Kaki ini seperti menunjukkan bahwa Nirwan
Dewanto masih ‘mengerjakan’ puisi.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Ragdi F. Daye, Pengarang tinggal di Padang. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2013/03/puisi-puisi-yang-berselimut-tebal/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2013/03/puisi-puisi-yang-berselimut-tebal/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-39139555010827023812021-08-19T01:29:00.001-07:002021-08-19T01:29:21.557-07:00WONOKROMO Akhudiat<br /> <br />Wonokromo adalah leher botol<br />Ke tembolok Surabaya melahap & muntahan apa & siapa saja<br />Tak pedulu basa-basimu, sumpah serapah, protes atau acungan jempol<br />Bahkan sindiran atas jalan layang<br />Cuma sejengkal dari kontraktor/ birokrat<br />Leher makin menjerat simpul ketat di kerah putih tegang<br />Napas berat lewat pori-pori yang meregang<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Wonokromo adalh hintterland, distrik udik, dulu<br />Trem uap & trem listrik berhenti di halte<br />Seberang sungai<br />Kebun binatang, Darmo Boulevard, kerlap-kerlip kotaraya<br />Seberang sungai<br />Di sini kancah buangan & mimpi orang usiran<br />Pencopet, pelacur, begundal, buronan<br />Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri<br />Atau sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api<br /> <br />Gerbong-gerbong pengusung pendatang/ calon gelandangan<br />Ulang-alik<br />pesisir-pedalaman<br />siang malam<br /> <br />"Kalau ke Wonokromo, jangan lupa belikan<br />jajan pasar atau ayam goreng di warung karen<br />Kedai sisa jilatan api & penggalan trotoar<br />Sampaikan salam ke penjaga karcis<br />Di gedung dulu lundruk kini bioskop."<br /> <br />Wonokromo menampung dan menanggung mereka<br />bersama air bah coklat rasa gatal ulat<br />Seperti emak susuan tak pernah nyapih<br />Sampai busung cacingan ular/ naga<br />Siap meledak kuman-kumannya<br /> <br />Wonokromo adalah monumen<br />Pasar terbakar<br /> <br />1995<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/wonokromo/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/wonokromo/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-14605581958650704362021-08-19T01:27:00.005-07:002021-08-19T01:27:52.894-07:00Catatan Singkat: Merdeka itu Berjalan di atas Cita-cita!Nurel Javissyarqi *<br /> <br />Sudah lama tak menulis lewat status facebook. Untuk memulainya kembali,
yang ringan-ringan dulu. Kali ini, ditujukan pada orang-orang yang mencemburi
saya atas kengangguran diri pribadi. Semoga nanti, tiadalah terbersit tindakan
somse, kecuali demi mereka tak cemburu lagi atau kembalilah saling menginsyafi.
Ada-ada saja pertanyaan seolah ingin tahu perputaran uang di saku, semisal
“Selama ini tidak pernah menghasilkan uang dari website?” Batin ini agaknya
berontak, “Jangan hubungkan sastra dengan uang di hadapan saya!” Selanjutnya,
sambil dengar musik Mehter Ottoman, diperturutkan ini lelangkah... Bismillah...
(Sepertinya agak sungkan, tapi biarkanlah dituntaskan guna pada ‘mingkem’, dan
tiada pertanyaan semacam itu lagi).<span><a name='more'></a></span><br />***<br /> <br />Alhamdulillah, saya terlahir dari keluarga kalangan menengah, dibanding
tetangga sedesa. Sekecilnya, ortu sudah memiliki perabotan mewah, misalkan
televisi dan mobil. Dan sewaktu masih bocah, sekitar tahun 1980-an, pergaulan
orang tua (ortu) telah memasuki kelas atas, terbukti setiap bulan saya diajak
ke Surabaya untuk mengikuti arisan bersama para pedagang keturunan Tionghoa
dengan pesta makan ala mafia. Sampai terbersitlah dambaan dimasa itu -kelak
dewasa menikah dengan gadis china berkulit putih aduhai. Tapi hayalan soal gadis
mulus berbanding terbalik dengan keseharian saya yang condong bergaul bersama
teman-teman tak berada, tersebut lantaran diri begitu terhanyut oleh kekisah
mengenai orang-orang utama atau para alim ulama yang kerap didongengkan para guru
ngaji. Dan nyatanya sejak belia lebih menikmati kehidupan sederhana. Contoh
waktu ortu membelikan sepatu, lebih memilih yang mereknya sama dipakai teman Ibtidaiyah.
Namun agak berbeda, tatkala menginjak Tsanawiyah, tergiur juga pakaian bermerek.<br /> <br />Pergaulan dengan para pedagang Tionghoa Surabaya tersebut Alhamdulillah
secara fisik keluarga besar kami mendukung, Emak berkulit putih laksana orang
keturunan China, Abah berhidung mancung seolah keturunan saudagar dari bangsa
Arab. Semenjak itulah, saya berusaha belajar ambil manfaat pandangan orang lain
demi lelangkah berikutnya. Perihal ini mengingatkan masa-masa berangkat ke Jombang
demi mondok saat naik bus antar kota, kerap kali gonta-ganti gaya penampilan,
kadang awut-awutan seperti preman atau pencopet, kadang ‘macak’ santri tulen. Dari
sini jadi tahu, kebanyakan orang melihat dari penampilan saja, dan kala kuliah menggondrongkan
rambut pun ambil untung sebaik-baiknnya hingga kerap naik bus ke Jogjakarta,
duduk di bangku untuk orang bertiga, saya pakai sendirian berleha-leha. Pungkasnya
- hanya mata dekatlah, yang mengerti rindu dari pedihnya ujung pena.<br /> <br />Mungkin saya termasuk orang boros menghambur-hamburkan rupiah sebelum tahun
2011 atau dari masa kanak hingga tahun 2010. Hampir semua keinginan pribadi terpenuhi,
tapi hasrat saya tidaklah ‘neko-neko,’ itu bisa saja lantaran kemujaraban
wejangan guru ngaji dan sekolah, yang terserap secara alami dalam diri seorang
bocah. Mengenal rokok, sejak pergaulan teman Tsanawiyah, dan sampai kini masih.
Ketika Aliyah di Jombang, saya semakin boros, rokok Malboro, dan berhenti
merokok Malboro atau menguranginya dengan merek lain, dikarena sempat muntah
darah. Tahun 1995-2001 kembara ke Jogja, akhir di Magelang ditutup di Ponorogo,
kemudian pulang ke Lamongan tahun 2002 -menikah. Pernikahan tersebut kandas
tahun 2011, dan entah semilir angin apa mendorong diri balik ke bencah
Jeruksing (bermukim di kediaman Dr. Sutejo), Njoresan, Tegalsari (Ponorogo).
Kegagalan membina rumah tangga barangkali yang menyadarkan untuk tidak
terlampau egois mengenai dunia perbukuan, setidaknya masa-masa sebelumnya lebih
percaya ungkapan, ujaran atau pengetahuan yang bertebaran di buku (kitab), daripada
obrolan di warung kopi misalnya, dan tidak atau kurang peduli kehidupan orang
lain, kecuali berhubungan dengan keilmuan. Pengembaraan kedua di tlatah Reyog
atas bimbingan sang motivator ulung Sutejo, diri pribadi saya sedikit demi sedikit
diarahkan mengenai kehidupan bersosial. Sekecilnya mulai belajar menghafal
nama-nama kawan baru yang tidak melulu berkecimpung di dunia penulisan. Dulu,
hampir semua ucapan pula tindakan seseorang, yang tidak tertera di buku
(kitab), saya abaikan. Dahulu, dikala keluar rumah tak membawa uang banyak,
kurang percaya diri. Di bumi Bathara Katong kedua itulah baru sadari, bahwa
menerima pemberian atau belas kasih itu berat, sangat berbeda tangan di atas betapa
ringan. Pada titik inilah saya percaya, bahwa kedudukan memberi dan menerima adalah
sama derajatnya atau tiada tinggi-rendah.<br /> <br />Dalam nilai material alam perbukuan, banyak teman saya sukses hingga jadi
milioner, tapi hingga kini tiada cemburu, termotivasi untuk kaya raya pun tidak,
mungkin saya telah kenyang mengenal gula-gula kehidupan sejak belia, atau merasai
cukup menikmati hidup di dalam kesederhanaan. Sampai suatu kali bertanya kepada
teman milioner tersebut, salah satunya pemilik penerbitan Araska, “Jangan-jangan
saya tidak normal, karena kurang tertarik uang atau kemewahan? Dan sepertinya
tiada jawaban, sambil kami terus melangkah di alur masing-masing tetap berkawan
baik. Maka ketika tahun 2015 berniat menikah kembali, saya utarakan pada calon
pasangan, “Kalau membina keluarga dengan saya, jangan berharap bisa kaya.” Ini
tidak lebih lantaran diri masih mencintai dunia tulis-menulis, atau lebih
banyak waktu membaca. Aha, jadi teringat semasa kecil pernah berdoa, “Ya Allah,
kelak ketika dewasa, berikanlah pekerjaan yang tak banyak keluarkan tenaga
fisik, tapi yang berhubungan dengan pemikiran,” karena menyadari tubuh yang
kurus. Alhamdulillah, pernikahan kedua hanya dengan maskawin sebuah puisi, ini suatu
bukti istri saya tak berharap lebih akan kebutuhan berumah tangga. Sekali lagi
Alhamdulillah.<br />***<br /> <br />Parahnya sekitar setahun lalu dan lebih, saya dengar diantara pencemburu ada
sempat berkata, “Lihat saja nanti, dipastikan gagal lagi berumah tangga.” Repot
memang, ketika tidak tahu gaya hidup, pola pikir pilihan jalan hayati, rongga napas
ketentuan disamping ketetapan Tuhan. Memang mungkin ada eloknya, ketika seseorang
menyenangi kegiatan suatu hal yang dianggap mengasyikkan sekaligus beri untung,
lantas mengajak orang lain berlaku sama, misal ortu saya sejak kecil mengarahkan
diri menjadi pedagang, tapi ketika ketidaksepahaman terjadi, saya kira kurang
bijak menyalahkan pilihan atau gaya orang lain, apalagi sampai membilang sekalimat
di atas. Toh, saya tidak sekalipun ngerecoki keluarga mereka. Alhamdulillah,
istri saya kadang mengikuti pola saya ketika ada pihak luar kasih berita kurang
sedap dengan laksana cermin. Contohnya ketika dari luar menakut-nakuti ataupun
meragukan pasangan kita, dibalikin saja kabar tersebut kepada mereka. Saya kira,
hanya kaum kesepian yang mencari kerjaan sampingan, atau bahasa lain ngegosip.<br /> <br />Bisa dibilang saya orang pasar dan bodoh. Kata “bodoh” terbit sejak belia,
sebagai anak terlahir prematur, urusan nalar kerap buntu kecuali tertimpa gencetan.
Dan itu pun terjadi -saya ingat betul kejadiannya: saya bertiga dengan dua
teman naik perahu ruyung melaju di atas sungai, saat itu usia kami kelas empat
Ibtidaiyah, perahu tersebut terbalik karam, kedua teman bisa berenang, sementara
saya tidak, maka merangkaklah diri dari dasar sungai wingit sambil mengingat-ingat
tepian terdekat, Alhamdulillah sampai di tepi keselamatan. Di waktu lain saya cetuskan
sebuah kata mutiara, kalau tak keliru terkumpul di buku Ujaran-Ujaran Hidup
Sang Pujangga, “Orang yang selamat dari bencana, akan menyelamatkan bangsanya.”
Tentu aforisma tersebut didukung banyak referensi atas kejadian-kejadian
menimpai para tokoh, agar apa yang terkata sealur perjalanan suatu sejarah.
Mengenai kata “pasar,” pembaca tahulah arus persaingan di dalamnya, yang
mengharuskan bermental tangguh agar tidak dianggap enteng lawan pebisnis, sebisa
mungkin menguasai jalur-jalur perdagangan, jikalau berhasrat menerjuninya. Dan sejak
Tsanawiyah, pergaulan hidup saya sudah dengan orang-orang serampangan luar
desa, diri pelajari betul dan tercacat di lembar-lembar ingatan. Saya pikir
benar, kejujuran paling utama di segenap kehidupan. Akhirnya, Hasbunallah
wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir, la hawla wala quwwata illa billahil
aliyyil azim...<br />***<br /> <br />*) Tukang posting di website Sastra-Indonesia.com dan puluhan pasukan blogspot. <br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/catatan-singkat-merdeka-itu-berjalan-di-atas-cita-cita/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/catatan-singkat-merdeka-itu-berjalan-di-atas-cita-cita/</span></a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-68671780766960011642021-08-19T01:25:00.006-07:002021-08-19T01:25:36.281-07:00Novel Orang-Orang Bertopeng (20)Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002<br /> <br />Teguh Winarsho AS<br /> <br />Ya, semua orang boleh bahagia. Mengumbar senyum. Mengumbar tawa. Tapi tidak
dengan Fatma. Semakin mendekati hari pernikahan Fatma semakin sedih dan cemas.
Larut malam Fatma sering terjaga dari tidur dengan tubuh gemetar basah
keringat, menggigil ketakutan. Bahwa kini ia bersedia menerima Salman sebagai
suami, adalah keterpaksaan yang tak bisa dihindari. Pernyataan cintanya pada
Salman, paksaan Umi yang sampai menjatuhkan pilihan sulit; menikah dengan
Salman atau pergi dari rumah adalah penjara yang mengurung Fatma. Penjara yang
jauh lebih menyeramkan dari sekadar penjara yang dibatasi tembok tebal atau
lonjoran-lonjoran besi tua.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Fatma, gadis cantik itu, sebagaimana gadis-gadis lain di Ulegle memang tak
cukup bernyali jika sudah berhadapan dengan orang tua. Mereka menganggap
kepatuhan pada orang tua adalah kemutlakan yang tak bisa ditawar. Termasuk
dalam hal jodoh. Karenanya perlawanan yang dilakukan Fatma hingga menyulut
pertengkaran hebat dengan Umi beberapa waktu lalu sudah menjadi nilai lebih
bagi Fatma. Bahwa pada akhirnya Fatma kalah, tetap harus menerima keputusan Umi
untuk menikah dengan Salman, adalah soal lain.<br /> <br />Hanah, Nuriya, Atimi, Rukisha, dan masih banyak lagi teman sebaya Fatma
yang sebagian menamatkan SMP dan sebagian lagi hanya tamat SD, lebih senang
bergelut dengan lumpur di sawah atau ladang dan menerima laki-laki siapa saja
yang divonis oleh orang tua mereka untuk menjadi suami. Memang, fakta selalu
menunjukkan bahwa keluarga yang mereka bina baik-baik saja. Normal-normal saja.
Terus beranak setiap tahun. Mungkin ini juga salah satu penyebab kenapa
gadis-gadis Ulegle tak suka melawan keinginan orang tua. Toh, pada akhirnya
keluarga yang mereka bina bisa bahagia. Sejahtera. Saling mencintai. Mengasihi.
Rukun dan damai.<br /> <br />Terdengar langkah kaki semakin banyak di rumah Fatma. Sesekali terdengar
gelak tawa membahana. Fatma tidak tahu siapa saja yang datang. Yang ia dengar
dengan jelas hanya suara Umi yang berlagak seperti bos, dengan suara nyaring
menyuruh orang-orang untuk mengerjakan ini itu. Adakah Cut Hindar di antara
mereka? batin Fatma berjalan menghampiri pintu, mengintip lewat lubang kunci.
Tapi lubang kunci yang lebarnya tak lebih dari telunjuk jari anak kecil itu,
Fatma tak menemukan Cut Hindar. Di mana? Rasanya tidak mungkin jika Cut Hindar
tidak datang ke rumah. Batin Fatma.<br /> <br />Tiba-tiba Fatma ingin sekali bertemu dengan janda pemilik warung kopi itu.
Ada banyak duka, ada banyak kesedihan, ada banyak kekecewaan yang sudah tidak
sanggup ia tanggung sendiri. Catatan harian, bantal, cermin, sudah tidak mampu
lagi menampung duka nestapanya. Hari-hari terasa begitu kelam. Ia butuh
seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya. Tapi siapa? Kadang Fatma merasa
dirinya hidup hanya seorang diri di dunia ini.<br /> <br />Fatma bangkit dari ranjang menghampiri jendela kamarnya. Ia merasa udara di
dalam kamar terlalu sumpek, gerah. Sejak pagi jendela kamar itu memang belum
dibuka. Fatma ingin menghirup udara segar. Siapa tahu udara segar yang masuk ke
lubang hidungnya bisa membuat pikiran kusut menjadi jernih. Tapi saat tangannya
menyentuh daun jendela, tiba-tiba ia ragu. Gamang. Ya, Fatma tidak ingin
gadis-gadis di kampungnya mengintip ke dalam kamar begitu jendela dibuka.<br /> <br />Fatma kembali duduk di tepi ranjang. Mengedar pandang ke seluruh ruang
kamar. Hatinya tiba-tiba merintih perih. Tidak lama lagi ia harus meninggalkan
kamar itu. Kamar yang sekian puluh tahun ia tempati. Kamar yang telah menjadi
saksi perjalanan hidupnya. Fatma tidak tahu siapa nanti yang akan menempati
kamar itu. Abah lebih suka tidur di ruang tengah sambil mendengarkan radio. Umi
susah tidur jika tidak berada di kamarnya sendiri. Mungkin kamar itu akan
dibiarkan kosong. Dulu ia sering berangan-angan bisa menempati kamar itu
bersama Hasan. Melewati hari-hari yang indah. Penuh cinta dan ibadah. Kini
angan-angan itu pupus. Seorang laki-laki yang tidak ia cintai akan membawanya
terbang. Entah kemana….<br /> <br />Apakah aku bisa bahagia seperti Hanah, Nuriya, Atimi dan Rukhisa? Batin
Fatma gelisah. Janah, Nuriya, Atimi dan Rukhisa sebelumnya tidak kenal dengan
calon suami mereka. Tapi konon mereka bisa menemukan kebahagiaan setelah
menikah. Setelah berulangkali ketemu dan tatap muka. Setelah selembar tikar dan
kasur menyatukan mereka dalam gigil udara malam. Kebahagiaan itu semakin
sempurna tatkala anak-anak lahir dan terus lahir, celotehnya mengisi pagi,
siang, sore dan malam. Lalu akan ada mulut-mulut mungil yang kemudian memanggil
dengan suara nyaring; Bapak, Mamak, Umi, Abah atau Ine dan Ayah. Lalu,
hari-hari bergulir dalam geliat kerja mencari sesuap nasi di ladang atau sawah.
Begitu seterusnya.<br /> <br />Tapi benarkah mereka bahagia? Tahukah mereka arti bahagia? Kebahagiaan
seperti apa yang pernah mereka rasakan? Bagaimana jika sesungguhnya mereka
menderita? Penderitaan yang dibungkus senyum bahagia? Penderitaan yang disembunyikan
di balik kerudung dan mukena? Penderitaan yang coba terus diendapkan di dasar
hati? Anak-anak boleh terus lahir ke dunia, tapi siapa yang bisa menjamin
kelahiran mereka atas dasar cinta yang tulus? Bukan sahwat syaitan yang buncah
meregang dari balik sarung? Astagfirullah!<br /> <br />Tiba-tiba Fatma merasa perutnya lapar. Tapi suara di luar kamar terdengar
semakin gemuruh seperti suasana pasar malam. Membuat Fatma enggan keluar dan
memilih menahan lapar. Tapi biasanya jika ia terus mengurung diri di kamar,
Abah akan datang membawa makanan. Karena itu ia tak perlu lagi keluar kamar dan
cukup membuka pintu sedikit untuk menerima sepiring nasi berikut lauk-pauk yang
disodorkan Abah dari balik pintu. Tapi sudah sekian menit berlalu, Abah tidak
kunjung datang membawa sepiring makanan. Perut Fatma kian melilit perih seperti
ada ratusan semut menggigit.<br /> <br />Sementara di tempat lain, di rumah Salman, kebahagiaan tercermin di wajah
orang-orang yang hadir dalam rapat keluarga menyambut pesta pernikahan Salman.
Ada lima belas orang yang hadir dalam rapat itu yang kesemuanya masih ada
hubungan famili. Mereka duduk beralas tikar di ruang tamu dengan jamuan makan
ala kadarnya.<br /> <br />Sebagai anak bungsu, anak kesayangan, pernikahan Salman memang harus
berbeda dengan Jakfar, Ali atau Umar, tiga orang kakaknya yang lebih dulu
menikah dan sudah dikaruniai beberapa anak. Pesta perkawinan Salman harus lebih
besar dan mewah dibanding ketiga kakaknya. Karena itulah diadakan rapat
keluarga yang melibatkan kerabat dari pihak keluarga Mamak maupun Bapak. Tapi
Salman sendiri justru tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal kehadiran
Salman dalam rapat itu sangat penting.<br /> <br />Jakfar, kakak tertua Salman yang sejak menikah menetap di Sidikalang
menjadi pegawai KUA, seharian mencari Salman di rumah teman-teman Salman, tapi
hasilnya nihil. Diam-diam Jakfar kawatir dengan keselamatan Salman. Jakfar tahu
sejak ditangkap gerombolan orang bertopeng, Salman sedikit mengalami gangguan
kejiwaan. Jakfar sebenarnya ingin mengajak Salman menemui seorang psikiater
sebelum melangsungkan pernikahan.<br /> <br />Sebagai pegawai KUA yang kerap mengurus pernikahan maupun perceraian,
Jakfar tahu pentingnya kesehatan jasmani dan rohani bagi pasangan suami istri.
Hingga kini sudah tidak terhitung lagi kasus perceraian yang ia tangani akibat
salah seorang suami atau istri mengalami gangguan kejiwaan. Umumnya mereka
mengalami gangguan jiwa setelah ditangkap gerombolan orang bertopeng. Jakfar
tidak ingin kelak Salman mengalami hal serupa.<br /> <br />Hingga rapat keluarga selesai Salman belum pulang. Hal ini membuat Jakfar
semakin cemas. Terpaksa Jakfar menunda kepulangannya ke Sidikalang. Jakfar
ingin ketemu Salman dan bicara empat mata.<br /> <br />Berbeda dengan Jakfar yang terus didera cemas, Ali dan Umar terlihat tenang
dan santai. Sedikit pun tidak terlihat kecemasan di wajah mereka berdua. Ali
bahkan pulang sebelum rapat keluarga selesai karena di rumah istrinya sedang
hamil tua. Sedang Umar yang datang bersama istri dan ketiga anaknya, sejak awal
memang berencana menginap di rumah orang tuanya.<br /> <br />Satu per satu para kerabat yang rapat di rumah Salman pulang. Rumah besar
itu kini mulai lengang. Di halaman hanya terlihat anak-anak Umar sedang main
petak umpet. Juga Jakfar yang terus dicekam gelisah berjalan mondar-mandir di
teras rumah.<br /> <br />(bersambung)<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-20/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-20/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-5247642310257026702021-08-16T05:35:00.002-07:002021-08-16T05:35:50.349-07:00DENNY JA BAGAI TUPAI TERGELINCIRRemy Sylado<br />facebook.com/RemySylado23761<br /> <br />DENNY JA yang bersyahwat besar untuk dibilang dirinya ‘penyair’, tapi
dengan puisi kelas kriya atau kerajinan-tangan – berhubung puisinya tidak
puitis dan esainya tidak desertatif – berkata dengan congkak bahwa kesalahan
saya adalah kesalahan logika, maka dia menuntut saya untuk merespon
pernyatannya itu.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kesalahan logika? Eh alah, anake sopo iki? Entah di mana anak ini belajar
logika. Dia mengalirkan frustrasinya secara terbuka: mengira bahwa logika
sebagai ilmu itu hanya satu jurus. Dia tidak tahu, bahwa logika yang dirumus
Aristoteles melalui kumpulan tulisan dalam ‘Organon’, telah berkembang menjadi
jamak, artinya bukan hanya tunggal, yaitu bahwa dalil-dalil dalam logika
sebagai ilmu mengandung lebih dari dua makna antara yang pasti dan takpasti,
dan semuanya valid. Logika jamak, plural, majemuk bukan satu jurus itu
diingatkan oleh filsuf Polandia Jan Lukasiewics. Bukunya ‘On three-valued
logic’, versi Inggris dalam Borkowski ‘Selected works by Jan Lukasiewics’,
1970.<br /> <br />Pandangan tentang logika majemuk itu sendiri berbeda-beda khazanah dan itu
menyangkut komposisi faalnya di kasad substansi. Lebih jauh logika yang
dimaksud ini dikawal dengan sistem-sistem teknik ke wilayah keilmiahan pada
prayojana umum di satu pihak dan prayojana khusus di lain pihak, menjadi simpai
konkret bangunannya, namun bersifat sementara kesahihannya. Penelitian ini
dilakukan oleh filsuf kontemporer Rusia Sergey Yablonsky. Bukunya yang sering
dibahas adalah ‘Introduction to discrete mathematics’, 1989.<br /> <br />Menyangkut ‘three-valued logic’, adalah D.A. Bocvar melalui
eksperimen-eksperimen pengkajian analisis sisi mekanika quantum dalam ‘On a
three-valued logical calculus and its application to the analysis of
contradictions’, telah mengurai pelbagai paradoks logika yang asasnya berhakikat
plural antara pasti dan tidak.<br /> <br />Orang yang belajar logika, niscaya mudeng bahwa sebagai ilmu, logika
memiliki sugesti berprogres. Dari sistem Lukasiewics berkembang ‘logika
modalitas’. Di situ tampil Clarence I. Lewis yang mengacu peri ‘logika modal’
sebagai alternatif atas ‘logika nonmodal’ pada Bertrand Russel. Ladang logika
yang lain, dan berbeda-beda, misalnya ‘logika induktif’ pada John Stuart Mill,
berlainan dengan ‘logika deduktif’ pada Bacovan Verulam, dan beda pula dengan
‘logika matematika’ pada Gottlob Frege. Tapi, jangan lupa awal penalaran logika
yang berpangkal pada Aristoteles itu, diperkenalkan oleh Willem van Ockham,
yang notabene menjadi model ideal guru-guru Belanda di Indonesia dalam
pengajaran soal ilmu berpikir pasca-Politik Etis Van Deventer. Darinya orang
Indonesia sekarang membeo kata-kata guru Belanda soal takrif logika.<br /> <br />Padahal di abad pertama Masehi, perkara Logos yang dalamnya Aristoteles
merupakan Bapa Metafisika, sudah digurui oleh seorang nelayan dari Galilea,
Yehohanan ben Zabdi – dieja secara Yunani: Ioannes Zebedaios – bahwa sesuai
dengan nas yang maktub dalam filologinya ‘Kata Ioannen’ “En archi en ho Logos…”
– lanjutannya sudah saya sertakan dalam tulisan kemarin – dikunci sekarang
dengan nas “Kai ho Logos sarx egeneto kai eskenosen en eimin.” Justru dari nas
kunci ini, karuan membuka ladang diskusi baru yang kelak berkembang lagi
menjadi widya teologi apologetika yang tetap aktual sampai hari ini.<br /> <br />Bicara soal logika harusnya dimulai dari Aristoteles lewat ‘Organon’ tersebut.
Kalau Denny JA mau sedikit rendah hati untuk belajar dari awal, saya punya
‘Organon’ yang asli dalam bahasa dan aksara Yunani. Jika tidak bisa membaca
huruf dan bahasa Yunani, saya siap mengajarnya. Sebab, betapapun pintu ilmu
pengetahuan sudah terbuka lebar, tapi bicara soal genesis filsafat, maka memang
elok mempelajari kebudayaan Yunani dan Hellenisme dengan mempelajari aksara dan
bahasanya. Ini untuk menghindar peluang kesalahkaprahan literasi.<br /> <br />Denny JA masih mengejek saya, mengatakan saya melakukan ‘false
generalization’, ‘logical fallacy’, ‘faulty generalization’. Saya kuatir Denny
JA salah baca buku. Ini seperti tukang kacang di pesawat yang berdebat tentang
estetika, lantas mengaku banyak membaca buku, tapi salah baca buku: bukan buku
filsafat keindahan yang kaidahnya berubah di sepanjang masa, tapi ia membaca
buku pedoman tentang “bagaimana cara beternak bebek” yang di semua masa, bebek
tetap bebek. Akibatnya ia hanya pandai meleter seperti bebek. Sori bro, saya
ingin bilang Denny JA meleter seperti bebek. Sebentar lagi kita akan melihat
bagaimana ia menelanjangi diri sebagai tupai yang tergelincir.<br /> <br />Soal ‘faulty generalization’, baiknya baca buku D.H. Fischer yang bagus
ini, ‘Historious Fallacies: Toward a Logic of Historical Thoughts’, dan bacalah
dengan moral bersih. Kalau sudah, tilik mukabalahnya dalam buku Douglas Walton
‘Rethinking the Fallacy of Hasty Generalization’. Tapi, jangan lupa kritik Alex
Slack yang mengacu istilah ‘secundum quid fallacy’, yaitu kesalahan dalam alih
kesimpulan. Jika mundur lebih ke belakang, Sam Richardson memakai istilah
‘faulty morals’. Lalu, dengan sangat kena melihat soktau Denny JA, dengan
memakai acuan Buford L. Nichols, yang menyimpulkan, bahwa dasarnya ‘faulty
morals’ itu akibat prejudis memandang diri paling benar dan orang lain semua
salah, membangun kepribadian di bawah jisim yang diselaputi korup dan
manipulasi karena hati yang cemar menunggangi akalnya. Lebih asasi, keadaan ini
diistilahkan oleh Jean Cauvin sebagai ‘radix cordix’, bahwa akal dirusak oleh
hati yang keras, sombong, soktau, suka merendah-rendahkan orang.<br /> <br />Mau lihat bagaimana Denny JA melakukan manipulasi dan korup? Dalam
tulisannya yang menyerang saya, 2 Juni 2018, di alinea ke-12 dia berkata, “
Dalam tulisan yang kedua, yang merespon tulisan saya, Remy tak membahas…” Lalu
di alinea ke-30, dia berkata, “Dalam tulisan Remy yang kedua, kesalahan itu
masih diulangi.”<br /> <br />Masya Allah! Si Denny JA ini punya masalah dengan kejujuran. Terbukti, dia
korup, gandrung manipulasi, kulina ngibul. Bagaimana bisa dia bilang saya sudah
menulis dua kali? Wong saya baru menulis satu kali, dan itu adalah tangkisan
atas tulisan yang songong mencela-cela saya. Di sinilah buktinya dia menjadi
tupai: sepandai-pandai tupai melompat, tetap saja tupai itu bajing, diimbuh
akhiran /an/ menjadi bajingan, tergelincir dengan gampang. Dengannya maka
runtuhlah istana Si Denny Boy yang mengaku pandai bermetodologi riset dan
berpikir tertib. Lha, ini lho bukti nyata, di kepalanya bermukim kecurangan,
sehingga berhitung saja dikelirukan. Makanya, kalau ada yang masih percaya pada
tukang ngibul ini, dan memujinya karena dikasih uang, mereka itu semua yang
dalam istilah logika di gugus filsafat Karl Barth disebut sebagai “solidaritas
dalam kebersalahan” kayak Yahudi-Yahudi pukimaknya itu.<br /> <br />Walau sudah hilang rasa percaya saya pada tukang ngibul, toh saya merasa
terpanggil untuk menanggapi ejekannya. Yang pertama di alinea ke-13. Tulisnya,
“Remy malah menghabiskan banyak kata menunjukkan aneka penghargaan yang ia
terima. Tak pula saya tahu apa relevansinya.” Relevansinya? Begini, Adinda.
Saya bermaksud menyadarkan manusia, bukan beruk, bahwa yang memberi penghargaan
kepada seseorang atas karyanya adalah orang lain di bawah lembaga tertentu,
karena apresiasi atas capaiannya, dan bukan dari dirinya kepada dirinya.
Agaknya hanya bangsa beruk-kera-yakis yang tidak paham tamadun cantik ini.
Dengan menunjuk ‘aneka penghargaan’ itu, maka saya sedang menginsyafkan Denny
JA, bahwa penghargaan yang benar adalah bukan dari dirinya kepada dirinya dengan
memposisikan dirinya itu sebagai tokoh berpengaruh di antara 33 nama. Itulah
yang kemarin saya sebut onani.<br /> <br />Sekadar catatan panambih, kata onani berasal dari bahasa Prancis
‘onanisme’, mewakili kelakuan tukang rancap bernama Onan, dikisahkan dalam filologi
Ibrani yang sudah diterjemahkan di Prancis dengan pengantar doktor teologi
Louis Segond, tentang lakilaki yang bangkit syahwat hendak menyetubuhi istri
kakaknya tapi memuncratkan spermanya di luar vagina. (Onan sachant que cette
postérité ne serait pas à lui, se souillait à terre lorsqu’il allait vers la
femme de son frère, à fin de ne pas donner de postérité à son frère).<br /> <br />Di alinea ke-26 Si Denny menulis tentang Charles Dickens: “Karyanya acap
dimasukkan ke dalam list 100 karya terbesar dalam sejarah. Tentu saja dalam
list tidak ada karya Remy Sylado.” Memang tidak ada. Tapi demi Tuhan saya
sukacita. Yang membuat saya dukacita adalah dalam 33 penyair berpengaruh, nama
saya masuk dalam list. Di acara sastra di TIM 2015 saya sudah menyatakan di
depan publik, bahwa saya ingin nama saya dikeluarkan dari buku itu. Dan
sekarang, setelah konangan bahwa buku itu merupakan kolusi Denny JA, maka
sumpah disambar geledeg, saya jijik berada di dalam buku itu, disejajarkan
dengan tukang ngibul dan tukang onani. Ini ibarat: sudah jatuh dihimpit tangga
masih digigit monyet pula.<br /> <br />Jelas siasatnya, bahwa untuk membuktikan dirinya berpengaruh, ada rayuan
uang pemikat supaya orang mau menulis ‘puisi esai’. Terkumpul 250 ‘penyair’,
40+34 buku dari 34 propinsi. Dikiranya penyair itu sama dengan domba-domba yang
memerlukan gembala. Padahal penyair itu seperti harimau, siap berjalan sendiri,
tidak bergerombol. Berpikir bahwa penyair bisa dibingkai dengan uang lewat
pemeo “senasib sepenanggungan” & “sama rata sama rasa” itu adalah politik
PKI yang jelas-jelas mengingkari kerahmanan & kerahiman Tuhan. Ingat,
generasi kedua manusia, putra-putra Adam & Hawa, bertikai, dan Qabil
membunuh Habil, karena bakat, kodrat, dan takdir masing-masing didesain Tuhan
secara berbeda-beda.<br /> <br />Gampangnya menyimak hukum alam itu adalah melihat peta sastra Amerika
kiwari. Di sana sastrawannya pating klumpruk. Rezekinya berbeda-beda. Misalnya
John Locke melalui novel dalam e-book “Saving Rachel” terjual lebih satu juta
eks. Penyusulnya Stieg Larsson asal Swedia dengan “The girl with the dragon
tattoo” terjual jutaan dolar. Lalu Nora Roberts dijuluki pada 2018 ini sebagai
“Number One Best Selling New York Author” karena ia menulis sampai 238 judul.<br /> <br />Dari situ kita melihat bahwa yang menarik dari kehidupan ini adalah
ketaksamaan-ketaksamaan dalam bakat, kodrat, takdir, nasib. Perbedaan adalah
anugerah Tuhan. Jangan mengambil inisiatif untuk mengubahnya. Jangan sampai
manusia berubah jadi iblis.<br /> <br />Nah, gitu, Adinda. Makanya tak usah terlalu bernafsu menyalah-nyalahkan
orang yang mengkritik kau. Tak usah pula kau pikir dirimu sarjana maka dengan
sendirinya kau intelektual. Sekarang ini betapa banyak sarjana yang kehilangan
rasa malu, sebaliknya ketambahan hobi mengelus-elus kemaluannya. Ronggowarsito
pada abad ke-19 dengan bagus dalam puisi macapatnya “Serat Kalatidha” –
mudah-mudahan kau bisa bahasa Jawa, kalau tidak, saya pun siap mengajari kau
bahasa kebudayaan paling dibya di Nusantara ini, sekaligus mewuruk cara membuat
resitatif dalam skala pelog terhadap tembang ini – mengatakan betapa sarjana
terbingungkan oleh temptasi duniawi: Mangkya darajating praja / Kawuryan wus
sunyaruri / Rurah pangrehing ukara / Karana tanpa palupi / Atilar silastuti /
Sujana sarjana kelu / Kalulun kala tidha / Tidhem tandhaning dumadi /
Ardayengrat dene karoban rubeda. Kau di situ, Adinda. Maka bercerminlah. Kritik
kepadamu itu mustahak, sebab kritik dapat membangun kearifan. Terimalah kritik
orang-orang, supaya orang-orang hormat kepadamu. Sekarang ini orang-orang
enggan hormat kepadamu, sebab kau ini, sudah keliru tapi malah ngotot &
ngeyel, menegakkan benang basah, berbelit-belit memanjang-manjangkan jarak
kesombongan karena kau pikir punya uang banyak. Sikap begitu dalam ungkapan
Jawanya “dowo-dowo ulo: soyo dowo soyo mbulet”. Untuk itu serapahnya orang di
Surabaya tempattinggalnya Budi Darma: “jancuk kon!” Serapahnya orang di
Semarang kampunghalamannya Nh. Dini: “telembokne!” Serapahnya orang di Solo
kampunghalamannya Arswendo Atmowiloto: “panjenengan lak boten purun kula arani
segawon to?”<br /> <br />Sekian. Tabik. 8 Juni 2018<br /><a href="https://www.facebook.com/RemySylado23761/posts/1561980193910968">https://www.facebook.com/RemySylado23761/posts/1561980193910968</a><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2018/06/denny-ja-bagai-tupai-tergelincir/">http://sastra-indonesia.com/2018/06/denny-ja-bagai-tupai-tergelincir/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1118769484433786310.post-44550035684741281432021-08-15T02:51:00.005-07:002021-08-15T02:51:35.881-07:00Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar<b>Menyambut Kelahiran</b><br />:Are Timur Daya<br /> <br />Tangis pertamamu di batas hari<br />Menjadi rahasia<br />Impian memeram rindu<br />Dalam denyut jantung<br />dalam remasan tangan waktu<br />Beku, namun retih, mungkin pedih<span><a name='more'></a></span><br />Kelahiran jadi teka-teki di ruas batas<br />Maut mengabur, waktu bergelayut<br />Di puncak rindu<br /> <br />Hingga tangis pertamamu pecah<br />Kurahasiakan tangisku pada rintih pilu bundamu<br />Pada kilauan cahaya yang memeram rindu<br />Pada cakrawala yang terbingkai jendela<br /> <br />september 2007-oktober 2009<br /> <br /> <br /> <br /><b>Riwayat Nyadar</b><br /> <br />kubaca riwayat siang dan malam, bumi dan bintang<br />di laut, di atas jukong:<br />potongan-potongan kisah menitikkan peluh sebelum<br />kelam menggiring kincir mercusuar dalam deras arus<br />sebelum jangkar dicebur,<br />sebelum menetas aroma asin garam,<br />tak kubiarkan jaring tergerus<br />tak habis terhempas gelombang<br /> <br />dan ketika angin buncahkan buih,<br />kubiarkan musim semayam mendekap harap<br />antara kelengangan pantai sebelum gerhana tumpah<br />di atas pusara kubur leluhur.<br />seusai mantra asap dupa menjelaga,<br />kulabuhkan jukong meski di laut tak kutemukan apa-apa<br /> <br />aku bersujud di atas sepetak tanah: tempat pandai besi<br />menempa hati, lidah-lidah menjulur api dari lubang tungku<br />dalam upacara penebusan agar asin garam tak setumpul ujung alu<br /> <br />maka kubiarkan catatan-catatan itu terus bergetar<br />di atas nampan sesaji nyadar<br />hingga maut merajut<br />dan rohku, rohmu, menjelma riak gelombang<br />menjelma ikan-ikan buat anak cucu<br /> <br />Gamping Kidul, 2009<br />Nyadar: upacara ritual di daerah Sumenep, Madura, sebagai wujud syukur
masyarakat pesisir terhadap leluhur.<br /> <br /> <br /> <br /><b>Pulung Gantung</b><br /> <br />dan aku tak ingin mengenang:<br />malam yang terus menetaskan kecemasan<br />pagi perih menanti di jagad waktu yang beku<br />sebab almanak penuh angka-angka merah<br />menjelma darah. luka terus menganga.<br /> <br />kubiarkan ari-ari<br />terpendam di bawah sejengkal tanah retak<br />sampai tuntas tangis dalam ratap sunyi<br />sebelum sesaji tali pati jadi persembahan abadi<br />sebab patut tak pernah terukir dalam wujud<br /> <br />beriring gegas matahari aku keluar<br />mengubur pagi ke balik tanah kapur<br />siul sumbang burung gagak terdengar berat<br />selarik cahaya menepi membuang bebayang pohon jauh ke barat<br />maka kubiarkan pulung gantung bertandang<br />ke lubuk gubuk yang tak pernah ingkar menanti<br />mengikatkan tali pada leher sendiri<br />mencari mati dalam sepi, menukar luka dengan duka<br />membiarkan rahasia musim<br />memeram dendam peziarah<br /> <br />Gamping Kidul, 2009<br />catatan: Pulung Gantung: kepercayaan masayarakat jawa terhadap sesuatu yang
mistik.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">[Dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010] <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/06/puisi-puisi-mahwi-air-tawar-4/">http://sastra-indonesia.com/2010/06/puisi-puisi-mahwi-air-tawar-4/</a></span></p>
rodhi.murtadho@gmail.comhttp://www.blogger.com/profile/01896127493455867075noreply@blogger.com0